Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sinyal Ketimpangan Tabungan

Tabungan kelompok menengah dan bawah yang susut menunjukkan tekanan ekonomi bagi mereka. Adapun tabungan orang kaya membengkak.

27 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nasabah tengah melakukan transaksi perbankan di Bank Mandiri, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Indeks tabungan konsumen dengan simpanan di atas Rp 10 juta menunjukkan pergerakan dari kisaran level 90 pada Januari 2024 menjadi 109,9 pada Mei 2024.

  • Grafik indeks tabungan kelompok menengah melandai sejak Oktober 2023. Sedangkan untuk kelompok bawah atau konsumen dengan rata-rata tabungan Rp 1 juta, simpanan mereka tampak terus berkurang sejak kuartal II 2023.

  • Rangkaian data soal simpanan ini menggambarkan tekanan pada kelompok menengah dan bawah. Pendapatan tidak sejalan dengan kenaikan harga-harga.

TABUNGAN orang kaya makin besar. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk mencatat kenaikan signifikan simpanan kelompok ini sejak awal tahun. Indeks tabungan konsumen dengan simpanan di atas Rp 10 juta menunjukkan pergerakan dari kisaran level 90 pada Januari menjadi 109,9 pada Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mandiri Macroeconomic Outlook pada 14 Mei lalu menyebutkan kondisi simpanan orang kaya berbanding terbalik dengan kelompok menengah atau konsumen yang memiliki tabungan sebesar Rp 1-10 juta. Grafik indeks tabungannya melandai sejak Oktober 2023. Sedangkan untuk kelompok bawah atau konsumen dengan rata-rata tabungan Rp 1 juta, simpanan mereka tampak terus berkurang sejak kuartal II 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perbedaan jumlah simpanan ini salah satunya dipengaruhi oleh kemampuan menabung tiap kelompok per bulan. Kelompok atas, misalnya, bisa menyimpan Rp 11,3 juta per bulan pada Maret 2024, naik dari Maret 2023 yang hanya Rp 10,8 juta per bulan. Sebagai perbandingan, kemampuan menabung kelompok menengah hanya naik Rp 100 ribu selama periode tersebut, dari Rp 2,7 juta menjadi Rp 2,8 juta. Sedangkan kemampuan menabung kelompok bawah tak berubah, hanya Rp 500 ribu per bulan.

Khusus untuk kelas menengah, Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono menjelaskan bahwa ada faktor lain yang menggerus tabungan mereka. Proporsi pendapatan yang dialokasikan untuk pembayaran cicilan cenderung meningkat, dari 10,9 persen pada Maret 2023 menjadi 13,6 persen pada Maret 2024. Rata-rata pengeluaran cicilan kelompok ini naik dari Rp 1,5 juta per bulan menjadi Rp 2 juta per bulan selama periode tersebut.

Kelompok atas pun mengalami kenaikan proporsi pembayaran cicilan terhadap pendapatan, dari 11 persen menjadi 14 persen. Nilai rata-rata cicilan per bulan mereka sebesar Rp 6 juta per Maret 2023 dan naik menjadi Rp 8,1 juta pada periode yang sama tahun ini.

Yang membedakan keduanya adalah pendapatan. Mandiri mencatat kenaikan pendapatan per bulan rumah tangga kelas menengah sangat tipis, dari Rp 13,6 juta menjadi hanya Rp 14,4 juta. Adapun pendapatan kelas atas naik dari Rp 54,8 juta menjadi Rp 58,1 juta.

Pemicu Tabungan Tergerus

Teguh mengatakan rentetan angka ini menggambarkan tekanan pada kelompok menengah dan bawah. "Pendapatan tidak sejalan dengan kenaikan harga-harga," ujarnya dalam forum Mandiri Macroeconomic Outlook, Selasa, 14 Mei lalu, seperti dilansir Antara. Akibatnya, masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk memenuhi kebutuhan dasar, salah satunya dengan "memakan" tabungan mereka.

Kenaikan harga salah satunya bisa terlihat dari inflasi pangan. Bank Indonesia mencatat kelompok volatile food mengalami inflasi sebesar 9,63 persen secara tahunan per April 2024. Meski dibanding pada Maret 2024 angkanya menurun dari 10,33 persen, tren inflasi terus meningkat sejak akhir tahun lalu.

Beban pengeluaran lainnya adalah pajak. Pemerintah tahun ini menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) yang berdampak pada semua golongan masyarakat. Dibanding kelas atas, menanggung kenaikan 1 persen PPN dari 10 persen menjadi 11 persen akan terasa lebih berat bagi kelompok menengah dan bawah.

Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo, mengatakan kenaikan suku bunga pinjaman juga berpengaruh pada penurunan jumlah tabungan kelas menengah dan bawah. "Ini membuat cicilan utang menjadi lebih mahal, membebani keuangan masyarakat kelas menengah dan bawah," ujarnya. Bank Indonesia dalam rapat teranyarnya mempertahankan suku bunga acuan pada level 6,25 persen setelah dinaikkan 25 basis point pada April lalu.

Pada saat yang sama, banyak masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki akses ke layanan keuangan formal, seperti tabungan dan kredit. Mereka terpaksa mengandalkan pinjaman dari rentenir dengan bunga lebih tinggi.

Warga tengah beraktivitas di pemukiman padat semi permanen dikawasan Kuningan, Jakarta, 5 Maret 2024. Tempo/Tony Hartawan

Ketimpangan Ekonomi

Tekanan ekonomi terhadap kelompok menengah ini perlu penanganan segera. "Kalau tidak, yang miskin tambah banyak," ujar peneliti di Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies, Deni Friawan. Kalangan menengah tidak memiliki jaring pengaman seperti kelompok bawah, misalnya bantuan sosial.

Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin sebesar 25,90 juta orang per Maret 2023. Jika jumlahnya meningkat, Deni khawatir kesenjangan makin lebar. "Ketika kesenjangan meningkat, rentan terjadi kriminalitas dan kerusuhan."

Salah satu indikator ketimpangan ini bisa terlihat dari tingkat pengeluaran masyarakat. BPS mencatat gini rasio Indonesia berada di level 0,3888 per Maret 2023, naik dari angka September 2022 yang sebesar 0,381. Gini rasio yang mendekati 1 menunjukkan makin lebarnya ketimpangan di masyarakat.

Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga bisa menjadi rujukan lain lebarnya ketimpangan di dalam negeri. Lembaga tersebut mencatat jumlah rekening di Indonesia mencapai 570 juta per April 2024. Namun 98,8 persen di antaranya berisi tabungan setara atau di bawah angka Rp 100 juta. Kurang dari 2 persen penduduk Indonesia yang punya tabungan di atas Rp 100 juta.

Baca Juga Infografik:

Deni mengatakan pemerintah perlu menjaga kondisi makroekonomi untuk mengurangi beban masyarakat menengah ke bawah, di antaranya dengan mengendalikan harga pangan untuk menekan kenaikan inflasi volatile food. Dia menyebutkan rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen tahun depan juga berpotensi kontraproduktif dengan misi penyelamatan kelompok masyarakat menengah ke bawah ini.

Dia pun berharap pemerintahan baru bisa merancang program produktif tahun depan, tak sekadar buang-buang anggaran. "Program makan siang gratis, contohnya, perlu dipikirkan bagaimana caranya tidak sekadar kasih makan, tapi juga berdampak buat ekonomi," ucapnya. Pemerintah bisa memulainya dengan menggunakan bahan makanan dari dalam negeri sehingga bisa menggerakkan ekonomi lokal. Produk impor, misalnya, perlu dihindari agar tidak masuk program makan siang gratis.

Perbaikan iklim investasi untuk memastikan pembukaan lapangan kerja juga penting. Kalangan menengah dan bawah butuh kegiatan produktif yang bisa menghasilkan pendapatan. Bantuan langsung tunai atau jenis bantuan sosial lain tak bisa membantu mereka keluar dari tekanan ekonomi. "Dalam banyak kasus, juga membuat penerimanya malas," kata Deni.

Nasabah tengah melakukan transaksi perbankan di Bank Mandiri, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan

Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan menuturkan jaring pengaman sosial selama ini tidak pernah bisa mengangkat status rakyat kelas bawah keluar dari kemiskinan. Fungsinya hanya meringankan beban kebutuhan hidup mereka. "Jaring pengaman sosial terus-menerus mencerminkan pemerintah gagal membangun ekonomi yang dapat mensejahterakan seluruh rakyat," ujarnya.

Karena itu, strategi yang sama tidak bisa diterapkan untuk kalangan menengah. Di sisi lain, fiskal pemerintah tak cukup kalau harus memberikan bantuan sosial untuk kalangan menengah yang jumlahnya juga tak sedikit.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance Eko Listiyanto pun menyarankan solusi serupa. "Dalam situasi ekonomi melambat, upayakan jangan ada kenaikan harga, seperti PPN," ucapnya. Kebijakan ini perlu koordinasi antar-kementerian/lembaga. Selain karena kelas menengah Indonesia masih rentan beralih ke kelas bawah, terlalu banyak intervensi kebijakan pemerintah bisa menghambat konsumsi. 

Distribusi beban juga bisa menjadi solusi. Dari sisi pajak, misalnya, pemerintah memang telah menerapkan pajak progresif. Namun Eko menilai masih ada peluang menarik pajak tambahan dari kelompok masyarakat atas.

Adapun Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan jumlah tabungan dengan nominal di atas Rp 5 miliar meningkat hingga 9,14 persen pada April 2024. "Tumbuhnya jauh lebih cepat dibanding pada Februari yang sebesar 6,10 persen," kata Purbaya pada 3 Mei lalu.

Selain meningkatnya tabungan dengan nominal di atas Rp 5 miliar, LPS mencatat adanya peningkatan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta sebesar 7,3 persen pada April 2024. Sedangkan pada Februari 2024 tercatat tumbuh 5,17 persen.

Menurut Purbaya, kenaikan pertumbuhan nominal tabungan tersebut mencerminkan pemerataan perbaikan ekonomi yang mulai dirasakan masyarakat serta stabilitas perekonomian ke depan yang diproyeksikan makin kuat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Vindry Florentin

Vindry Florentin

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran tahun 2015 dan bergabung dengan Tempo di tahun yang sama. Kini meliput isu seputar ekonomi dan bisnis. Salah satu host siniar Jelasin Dong! di YouTube Tempodotco

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus