Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah tetap membebaskan barang kebutuhan pokok dari pengenaan pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen pada 1 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pada saat PPN 12 persen diberlakukan, barang-barang kebutuhan pokok tetap akan 0 persen PPN-nya,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KiTa Edisi Desember 2024 di Jakarta, Rabu, 11 Desember 2024, seperti dikutip Antara.
Selama ini, barang dan jasa kebutuhan pokok tidak dikenakan pajak alias PPN 0 persen, meskipun pemerintah kehilangan pemasukan pajak sampai Rp231 triliun setahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Nilai dari barang dan jasa yang tidak dipungut PPN, yang kami sebut sebagai fasilitas, untuk tahun ini diperkirakan mencapai Rp231 triliun. Itu PPN yang tidak dikumpulkan dari barang dan jasa yang PPN-nya dinolkan. Tahun depan, kami perkirakan pembebasan PPN itu akan mencapai Rp265,6 triliun,” kata Bendahara Negara itu.
Dia menyatakan pelaksanaan undang-undang tetap menjaga asas keadilan, tak terkecuali soal PPN 12 persen.
Dalam konteks itu, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang telah diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tetap dijalankan namun sambil memperhatikan asas keadilan bagi masyarakat.
“Kami sedang memformulasikan lebih detail, karena ini konsekuensi terhadap APBN, aspek keadilan, daya beli, dan juga dari sisi pertumbuhan ekonomi perlu kita seimbangkan,” ujarnya.
Pemerintah nantinya bakal mengumumkan paket kebijakan PPN yang saat ini sedang dalam tahap finalisasi. Namun, Menkeu menjamin, kebijakan yang akan dikeluarkan nantinya tidak akan menambah beban pajak pada barang dan jasa yang berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat.
Adapun barang dan jasa yang dimaksud di antaranya beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, serta jasa asuransi.
Di samping itu, penjualan buku, vaksinasi, rumah sederhana, pemakaian listrik, dan air minum juga akan tetap dibebaskan dari pengenaan PPN.
Pembebasan PPN terhadap barang dan jasa tersebut sudah berlangsung saat ini, ketika tarif PPN yang berlaku sebesar 11 persen. Pembebasan itu pun akan tetap diterapkan saat PPN naik menjadi 12 persen nantinya, kata Sri Mulyani.
PPN 12 Persen Hanya untuk Barang Mewah?
Mengenai wacana PPN 12 persen yang hanya akan diterapkan pada barang mewah, Menkeu mengatakan pihaknya masih dalam tahap penghitungan dan persiapan, sehingga belum bisa memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kebijakan tersebut.
Namun, dia menegaskan kembali, penyusunan kebijakan akan tetap konsisten memperhatikan asas keadilan.
“Di satu sisi ini menyangkut pelaksanaan UU, tapi juga ada sisi asas keadilan. Ada aspirasi masyarakat, tapi juga keadaan dan kesehatan APBN. Kami harus mempersiapkan secara teliti dan hati-hati,” tambahnya.
“Dan untuk dampaknya terhadap APBN, harus kita hitung secara hati-hati, karena ini adalah kepentingan kita semua,” kata dia.
Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat meminta pemerintah untuk memperjelas definisi barang mewah dalam kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN).
Pemerintah dan DPR telah menyatakan bahwa objek pajak yang dikenakan tarif PPN 12 persen hanya menyasar kelompok barang mewah yang lebih banyak dikonsumsi kelompok atas. Namun, menurut Achmad, batasan yang kabur mengenai definisi barang mewah bisa memberikan ruang tekanan bagi kelompok menengah ke bawah.
“Pemerintah harus menetapkan batasan yang jelas mengenai barang apa saja yang termasuk dalam kategori mewah. Hal ini penting untuk menghindari kesalahan pengenaan pajak pada barang yang sebenarnya merupakan kebutuhan bagi masyarakat menengah,” kata Achmad dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Dia mencontohkan, barang elektronik berkualitas tinggi bisa jadi termasuk dalam kelompok barang mewah. Sementara kelas menengah kemungkinan menggunakan barang elektronik tersebut untuk kebutuhan pekerjaan mereka.
Artinya, bila kelompok barang itu masuk dalam definisi barang mewah pada kebijakan PPN, kelas menengah berpotensi makin kesulitan mengakses barang yang bisa membantu meningkatkan taraf hidup mereka.
“Akibatnya, kebijakan ini justru memperlebar kesenjangan digital dan ekonomi,” ujar Achmad.
Mengingat kondisi kelompok menengah yang rentan terhadap kebijakan fiskal, Achmad mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi tekanan yang diterima kelompok ini dengan membuat kebijakan yang memperhatikan dampak lanjutan.
Tak hanya kelas menengah, Achmad berpendapat kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tetap akan berdampak pada kelompok ekonomi kecil meski hanya menyasar barang mewah. Hal itu terjadi melalui mekanisme ekonomi yang disebut spillover effect.
“Ketika barang-barang yang terkait dengan barang mewah mengalami kenaikan harga, biaya hidup secara keseluruhan juga meningkat. Misalnya, kenaikan tarif PPN pada kendaraan bermotor mewah dapat memengaruhi biaya logistik dan transportasi barang kebutuhan pokok,” katanya.
Pada akhirnya, lanjut dia, konsumen dari seluruh lapisan ekonomi harus membayar harga yang lebih tinggi untuk barang kebutuhan sehari-hari.