Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Standar hidup layak Badan Pusat Statistik (BPS) tak menggambarkan kenyataan di masyarakat.
BPS mencatat standar hidup layak di Indonesia pada 2024 Rp 12,34 juta atau sekitar Rp 1,02 juta per bulan.
Angka standar hidup layak menjadi rujukan penetapan upah minimum.
BADAN Pusat Statistik merilis standar hidup layak di Indonesia pada 2024 sebesar Rp 1,02 juta sebulan atau Rp 12,34 juta setahun. Menurut BPS, standar hidup layak ini mengacu pada rata-rata pengeluaran rill per orang per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, menurut Lailatul Anisah, justru angka tersebut tak menggambarkan kondisi yang sebenarnya. "Kenyataannya pengeluaran lebih besar daripada hasil survei BPS. Apalagi bagi mereka yang tinggal di kota seperti aku," ujar pegawai swasta di Jakarta Barat itu kepada Tempo, Rabu, 20 November 2024.
Untuk biaya tinggal saja, perempuan 26 tahun ini harus merogoh kocek lebih dari Rp 1 juta per bulan. Belum termasuk ongkos transportasi dan biaya konsumsi lainnya.
Standar hidup layak menghitung pengeluaran per kapita untuk makanan ataupun non-makanan. Pada 2023, porsi pengeluaran non-makanan mencapai 51 persen, sedangkan untuk makanan sebesar 49 persen. Pengeluaran per kapita merupakan biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan.
Menurut Lailatul, disparitas standar hidup layak dan pengeluaran riil tidak hanya terlihat di ibu kota, tapi juga di kota-kota besar lainnya. Ia becermin pada pengalamannya selama kuliah di Jember, Jawa Timur, enam tahun lalu. Harga sewa kamar kos pada 2018 saja sekitar Rp 600 ribu per bulan, belum ditambah biaya lain seperti makan, transportasi, dan uang kuliah.
BPS mencatat nilai standar hidup layak tahun ini meningkat Rp 442 ribu atau 3,71 persen dibanding pada 2023 yang sebesar Rp 11,89 juta per tahun. "Ini lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan 2020-2023 yang sebesar 2,61 persen," demikian pernyataan yang dikutip dari laporan pelaksana tugas (plt) Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers, Jumat, 15 November 2024.
Pengeluaran riil per kapita yang menjadi rujukan BPS dalam menghitung standar hidup layak tercatat terus meningkat pada periode 2020-2024. Pada 2020, angkanya sebesar Rp 11,01 juta, lalu naik tipis menjadi Rp 11,15 juta pada 2021. Kemudian terus merangkak naik menjadi Rp 11,47 juta pada 2022 dan Rp 11,89 juta pada 2023. Artinya, kenaikan standar hidup layak pada 2024 merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta merupakan wilayah dengan pengeluaran riil per kapita tertinggi pada 2024, yaitu sebesar Rp 19,95 juta per tahun atau sekitar Rp 1,66 juta per bulan. Kepulauan Riau berada di peringkat kedua dengan pengeluaran Rp 15,57 per tahun atau sekitar Rp 1,29 juta per bulan. Disusul Yogyakarta yang tercatat memiliki pengeluaran sebesar Rp 15,36 juta per tahun atau sekitar Rp 1,28 per bulan. Sementara itu, di posisi terendah adalah Papua Pegunungan yang pengeluarannya sebesar Rp 5,7 juta per tahun atau Rp 475 ribu per bulan.
Amalia menyebutkan dimensi standar hidup layak menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan indeks pembangunan manusia (IPM) 2024. Standar hidup layak merupakan satu dari tiga komponen IPM selain umur harapan hidup saat lahir dan pengetahuan. BPS mencatat IPM Indonesia tahun ini berada di level 75,02, meningkat 0,63 poin atau 0,85 persen dibanding pada 2023 yang sebesar 74,39. Pada 2020-2024, IPM Indonesia rata-rata pun meningkat 0,75 persen per tahun.
Kesenjangan antara data standar hidup layak versi BPS dan pengeluaran riil pekerja juga diungkapkan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Presiden KSBSI Elly Silaban berpandangan pengeluaran per kapita dalam standar hidup layak hitungan BPS jauh lebih rendah daripada pengeluaran yang harus dikeluarkan buruh. "Ini tidak sesuai dengan fakta di lapangan," tuturnya.
Elly juga menilai kenaikan pengeluaran berdasarkan data BPS kontradiktif dengan besarnya pemutusan hubungan kerja (PHK) tahun ini, terutama di sektor manufaktur. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat total tenaga kerja yang terkena PHK sepanjang Januari hingga 18 November 2024 sebanyak 64.751 pekerja. Jakarta menjadi wilayah dengan jumlah pekerja yang terkena PHK paling banyak, yaitu 14.501 pekerja.
Ditambah jumlah pekerja informal, seperti ojek online, yang makin tinggi. Survei Angkatan Kerja Nasional 2024 yang juga dilakukan BPS menunjukkan hampir 60 persen atau 84,13 juta orang dewasa bekerja di sektor informal. Jumlahnya meningkat dibanding pada tahun sebelumnya yang berada di level 83,34 juta. "Mereka tidak bekerja dengan layak, tak memiliki pendapatan sesuai dengan data pengeluaran riil BPS," ujar Elly.
Kritik juga datang dari kalangan pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Kamdani menuturkan, meskipun data standar hidup layak menunjukkan peningkatan nominal kebutuhan hidup, daya beli masyarakat masih sangat bervariasi di berbagai daerah. Wilayah perkotaan cenderung memiliki daya beli yang lebih tinggi dibanding daerah dengan infrastruktur ekonomi yang kurang berkembang.
Karena itu, Shinta menekankan pentingnya akurasi data standar hidup layak yang disampaikan kepada publik secara transparansi dan valid. Terlebih, angka standar hidup layak bakal menjadi rujukan dalam penetapan upah minimum regional (UMR). Penyesuaian sebesar 3,71 persen menjadi hal penting untuk menjaga kesejahteraan pekerja. Namun, di sisi lain, akan berdampak signifikan terhadap sektor padat karya, seperti tekstil, garmen, dan alas kaki, yang sangat sensitif terhadap perubahan biaya tenaga kerja.
Penggunaan indikator pengeluaran riil dalam menghitung standar hidup layak juga disoroti sejumlah ekonom. Ekonom dari Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, menjelaskan, pengeluaran riil masyarakat adalah pengeluaran yang bisa dicapai, terlepas pengeluaran riil tersebut layak atau tidak. Sedangkan standar hidup layak adalah standar pengeluaran yang ideal. Namun nyatanya hitungan pengeluaran dalam standar hidup layak jauh di bawah pengeluaran riil masyarakat.
Menurut Nailul, standar hidup ideal atau layak ini, semestinya dihitung dengan beberapa komponen pembentuknya. Antara lain, kebutuhan pendidikan yang ideal untuk membantu murid menyerap ilmu dengan baik, kebutuhan akses kesehatan yang baik, hingga kebutuhan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi minimal.
"Jadi standar hidup layak yang dikeluarkan oleh BPS mislead dan tidak sesuai dengan kondisi riil masyarakat," ujar Nailul.
Ia menjelaskan, semestinya pengeluaran riil juga dihitung dengan memasukkan unsur kenaikan harga atau inflasi. Dengan prediksi inflasi sebesar 2,5 persen, ia memproyeksikan kenaikan pengeluaran masyarakat hanya sekitar 1,21 persen.
Merujuk pada hitungan tersebut, Nailul berpendapat kenaikan pengeluaran riil masyarakat sangat rendah. Apalagi untuk bisa menabung atau berbelanja demi kebutuhan yang lebih baik. "Pendapatan masyarakat Indonesia juga hanya naik 1,8 persen, masih jauh dari kata layak," ucapnya.
Aktivitas warga di pemukiman semi permanen kawasan Pademangan, Jakarta, Agustus 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, pun menyatakan disparitas antara standar hidup layak yang dihitung BPS dan kondisi riil masyarakat masih menjadi isu yang mencolok. Misalnya, standar hidup layak di Jakarta dengan pengeluaran sebesar Rp 1,66 juta per bulan, padahal nyatanya biaya hidup di Jakarta lebih dari itu.
Menurut Yusuf, banyak masyarakat yang masih bergantung pada bantuan sosial untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kondisi ini menunjukkan daya beli belum sepenuhnya pulih. Ia juga sependapat dengan pernyataan Elly bahwa sebagian besar pekerja, terutama di sektor informal, memperoleh penghasilan di bawah UMR, yang berarti masih hidup di bawah standar hidup layak. Sementara itu, UMR terendah di Indonesia tercatat di Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp 2.038.005, yang jauh di atas standar hidup layak pengeluaran per kapita versi BPS.
Hitungan BPS, yang menggunakan pengeluaran per kapita sebagai standar hidup layak, berbeda dengan United Nations Development Programme (UNDP). "Standar hidup layak diukur dengan pendapatan nasional bruto per kapita," demikian tulisan UNDP dalam Laporan Pembangunan Manusia.
Yusuf yakin standar hidup layak di kota-kota besar belum mampu mencerminkan biaya hidup riil yang lebih mahal. Ia berpendapat situasi ini mengindikasikan perlunya kebijakan yang lebih inklusif untuk mengatasi ketimpangan. "Pemerintah juga harus memastikan standar hidup layak lebih relevan dengan kondisi masyarakat di berbagai wilayah," tuturnya.
Tempo berupaya meminta konfirmasi soal standar hidup layak yang berada di bawah kondisi riil masyarakat kepada pelaksana tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti. Namun, hingga berita diturunkan, Amalia tidak merespons pertanyaan Tempo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo