Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Operator telekomunikasi mengaku tak khawatir bersaing dengan Starlink.
Starlink menawarkan harga yang lebih tinggi, tapi koneksinya lebih cepat.
Starlink berpotensi menjadi penguasa pasar di kawasan yang tak terjamah serat optik.
AMRUL Hakim girang ketika paket perangkat Starlink tiba di rumahnya di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 4 Mei 2024. Paket itu berisi receiver, antena, router, serta kabel dan perangkat lain yang ia pesan tiga tahun lalu. Amrul memesan perangkat itu langsung dari situs web Starlink dengan lebih dulu membayar deposit Rp 1 juta melalui kartu kredit. “Sempat khawatir deposit hilang karena selama tiga tahun tidak ada kabar," kata karyawan swasta 44 tahun itu pada Senin, 13 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejelasan pesanan itu muncul pada Maret 2024, ketika Amrul menerima surat elektronik dari SpaceX, perusahaan milik konglomerat Elon Musk yang mengoperasikan Starlink. Isi surat itu meminta Amrul menyelesaikan pembayaran. Untuk mendapatkan perangkat Starlink, Amrul mesti membeli perangkat keras utama Rp 7,8 juta dan router serta aksesori pendukung Rp 3 juta. Sedangkan biaya langganannya Rp 750 ribu per bulan. Dari uji kecepatan yang ia lakukan, Starlink memiliki kecepatan unduh hingga 246 megabit per detik (Mbps) dan unggah sampai 47,5 Mbps.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan kecepatan tersebut, Amrul merasa harga yang harus dia bayar sepadan, berbeda dengan layanan Internet yang ia gunakan lima tahun terakhir. “Sering lambat dan mengalami gangguan," ujarnya. Di provider Internet terdahulu, Amrul mengambil paket bulanan dengan biaya langganan Rp 450 ribu per bulan dan klaim kecepatan 100 Mbps. Namun, ketika diuji, rata-rata kecepatan unduh dan unggahnya hanya 46 Mbps dan 10 Mbps.
Dalam situs webnya, Starlink menawarkan paket layanan untuk kebutuhan residensial atau rumah tangga dengan biaya bulanan Rp 750 ribu. Konsumen perlu membeli perangkat keras Rp 7,8 juta serta membayar biaya pengiriman dan penanganan perangkat sebesar Rp 345 ribu. Starlink menawarkan paket kuota tanpa batas dengan kecepatan unduh 40-200+ Mbps, kecepatan unggah 8-25+ Mbps, dan tingkat latensi rendah 20-60 milidetik. Selain memiliki paket buat rumah tangga, Starlink menawarkan paket Internet untuk wilayah pedalaman, kapal dan pelayaran, hingga kebutuhan bisnis.
Pelanggan merakit dan mencoba perangkat Starlink di kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat, 15 Mei 2024. Tempo/Tony Hartawan
Sejak April 2024, Starlink resmi memasuki pasar retail Indonesia dengan mengantongi izin penyelenggara jasa Internet atau Internet service provider. Sebelumnya Starlink mengantongi izin sebagai penyedia backhaul atau pendukung untuk operator Internet lain. Berbeda dengan provider lain yang mengandalkan infrastruktur jaringan serat optik, Starlink memakai satelit orbit rendah atau low earth orbit. Teknologi ini yang membuat Starlink bisa menyediakan sambungan Internet dengan tingkat latensi atau gangguan rendah sekaligus kecepatan lebih tinggi.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Jerry Mangasas Swandy mengatakan wilayah Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan menjadi tantangan tersendiri bagi penyediaan layanan Internet berbasis serat optik. Sejak pertama kali digunakan pada 2005, jaringan serat optik baru melayani sekitar 30 persen wilayah Indonesia. “Kendala dan tantangan dalam pengembangan serat optik adalah biaya investasi yang besar dan pemasangan yang rumit," tuturnya pada Selasa, 14 Mei 2024.
Menurut Jerry, kehadiran satelit yang menawarkan layanan Internet berbasis satelit menjadi terobosan yang ditunggu, khususnya oleh masyarakat di kawasan yang selama ini belum terjamah serat optik. Namun, dia menambahkan, konsumen di Indonesia masih menempatkan harga sebagai pertimbangan utama dalam memilih operator Internet. “Data kami mencatat daya beli masyarakat untuk konsumsi Internet sebagian besar Rp 100-300 ribu per bulan,” ucapnya.
Ihwal harga murah, Jerry memberi contoh maraknya jasa RT/RW net atau perilaku pelanggan jaringan Internet yang menjual kembali sambungan tersebut kepada orang lain demi meraup keuntungan. “Praktik ini subur karena masyarakat menghendaki harga murah.” Jerry pun berharap Starlink hanya menyasar konsumen di daerah pelosok atau di luar perkotaan agar terjadi pemerataan akses Internet.
Sebagai salah satu pemain yang merajai bisnis Internet Tanah Air, PT Telekomunikasi Selular atau Telkomsel optimistis dapat bersaing dengan Starlink. Selain memiliki layanan Internet seluler, Telkomsel kini menaungi IndiHome yang menyediakan layanan untuk rumah tangga. Vice President Corporate Communications and Social Responsibility Telkomsel Saki H. Bramono mengatakan IndiHome sudah menjangkau 514 kota/kabupaten dengan jumlah pelanggan 8,9 juta hingga kuartal I 2024.
Menurut Saki, dalam industri telekomunikasi yang dinamis, persaingan tak terhindarkan. Dia mengatakan Starlink diharapkan bisa mendorong inovasi dan pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang lebih baik. “Kami meyakini, dengan berfokus pada inovasi, kualitas layanan, dan kebutuhan pelanggan, Telkomsel dapat tetap bersaing dan mempertahankan posisi sebagai penyedia layanan telekomunikasi digital terdepan," katanya.
Meski begitu, Saki meminta pemerintah dapat menciptakan kesetaraan dalam kompetisi antara Starlink yang memakai teknologi baru seperti satelit orbit rendah dan penyedia jasa Internet lain yang menggunakan satelit geostasioner atau jaringan serat optik. Misalnya lewat kewajiban pendirian badan usaha yang berkedudukan di Indonesia, pembayaran pajak dan penerimaan negara bukan pajak, kewajiban pemenuhan kualitas layanan jaringan Internet, dan ketentuan tingkat komponen dalam negeri, juga dari aspek potensi interferensi, perlindungan dan keamanan data, serta kedaulatan bangsa.
Presiden Direktur PT XL Axiata Tbk Dian Siswarini mengatakan kehadiran Starlink saat ini masih belum menjadi ancaman karena lebar cakupan kapasitas frekuensi atau bandwidth yang ditawarkan masih terbatas. Meski demikian, dia tak menampik pandangan bahwa Starlink berpotensi menjadi ancaman bagi perusahaan telekomunikasi lain di kemudian hari. “Kami melihat mereka nanti bisa menambah satelit sehingga kapasitas jauh lebih banyak dan struktur biayanya lebih kecil," ujarnya pada Kamis, 25 April 2024.
Sementara itu, Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison Muhammad Danny Buldansyah menuturkan, Starlink jauh lebih berpotensi bersaing dengan penyedia layanan Internet yang juga mengandalkan satelit. “Tapi yang penting selama ada di level of playing field yang sama, tidak ada keberpihakan,” ucap Danny.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia Muhammad Arif juga mengklaim pemain industri telekomunikasi tak khawatir terhadap masuknya Starlink. "Karena teknologi bergerak dinamis,” katanya. Di perkotaan, Arif menambahkan, tarif Internet berbasis serat optik tak akan banyak terpengaruh karena harganya lebih kompetitif untuk pelanggan retail. Namun lain halnya dengan daerah yang belum tersentuh serat optik, tempat Starlink berpotensi menjadi penguasa.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Wayan Toni Supriyanto memastikan tata niaga dan persaingan yang sehat menjadi fokus pemerintah dalam pengelolaan industri jasa Internet. Dia menuturkan, pendatang baru seperti Starlink pun tak terkecuali memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan penyelenggara layanan Internet lain. “Kami proaktif dalam melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap semua penyelenggara telekomunikasi,” tuturnya pada Rabu, 15 Mei 2024.
Jumlah perusahaan penyelenggara akses Internet (ISP) di Indonesia terus menjamur. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, jumlah ISP di Indonesia mencapai 1.075 perusahaan. Layanan Internet Starlink ditetapkan sebagai ISP per 21 April 2024 di bawah bendera perusahaan Starlink Services Indonesia.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies Nailul Huda mengatakan pertumbuhan jumlah operator Internet membawa dampak positif, di antaranya untuk menghindari praktik monopoli atau dominasi segelintir operator. “Dominasi menciptakan persaingan yang tidak sehat," katanya.
Sedangkan Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengingatkan perlunya pengawasan untuk mencegah praktik jual rugi dengan tujuan mematikan pesaing lain atau predatory pricing. “Kita juga belum tahu apakah harga yang ditawarkan Starlink saat ini sudah tetap atau sekadar promosi."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Khairul Anam dan Vindry Florentin berkontribusi pada artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berebut Pasar Pelanggan Retail".