Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sepatu Bata menutup pabrik di Purwakarta.
Angka penjualan sepatu Bata terus menurun dan kerugian meningkat.
Industri sepatu terhalang regulasi pembatasan impor bahan baku.
PABRIK PT Sepatu Bata Tbk di Jalan Cibening, Purwakarta, Jawa Barat, kini sepi. Hanya ada empat bekas karyawan yang berkumpul ketika Tempo mendatangi gedung berkelir merah-putih itu pada Senin, 13 Mei 2024. Dua pekan sebelumnya, mereka diberhentikan seiring dengan tutupnya pabrik yang sudah beroperasi selama 30 tahun itu. Toko sepatu Bata yang berada di muka pabrik itu pun tak lagi buka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah seorang bekas pegawai itu datang ke pabrik untuk meminta surat keterangan pengalaman kerja atau paklaring, sementara yang lain hanya ingin bertemu sambil menunggu uang pesangon. Anjar Fajrian, salah seorang dari mereka, mengatakan para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mendapat pesangon mulai 15 Mei 2024. Anjar, yang terakhir menjabat leader bagian injeksi plastik, mengatakan ada 236 pegawai yang terkena PHK. "Kami sebelumnya tidak tahu bakal ada PHK," kata pria 38 tahun yang telah dua dekade bekerja di pabrik Bata itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anjar, karyawan awalnya hanya mendapat informasi yang meminta mereka berkumpul di tempat olahraga kompleks pabrik Bata pada 3 Mei 2024. Pengumuman lantas muncul setelah direksi dan pengurus serikat pekerja menggelar pertemuan. Hasil pertemuan itu memutuskan semua karyawan pabrik terkena PHK. "Lini produksi akan ditutup," tutur Anjar. Tangis sekitar 200 karyawan pabrik Bata pun pecah begitu terdengar pengumuman mendadak itu.
Karyawan menyusun sepatu di toko sepatu resmi Bata di Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 14 Mei 2024. Tempo/Prima Mulia
Berdasarkan perundingan yang berlangsung beberapa hari setelah pengumuman PHK, perusahaan akan membayarkan pesangon satu kali. Alin Kosasih, Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Purwakarta yang mendampingi para pekerja pabrik Bata, mengatakan nilai pesangon yang diterima sebesar Rp 60-70 juta per orang.
Selain mendapat pesangon, para pegawai yang terkena PHK bisa menarik dana di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Menurut Alin, hubungan antara perusahaan dan karyawan tergolong harmonis. Hal ini terlihat ketika Sepatu Bata mengalami tekanan keuangan beberapa tahun belakangan. Kendati selalu merugi, perusahaan tetap memberikan upah secara utuh dan tepat waktu. Bahkan, saat terjadi pandemi Covid-19, karyawan yang tidak bekerja selama empat-enam bulan tetap mendapat gaji penuh. “Hubungan industrialnya baik,” katanya.
Toh, pada akhirnya tekanan keuangan juga yang membuat Bata menutup pabriknya di Purwakarta. Sebelumnya, perusahaan ini melakukan PHK terhadap seratus karyawan di tengah pandemi pada 2020.
Tak hanya mempengaruhi pegawai, tutupnya pabrik Bata juga berdampak pada warga sekitar, terutama pemilik tempat kos, rumah kontrakan, dan warung makan. Karyawan Bata dari luar Purwakarta banyak tinggal di rumah kos dan kontrakan di perkampungan dekat pabrik dengan biaya sewa Rp 400-500 ribu per bulan.
Siti Masitoh, pemilik warung makan di dekat pabrik Bata, mengatakan efek penutupan pabrik mulai terasa. Warung yang biasa disinggahi pekerja saat jam makan siang itu kini sepi pengunjung. Keberadaan pabrik sepatu itu, menurut Masitoh, juga berdampak sosial. Dia memberi contoh, warga di sekitar pabrik biasa meminta bantuan fasilitas, misalnya air pada musim kemarau. Mereka pun kini waswas jika pabrik tutup dan terjadi kekeringan karena akan kehilangan sumber air. "Mudah-mudahan perusahaan dan karyawan bisa bangkit lagi,” ujarnya.
•••
BATA bukan pemain baru di industri sepatu di Tanah Air. T&A Bata Shoe Company, perusahaan asal Republik Cek, masuk ke Indonesia pada 1931. Pada awalnya perusahaan ini mendatangkan Sepatu Bata dari luar negeri. Pada 1937, Bata Shoe Company mendirikan pabrik pertama di Indonesia, di tengah perkebunan karet yang kini menjadi Jalan Kalibata Raya, Jakarta Selatan. Produksi perdana dilakukan pada 1940.
Sepatu Bata kemudian memproduksi berbagai jenis alas kaki, termasuk, sepatu kulit, sandal kanvas, sepatu olahraga, dan sandal cetakan injeksi. Pada 1982, perusahaan ini melepas saham di Bursa Efek Indonesia. Dengan modal segar dari investor, Sepatu Bata bisa membangun pabrik di Purwakarta pada 1994. Sepuluh tahun kemudian, perusahaan ini memperoleh izin impor dan distribusi umum.
Setelah 30 tahun berproduksi, pabrik Sepatu Bata di Purwakarta akhirnya berhenti beroperasi pada 30 April 2024. Dalam surat kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia tertanggal 2 Mei 2024, perseroan menyatakan tidak dapat melanjutkan produksi lantaran angka permintaan pelanggan terhadap jenis produk yang dibuat di sana terus menurun. Akibatnya, kapasitas produksi pabrik jauh melebihi kebutuhan.
Sepatu Bata pun terus merugi. Berdasarkan laporan keuangannya, Bata mulai mencatatkan kerugian pada 2020. Padahal setahun sebelumnya perusahaan ini masih mencatatkan laba. Angka kerugian berpuncak pada 2023, yaitu sebesar Rp 188,42 miliar, naik 75 persen dari setahun sebelumnya.
Penjualan Sepatu Bata pun belum kembali ke kondisi sebelum pandemi. Pada 2019, nilai penjualan mencapai Rp 931,27 miliar, sementara pada 2023 hanya Rp 609,61 miliar. Di sisi lain, kewajiban perusahaan terus menanjak. Sebagai contoh, perusahaan membukukan nilai kewajiban sebesar Rp 454,39 miliar pada 2023. Nilai tersebut naik sekitar 12 persen dari Rp 404,31 miliar pada 2022.
Sekretaris Perusahaan Sepatu Bata Hatta Tutuko mengatakan telah berupaya beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen dan mengatasi rintangan yang dihadapi. Namun, dia menambahkan, manajemen merasa perlu mengambil langkah lain demi memastikan keberlanjutan perusahaan. “Antara lain dengan menghentikan aktivitas produksi di pabrik kami di Purwakarta dan unit-unit terkait,” katanya kepada Tempo, Rabu, 15 Mei 2024.
Sebelum menutup pabrik di Purwakarta, Sepatu Bata menjual gedung kantor pusatnya, yaitu Graha Bata di Jakarta Selatan, demi efisiensi. Musababnya, luas gedung sudah jauh melebihi kapasitas yang diperlukan dibanding jumlah pegawai. Dana sebesar Rp 63,4 miliar hasil penjualan gedung enam lantai itu lantas digunakan untuk membayar utang dan memperkuat posisi keuangan perseroan.
Kendati telah menghentikan produksi pabrik, Hatta mengatakan, perseroan masih akan terus beroperasi dan menjual produk melalui toko-toko dan platform jual-beli online. Kini Sepatu Bata bermitra dengan produsen sepatu lokal yang menjadi pemasok produk untuk toko-toko tersebut. “Prosesnya sudah berjalan dan produk-produk pertama dari pemasok baru segera melewati fase pertama quality testing,” ucap Hatta.
Dalam pertemuan dengan Kementerian Perindustrian pada Rabu, 8 Mei 2024, manajemen Sepatu Bata menyatakan penutupan pabrik di Purwakarta tidak bakal mengurangi jumlah sepatu produksi dalam negeri yang selama ini dipasarkan oleh perseroan. Secara agregat, jumlah tersebut disebutkan bakal tetap sama, bahkan ditingkatkan. Dengan perubahan strategi ini, Sepatu Bata berharap bisa kembali mencetak laba.
Perubahan strategi seperti yang dilakukan Sepatu Bata tak lepas dari kondisi industri yang berorientasi pada pasar domestik. Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia Firman Bakri mengatakan kinerja industri sepatu saat ini masih dipengaruhi penurunan angka permintaan. Di sisi lain, dia menjelaskan, biaya tenaga kerja dan bahan baku terus naik. Padahal porsi biaya tenaga kerja mencapai 27 persen dari total ongkos produksi, sementara biaya bahan baku 50 persen.
Menurut Firman, persoalan lain yang dihadapi produsen sepatu adalah aturan impor bahan baku yang berlaku pada 2019. Dia memberi contoh tindakan pengamanan perdagangan atau safeguard, verifikasi kemampuan industri, serta aturan larangan dan pembatasan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023. Akibatnya, produk akhir alas kaki kalah kompetitif dibanding produk impor, apalagi banyak sepatu selundupan.
Kondisi ini, Firman menambahkan, membuat produsen alas kaki menerapkan siasat baru, yaitu bekerja sama dengan produsen pihak ketiga atau maklon dari dalam dan luar negeri. Produsen memilih pemasok, baik lokal maupun impor, untuk membuat barang dagangannya ketimbang memproduksi sendiri. Perusahaan seperti Sepatu Bata yang sebelumnya memproduksi di pabrik sendiri pun memilih strategi tersebut. Firman mengatakan kondisi ini harus menjadi bahan evaluasi pemerintah. “Jangan sampai karena kesulitan produksi semua produsen memilih tutup dan beralih menjadi pedagang saja,” tuturnya.
Pandangan Asosiasi berkebalikan dengan pemerintah. Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Adie Rochmanto Pandiangan mengatakan kondisi yang terjadi pada Sepatu Bata tidak bisa dilihat sebagai cermin industri alas kaki nasional. Musababnya, Kementerian Perindustrian mengklaim, industri sepatu nasional terus tumbuh, terutama dengan adanya kebijakan pengendalian impor barang jadi dan jaminan bahan baku. Kementerian mencatat tingkat pertumbuhan industri alas kaki nasional mencapai 5,9 persen pada kuartal I 2024.
Menurut Adie, situasi sulit dihadapi perusahaan karena inefisiensi produksi dan produk yang tidak memenuhi selera konsumen. Karena itu, dia melanjutkan, perusahaan akhirnya lebih berfokus pada bisnis retail. Anggapan ini muncul lantaran pemerintah melihat perseroan hanya berproduksi 30 persen dari kapasitas sebelum memutuskan menutup pabriknya.
Jumlah produksi sepatu pabrik Bata menurun dari 3,5 juta pasang pada 2018 menjadi 1,15 juta pasang pada 2023. Inefisiensi semacam ini, menurut Adie, menyebabkan kerugian perusahaan naik setiap tahun, yang diikuti dengan penurunan nilai aset dan ekuitas serta terus meningkatnya utang.
Kendati menilai langkah perseroan menutup pabrik sebagai hal yang kurang tepat di tengah industri yang terus tumbuh, Adie menyebutkan strategi perusahaan yang berfokus ada pengembangan produk dan merek penting untuk membenahi kinerja. Toh, perusahaan tetap berproduksi dengan memanfaatkan maklon. “Ini seperti halnya merek-merek besar sepatu global,” ujarnya. Adie berharap suatu saat Sepatu Bata bisa membuka kembali pabriknya dengan kapasitas yang lebih besar di Indonesia jika kondisi keuangannya sudah membaik.
Kepala Pusat Studi Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance Andry Satrio Nugroho mengatakan pemerintah semestinya meninjau ulang aturan pengendalian impor yang berdampak sulitnya industri mendapat bahan baku. Menurut dia, kebijakan semacam ini menambah masalah penurunan angka penjualan akibat pasar yang lesu, seperti yang dihadapi produsen alas kaki. Ketika biaya produksi naik, produsen akan berpikir menjadi pedagang atau importir akan lebih menguntungkan. “Kalau pemerintah tidak segera membenahi persoalan ini, akan muncul perusahaan lain yang memutuskan hanya menjadi pedagang.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Anwar Siswadi dari Purwakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Baru Sepatu Bata".