Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Staf Ahli Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Yongky Suryosusilo menjelaskan salah satu penyebab lesunya bisnis retail di Indonesia. Dia mengatakan lesunya daya beli disebabkan pertumbuhan daya beli masyarakat jauh di bawah rata-rata.
Yongki mengklaim, menurut data Nielsen, year-to-date (Januari 2017 hingga September 2017) pertumbuhan retail fast moving consumer good, barang-barang kebutuhan sehari-hari di luar fashion, hanya 2,7 persen. "Biasanya tahun ke tahun itu tumbuh 10-11 persen. Sekarang jauh, bahkan di bawah inflasi," ujarnya saat dihubungi Tempo, Rabu, 25 Oktober 2017.
Hal ini, menurut Yongky, membuat beberapa pengusaha retail melakukan efisiensi dengan menutup gerainya. Salah satunya seperti yang dilakukan PT Mitra Adiperkasa (MAP) Tbk terhadap lima gerai Lotus miliknya. Pelemahan ini sudah dirasakan dari tahun lalu. Ia menduga salah satu penyebab pelemahan tersebut adalah program amnesti pajak yang digelar pemerintah sembilan bulan lalu.
"Pengusaha jadi pada sibuk inventarisasi aset mereka untuk pelaporan pajak. Semuanya jadi sibuk hingga tidak terjadi ekspansi bisnis," ucapnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, pengetatan pengawasan terhadap pajak juga membuat beberapa orang takut berbelanja. "Yang taat pajak pun juga jadi ikut-ikutan takut diawasi," katanya.
Yongky berpesan agar bisnis retail yang saat ini masih bertahan melakukan perbaikan cash flow. Di tengah tekanan lesunya daya beli, ia mengimbau pelaku retail menahan laju ekspansi.
Namun demikian, menurutnya, hal ini merupakan pil pahit yang memang harus ditelan pengusaha retail, terlebih yang sudah gulung tikar. Ia meyakini bisnis retail akan kembali membaik di sisa tiga bulan terakhir tahun ini.
"Ini masak transformasi, banyak yang harus dibenahi seperti biaya impor dan pajak. Saya yakin itu bagus untuk negara ke depannya," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini