Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEPAS Isya, Ahad, 19 Mei lalu, warga Kecamatan Longkali di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, mendadak berhamburan ke luar rumah. Mereka panik begitu merasakan bumi berayun tiba-tiba. Barang-barang yang tergantung tampak bergoyang. Kepala Sub-Bagian Humas dan Kerja Sama Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Paser, Abdul Kadir, mengatakan lindu itu juga terasa di Tanah Grogot, ibu kota Kabupaten Paser, yang berjarak sekitar 77 kilometer perjalanan darat dari Longkali. “Masyarakat kaget karena belum terbiasa,” kata Kadir.
Gempa magnitudo 4,1 yang berepisentrum di 17 kilometer sebelah utara Longkali itu bukan yang pertama, melainkan yang teranyar melanda Paser. Menurut Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Daryono, Paser daerah yang paling sering diguncang gempa di Kalimantan Timur. BMKG mencatat terjadi sepuluh kali gempa magnitudo kurang dari 5,0 di wilayah ini. “Paser daerah perlintasan jalur Sesar Adang-Paternoster,” ujar Daryono melalui keterangan pers, sehari setelah gempa.
Tidak ada laporan kerusakan yang diterima BMKG dari gempa Longkali. Gempa magnitudo kurang dari 5 biasanya tidak mengakibatkan kerusakan. Namun riset Supartoyo, peneliti Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menemukan gempa magnitudo 4,7 pada 22 November 2009 mengakibatkan kerusakan fisik. “Beberapa rumah, sekolah, dan tempat ibadah di Longikis, Paser, rusak,” tulis Supartoyo di makalah yang dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke-4 Riset Kebencanaan di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 8-10 Mei 2017.
Menurut Supartoyo, selain gempa Longikis itu, ada tiga gempa yang merusak di Kalimantan Timur, yakni pada 1921, 1924, dan 1957. “Gempa 1921 dan 1957 bahkan diikuti- tsunami yang melanda Pantai Sangkulirang- dan Balikpapan,” ucap Supartoyo, yang juga anggota Kelompok Geologi penyusun buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 terbitan Pusat Studi Gempa Nasional Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dalam buku setebal 400 halaman itu, geologi Kalimantan diulas hanya di tiga halaman. Gempa bumi tektonis biasanya terjadi di sepanjang jalur sesar. Menurut buku tersebut, ada tiga sesar utama yang telah teridentifikasi di Pulau Kalimantan, yaitu Sesar Tarakan dengan panjang 100 kilometer, Mangkalihat (111 kilometer), dan Meratus (105 kilometer). Ketiganya berpotensi menimbulkan gempa magnitudo 7.
Sedikit berbeda dengan buku Pusat Studi Gempa Nasional, BMKG menyatakan tiga struktur sesar yang menjadi sumber gempa di Kalimantan Timur adalah Mangkalihat, Paternoster, dan Maratua. Lain lagi hasil analisis Supartoyo terhadap gempa di Kalimantan, yang mengungkap sumber lindu adalah Sesar Tarakan, Sangkulirang, Mangkalihat, Paternoster, Andang, dan Kendawangan.
Sesar aktif Tarakan, kata Supartoyo, terentang dari Laut Sulawesi, Pulau Tarakan, hingga daratan Kalimantan Utara. Sesar ini terakhir kali bergerak dan mengakibatkan bencana gempa pada 21 Desember 2015 dengan magnitudo 6,1. “Kejadian gempa merusak yang melanda Pulau Tarakan pada 1923, 1925, dan 1936 diperkirakan berkaitan dengan aktivitas sesar ini,” tuturnya.
Supartoyo menambahkan, hingga kini belum diketahui sejarah kegempaan di Sesar Sangkulirang, yang jalurnya bermula dari Selat Makassar hingga ke Pulau Kalimantan. Begitu juga Sesar Mangkalihat (Selat Makassar-Tanjung Mangkalihat) dan Sesar Adang (Kalimantan Barat-Kalimantan Tengah).
Adapun jalur Sesar Kendawangan, Supartoyo melanjutkan, bermula dari daerah pesisir Kendawangan di Kalimantan Barat hingga ke daratan. Ia menduga sesar ini bertanggung jawab atas terjadinya gempa pada 24 Juni 2016 yang mengakibatkan kerusakan bangunan di Kendawangan.
Menurut Supartoyo, selain sesar-sesar aktif itu, terdapat sesar naik di sebelah barat Sulawesi yang terletak di timur Kalimantan Timur yang perlu diwaspadai karena berpotensi mengakibatkan tsunami. Sesar naik ini pernah memicu tsunami pada 1967, 1969, dan 1984 yang melanda daerah pantai Sulawesi Barat. “Tidak diketahui pasti apakah tsunami itu juga melanda pantai Kalimantan Timur,” tulisnya.
Serangkaian gempa yang merusak itu, kata Supartoyo, membuktikan bahwa Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur tergolong rawan bencana gempa. “Bagi para peneliti gempa bumi, Pulau Kalimantan merupakan tantangan tersendiri untuk menguak lebih detail karakteristik sumber gempanya,” ujarnya. “Kegiatan penyelidikan harus dimulai.”
Badan Geologi pun mengakui penelitian di Kalimantan masih minim. Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar Kaban mengatakan semua kajian tentang ibu kota negara akan dikoordinasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. “Kami memiliki data regional, tapi masih skala umum. Sekarang perlu data yang lebih spesifik dan rinci, misalnya seperti apa daya dukung tanahnya, masalah batuan, serta sumber daya air tanahnya,” tutur Rudy saat dihubungi, Rabu, 28 Agustus lalu.
Serupa, Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia belum memiliki kajian risiko dan ancaman bencana geologi di lokasi calon ibu kota Indonesia di Kalimantan. Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto menyebutkan institusinya tak mengantongi data risiko dan ancaman di lokasi calon ibu kota negara yang baru. “Puslit Geoteknologi setahu saya belum melakukan kajian terkait itu,” ucap Eko, menjawab pesan pendek Tempo, Selasa, 27 Agustus lalu.
Sehari sebelumnya, Senin, 26 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo mengumumkan lokasi ibu kota negara pengganti Jakarta di Kalimantan Timur. Lokasi inti terletak di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Keduanya berada di timur laut Kabupaten Paser. Menurut Presiden Jokowi, lokasi itu dipilih karena memiliki ancaman bencana paling minim. “Risiko bencana minimal, bencana banjir, gempa, tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi, dan tanah longsor,” katanya dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta.
Data kebencanaan berkata lain. Saat terjadi kebakaran hutan luar biasa, Oktober 2015, berdasarkan citra satelit Terra dan Aqua milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang dianalisis BMKG, ada 333 titik panas di Kalimantan Timur. Titik panas terbanyak berada di Kutai Kartanegara, yakni 122 titik. Di Penajam Paser Utara ada 34 titik. Pada September 2018, sebanyak 188 hektare hutan Penajam Paser Utara terbakar. Juli lalu, api juga melalap hutan di Kecamatan Babulu, Penajam Paser Utara.
Potensi bencana bukan hanya gempa, tsunami, atau kebakaran hutan. Kondisi tanah pun bisa menjadi pemicu petaka. Menurut Imam Sadisun, Ketua Masyarakat Geologi Teknik Indonesia, tanah di Kalimantan Timur tergolong batuan lempung yang lebih halus daripada pasir. “Batuan lempung atau batu lanau kurang baik untuk fondasi bangunan. Selain itu, lerengnya tidak stabil,” ujar dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung itu. Ia menyebutkan kondisi tersebut mirip dengan di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat. “Tapi Hambalang lebih ganas.”
Menurut Imam, keberadaan tanah lempung tersebut merata di Kalimantan Timur. “Di antara tanah lempung itu biasanya ada batu bara dan sebagian batu pasir,” tuturnya. Dia menjelaskan, batu bara mungkin menjadi berkah bagi Kalimantan Timur. Tapi, dalam pembangunan infrastruktur, batu bara bisa menjadi ancaman. “Saya melihat sendiri, waktu menggali jalan, batu baranya langsung nongol. Siang itu mataharinya terik sehingga batu bara terbakar sendiri,” kata Imam menceritakan pengalamannya membantu pembangunan jalan tol Balikpapan-Samarinda beberapa waktu lalu.
DODY HIDAYAT, ANWAR SISWADI (BANDUNG), KHORY ALFARIZI, S.G. WIBISONO (BALIKPAPAN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo