ANGIN menderu kencang dan tenda upacara peresmian perluasan PT Krakatau Steel bergoyang-goyang. Tapi Menteri Muda Perindustrian Tungky Ariwibowo tetap tenang dan dengan mantap membubuhkan tanda tangannya pada prasasti BUMN penghasil baja satu-satunya di negeri ini. Sabtu pekan silam, resmilah sudah perluasan Krakatau Steel, yang untuk itu diperlukan dana US$ 600 juta. Perluasan demi peningkatan kapasitas memang tak mungkin ditunda. Apalagi, "Tahun depan kami akan mencoba memproduksi stainless steel," demikian Tungky. Sebelum menuju ke produksi baja berkualitas tinggi semacam itu, Krakatau Steel sekarang ini berkonsentrasi pada peningkatan kuantitas. Untuk besi spons, dari 1,2 juta ton per tahun ditingkatkan menjadi 2,3 juta ton. Slab baja, dari satu juta ton dinaikkan ke 1,8 juta ton per tahun. Baja lembaran canai panas juga menjadi 1,8 juta ton per tahun, dari satu juta ton. Batang kawat, dari 200 ribu ton ke 220 ribu ton per tahun. Kecuali itu prasarana pendukung seperti Pelabuhan Cigading, kapasitasnya juga ditingkatkan dua kali lipat. Semula hanya sanggup melayani bongkar muat dua juta ton pellet dan 750 ribu ton batu bara, kini pelabuhan itu dibuat untuk mampu menampung kedua jenis bahan pendukung itu, masing-masing 4 juta ton dan 1,5 juta ton. Interkoneksi dengan PLN juga ditambah. Dulu 200 MVA, sekarang 700 MVA. Pokoknya, Krakatau Steel benar-benar memanfaatkan dana murah yang diterimanya. Sebagian merupakan pinjaman lunak dari Inggris, lalu kredit ekspor (dari Jerman, Jepang, dan Prancis), dan campuran keduanya (dari Austria dan Spanyol). Dari total US$ 600 juta, yang sudah ditandatangani baru US$ 487 juta. Upaya peningkatan tersebut memang tidak terlepas dari tingkat kebutuhan nasional akan baja yang terus bertambah banyak. Sekarang saja, kebutuhan nasional sudah 7 sampai 8 ton per tahun, sementara kapasitas produksi nasional Krakatau Steel baru 2,5 juta ton. Kekurangan itu bisa jadi belum akan terpenuhi oleh baja produksi PT Ispatindo, yang diperkirakan baru pada 1993 akan sanggup memproduksi 4,8 juta ton. Karena dalam dua tahun lagi, tingkat kebutuhan baja diperhitungkan mencapai 11 atau 12 juta ton per tahun. Suatu tanda bahwa kegiatan pembangunan dalam negeri meningkat. Angka-angka tersebut mengacu pada baja kasar atau crude steel -- yaitu jenis baja cair yang sudah tercetak. Baja cair atau liquid steel adalah cairan baja sebelum dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Ada slab (tebal 20 cm, luas 1,5 X 2,5 meter persegi atau lebih dari itu, disesuaikan kebutuhan). Lantas ada proses penggilingan, dengan canai panas atau canai dingin, sehingga menjadi lembaran baja tipis atau pelat baja. Dalam industri automotif, pelat baja itu dipakai sebagai bahan baku badan mobil. Baja cair tersebut ada pula yang kemudian berbentuk lonjoran, panjangnya bisa 12 meter dengan diameter 1,5 X 1,5 cm persegi (bujur sangkar). Produk yang diberi nama billet ini selanjutnya bisa diproses menjadi besi tulang, kawat baja, sampai senar gitar. Maka, kebutuhan baja cair yang meningkat menandakan kebutuhan akan kawat dan pelat bertambah banyak, seiring dengan tuntutan ekonomi yang semakin beragam. Tapi bukannya tidak mungkin kalau untuk mengejar itu, teknologi industri baja kita harus dipercanggih. Pada pembukaan konperensi Asosiasi Besi dan Baja Asia Tenggara (SEASI), Menteri Perindustrian Hartarto antara lain mengatakan, teknologi besi baja saat ini sudah mencapai titik jenuh. Maksudnya, perlu diperkenalkan teknologi baru. M.Ch.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini