Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menunggu tata niaga baru

Tata niaga cengkih dijanjikan menteri perdagangan sudradjad djiwandono bulan ini. antara brp dengan gapri belum ada kesepakatan. petani kelebihan stok sekitar 260 ton cengkih.

17 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CENGKEH telah berbunga, tapi konsep tata niaga cengkeh belum juga diluncurkan dari tempat penggodokannya di Departemen Perdagangan. Pada saat yang sama, bulat mufakat, yang diharapkan bisa muncul dari dialog antara PT Bina Reksa Perdana (BRP) -- dimotori oleh Tommy Soeharto -- dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), juga tak kunjung tercapai. Kedua pihak malah ngotot. Pemerintah, yang seharusnya mengambil posisi di tengah, tampaknya belum bisa berbuat banyak. Tata niaga cengkeh yang baru memang sudah dijanjikan oleh Menteri Muda Perdagangan Sudradjad Djiwandono. "Tenanglah, bulan ini (November, maksudnya) pasti turun," katanya. Namun Sudradjad belum memberikan tanggal yang pasti. Padahal, konsep tata niaga itulah yang ditunggu-tunggu, baik oleh BRP, Gappri, maupun petani. Terutama kini, tatkala harga cengkeh menjadi sangat bervariasi. Di Ambon, misalnya, harga jual membaik dari sekitar Rp 5.000 per kilo menjadi Rp 7.000 sampai Rp 7.250 pekan ini. Tapi di Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Bual Tolitoli, harga si emas cokelat merosot dari Rp 12.500 mejadi Rp 5.800 per kilo. Atau turun sekitar 54-% hanya dalam waktu empat bulan terakhir. Anehnya, dalam situasi seperti itu, BRP maupun Gappri seakan berhenti membeli cengkeh. PT Kerta Niaga, yang mengemban misi sebagai stabilisator harga, juga tidak berkutik. Alasan mereka sama-sama kuno: kurang dana. Dalam kelesuan ini, tanpa ada kejelasan mengenai tata niaga baru, situasinya bisa tambah suram. "Berapa harga yang akan terjadi di saat panen raya Februari nanti," keluh seorang petani, harap-harap cemas. Lantas, kesulitan apa yang dihadapi Departemen Perdagangan, hingga tata niaga cengkeh tidak kunjung digarap tuntas? Tentang ini, tak ada komentar yang bisa dijadikan obor penerang. Hanya diperkirakan, Pemerintah belum juga berhasil menyusun konsep yang sekaligus bisa memuaskan semua pihak: PT BRP, Gappri, dan petani. Gappri, misalnya, tetap menolak ajakan BRP cs. untuk duduk bersama di dalam Badan Pemasaran Cengkeh (BPC). Alasannya banyak, dan secara gamblang sudah dikemukakan oleh Ketua Gappri J.P. Soegiharto Prajogo, bersama-sama Sekjen Gappri Djuffan Ahmad, Kepala Keuangan Budiman Sutantyo, serta seorang dari perwakilan pabrik rokok Djarum Kudus. Menurut mereka, terasa berat duduk dalam BPC, karena Gappri diharuskan menanggung 30% biaya untuk menyangga cengkeh. Menghadapi panen cengkeh tahun ini, misalnya. Usul yang muncul dari pertemuan terakhir antara Gappri, BRP, dan Pemerintah ialah, cengkeh dari petani akan dibeli dengan harga Rp 8.000 sampai Rp 9.000 per kilo. Sekarang, ambillah harga terendah alias Rp 8.000. Berarti untuk setiap kilo cengkeh, penyangga harus mengeluarkan Rp 8.500 (Rp 500 untuk dana sumbangan rehabilitasi cengkeh (SRC) yang dipungut pemda setempat). Berdasar usul itu, diperkirakan bahwa untuk tahun ini Gappri harus menyediakan dana sekitar Rp 229,5 milyar. Jelas, ini jumlah yang tidak sedikit. Selain itu, Soegiharto agak keberatan karena anggota Gappri tidak bisa memakai langsung cengkeh tersebut. Gappri harus membeli kembali dari BPC dengan harga lebih mahal, yakni Rp 13.500 per kilo. Kabarnya, berdasarkan usul BRP pada pertemuan terakhir itu, selisih antara pembelian dan penjualan yang Rp 4.000 sampai Rp 5.000 itu akan digunakan sebagai dana pembinaan petani. Misalnya untuk memperbaiki 100 ha kebun cengkeh yang rusak. Tapi buat Gappri, jumlah itu terlampau besar. Sebenarnya, soal biaya pembinaan petani ini, "kami sudah memberikan kesanggupan," kata Soegiharto. Caranya? "Dengan menyetorkan Rp 500 dari setiap kilo cengkeh," tambahnya. Dari situ, bisa terkumpul Rp 45 milyar. Perkara siapa yang akan mengumpulkan dan mengelola dana tersebut, itu bukan soal. "Kami siap bekerja sama dengan Pak Tommy," ujarnya lagi. Keberatan lain yang juga dikeluhkan Gappri adalah usul agar pabrik rokok menyerap stok cengkeh BRP (62.000 ton) dan Kerta Niaga (23.000 ton). Artinya, pabrik rokok harus menyediakan sekitar Rp 1,28 trilyun -- dengan harga beli yang Rp 13.500 per kilo. "Terlalu berat," komentar Soegiharto. Gappri menghendaki agar stok itu dijadikan sebagai stok diam, yang hanya akan dijual di saat cengkeh paceklik. Alasan lain, harga Rp 13.500 itu juga bisa menimbulkan keresahan di kalangan petani. "Mereka akan berteriak, kenapa cengkehnya hanya dihargai Rp 8.000, sementara pabrik rokok membeli Rp 13.500," kata Soegiharto lagi. Ketua Gappri yang selalu bersikap tenang ini tampaknya jadi agak perasa. Agaknya dia lupa, usul dan angka-angka itu belum putus, belum disepakati. "Belum ada yang dipatok," ujar Tonny Hardianto, Presdir BRP. Soal keberatan Gappri duduk bersama BRP -- dengan status sebagai pembantu penyangga -- itu bisa dimaklumi. Tentang harga jual ke pabrik yang Rp 13.500, ini pun dianggapnya wajar. Alasannya, untuk menyetok cengkeh dibebani aneka biaya, seperti ongkos penyusutan, asuransi, angkutan, biaya gudang, dan bunga. "Perlu diketahui, modal kami untuk menyangga cengkeh juga menggunakan kredit dari bank," tambahnya. Kalau melihat perdebatan yang masih berlangsung begitu sengit, tampaknya sulit untuk mencapai titik temu antara Gappri dan BRP. Dengan kata lain, kini semua tergantung keputusan Pemerintah. Dan keputusan itu harus cepat, agar petani pun bisa mempersiapkan diri. Soalnya, mereka kini kelebihan pasok cengkeh yang cukup besar. Diperkirakan, pasokan itu mencapai 260 ribu ton (stok BRP dan Kerta Niaga 95 ribu ton, stok pedagang 15 ribu ton, stok pabrik rokok 60 ribu ton, ditambah panen tahun ini 90 ribu ton). Padahal, konsumsi cengkeh cuma 80 ribu ton. Entah kapan kelebihan pasok itu bisa diserap habis. Apalagi jika panen 1991-1992 menghasilkan 120 ribu ton. Lagi-lagi masalah berat, khususnya buat Merteri Muda Sudradjad. Budi Kusumah, Bambang Aji, Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus