MUNGKIN, inilah masa-masa sulit yang harus dihadapi Bursa Efek Jakarta. Seperti sudah diduga, pasar terkena penyakit "lesu darah" yang tergolong parah. Pelan tapi pasti, harga-harga terus menurun. Arus perdagangan juga semakin tipis. Sepanjang pekan lalu, misalnya, perjalanan Indeks Harga Saham Gabungan sedikit pun tak mengukir tanjakan. Indeks yang mencerminkan pergerakan harga semua saham yang tercatat di bursa ini terus merosot. Mulai dari 416,6 sampai akhirnya mendarat pada titik 412, Jumat akhir pekan lalu. Kecenderungan itu bahkan terus berlanjut memasuki Senin pekan ini. Indeks cuma mencapai 408,9. Situasi yang merisaukan ini akan lebih terasa jika melihat volume transaksi yang terjadi di lantai bursa. Perdagangan sepanjang pekan lalu sungguh sepi. Dalam sehari, perdagangan hanya mencatat transaksi di bawah rata-rata. Selama lima hari, total cuma tercatat transaksi Rp 22,5 milyar lebih. Ini bahkan lebih rendah jika dibandingkan rata-rata transaksi dalam sehari di bulan Oktober yang senilai Rp 22,8 milyar. Bagaimana bisa sesepi itu? Bukankah hampir semua orang mengatakan, dalam situasi seperti inilah, kesempatan terbaik untuk membeli saham harus dimanfaatkan. Harga saham mulai layak, dan cukup murah dibandingkan dengan performance perusahaan yang bersangkutan. Masalahnya adalah: tak banyak investor yang berminat melepas saham yang dimilikinya pada harga serendah itu. Akibatnya, pasar semakin sepi. "Susah mencari saham, apalagi dalam jumlah besar," kata seorang pedagang senior dari PT Merincorp, sebuah perusahaan penjamin emisi yang juga aktif berdagang di lantai bursa. Tetapi, "racun" pesimisme belumlah merasuk ke mana-mana. Ada juga yang masih yakin suasana akhirnya akan membaik. Mereka pun menerjang masuk bursa, untuk menjual saham. Misalnya saja PT Argo Pantes, milik raja tekstil The Nin King. Pabrik tekstil tersebut akan memasarkan 15 juta sahamnya akhir November ini. Juga PT Itama Raya Gold Industry, sebuah pabrik perhiasan emas yang berpangkalan di Surabaya. Pabrik ini akan menjual empat juta saham dengan harga per saham sebesar Rp 6.950. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimana kemampuan pasar dalam menyerap pasokan itu. Padahal, kelebihan pasokan banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab melembeknya harga. Terlebih lagi daya beli investor, terutama lokal, masih rendah. Bagi Ketua Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam), Marzuki Usman, pertimbangan itu tidak bisa mencegah pihaknya untuk memberikan izin penjualan saham. "Selama mereka memenuhi semua persyaratan, saya tak boleh menghambat perizinan," kata Marzuki. Ia juga memperhitungkan pihak penjamin emisi yang berkewajiban membeli semua saham yang ditawarkan seandainya saham itu sampai tidak laku di pasar. Bahkan belakangan ini, Bapepam meminta para penjamin emisi, alias underwriter, betul-betul menunjukkan kemampuannya membeli dengan mengalokasikan dana sebesar nilai saham yang dijaminnya. "Supaya kalau nggak laku, betul-betul bisa dibeli oleh mereka," Marzuki menjelaskan. Dana itu bisa disiapkan baik di bank maupun tunai. Para underwriter itu tentulah tidak cuma sekadar nekat. Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), yang menjamin penjualan saham Itama Raya, ternyata punya kiat khusus. "Saham Itama itu sudah 90 persen terjual," kata Direktur Bapindo Syahrizal. Ceritanya, sejak Juni lalu Itama sudah memasarkan sendiri sebagian besar sahamnya kepada ratusan pengecer perhiasan emas yang tersebar di seluruh Indonesia. Laris. Hanya, bagaimana penampilan saham itu di lantai bursa nanti, agaknya, masih cukup menarik untuk disimak. Di tengah situasi yang selesu kini, perusahaan sekuritas baru juga bermunculan. Satu lagi bukti bahwa orang asing masih optimistis pada pasar modal Indonesia. Setelah Nikko Securities yang membawa modal Jepang mulai beroperasi, pekan lalu muncul pula Sun Hung Kai Securities Indonesia. Ini adalah patungan antara beberapa pengusaha lokal dan Hong Kong. Dari sini ada bekas Dirut Bank Bumi Daya, Omar Abdalla. Juga ada akuntan kondang Utomo Josodirdjo. Mereka masing-masing berandil 7,5 persen. Sisanya dikuasai Sun Hung Kai, Hongkong. Yang hebat, Sun Hung Kai sudah memiliki Indonesia Fund yang dicatatkan di bursa London. Dana yang diraih dari sana mencapai US$ 21 juta, sekitar 21 persen sudah habis dibelikan saham di Jakarta. "Sisanya menunggu situasi membaik," kata Utomo, yang bertindak sebagai komisaris utama. Meskipun banyak orang baru yang jelas-jelas punya nyali, para pelaku bursa umumnya masih ragu apakah situasi pasar akan segera membaik dalam waktu pendek. Diperkirakan situasi baru pulih awal tahun depan. Yang lebih konservatif malah menyebut akhir Februari. Memang ada alasan. Saat itulah laporan keuangan perusahaan per akhir tahun dibeberkan ke masyarakat. Yang lebih penting, Bapepam tampak mulai menaruh perhatian pada penegakan peraturan. Pekan lalu, misalnya, empat orang pialang dilarang bertransaksi. Selain dituduh memalsukan nota transaksi, di antara mereka ada yang dianggap melanggar peraturan karena menghapuskan harga yang terpampang di papan. Namun, Marzuki masih belum memutuskan sampai kapan sanksi itu berlaku. "Bisa jadi seterusnya," ia berucap. Yang sedang diselidiki sekarang apakah perusahaan tempat mereka bekerja ikut terlibat dalam kesalahan itu. Kalau benar perusahaan terlibat, tampaknya Marzuki akan lebih tegas dan, bahkan, tak kenal ampun. Yopie Hidayat, Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini