Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Target Penerimaan Pajak 2025 Naik. Bagaimana Cara Pemerintah Mencapainya?

Target penerimaan pajak 2025 naik 13,29 persen dibanding realisasi pada tahun lalu. Sejumlah ekonom ragu target akan tercapai. 

9 Januari 2025 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) didampingi Wamen Keuangan Suahasil Nazara (kiri) dan Thomas Djiwandono (kanan) menyampaikan keterangan mengenai laporan APBN sepanjang 2024 mengalami defisit mencapai Rp507,8 triliun atau 2,29 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), saat konferensi pers APBN Kita di Kemenkeu, Jakarta, 6 Januari 2025. ANTARA/Hafidz Mubarak A

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah menaikkan target penerimaan pajak tahun 2025.

  • Capaian pajak tahun ini tak tercapai akibat banyak faktor, terutama lesunya industri pertambangan.

  • Sebelum pandemi Covid-19, tambahan penerimaan pajak rata-rata setiap tahun hanya Rp 68,62 triliun.

TARGET penerimaan pajak tahun ini meningkat signifikan dibanding pada tahun lalu. Pemerintahan Prabowo Subianto membidik penerimaan pajak sebesar Rp 2.189,3 triliun atau setara dengan 9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan kenaikan sebesar 13,29 persen atau Rp 256,9 triliun dari realisasi pada 2024 yang sebesar Rp 1.932,4 triliun.

Tingginya target penerimaan pajak yang dibidik pada tahun ini menjadi sorotan. Apalagi setoran pajak tahun lalu tidak mencapai target, yaitu hanya 97,2 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kondisi penerimaan pajak yang tidak mencapai target merupakan yang pertama kali dalam empat tahun terakhir. 

Meski demikian, ia tetap optimistis target penerimaan pajak 2025 bisa tercapai sehingga pendapatan negara bisa meningkat. "Kami akan lakukan dengan reformasi perpajakan, pajak, dan bea-cukai dengan menyusun program, termasuk dalam hal ini menggunakan teknologi digital," ujar Sri Mulyani saat konferensi pers APBN 2024 pada Senin, 6 Januari 2025.

Adapun target pendapatan negara pada 2025 mencapai Rp 3.005,1 triliun. Ini pertama kalinya target pendapatan negara menembus Rp 300 triliun. Pemerintah berharap penerimaan pajak 2025 dapat ditopang oleh setoran penerimaan pajak penghasilan (PPh) yang ditargetkan mencapai Rp 1.209,27 triliun serta pajak pertambahan nilai (PPN) yang ditargetkan sebesar Rp 917,78 triliun. Target perolehan PPN naik 18,23 persen dibanding pada 2024 yang sebesar Rp 776,23 triliun. 

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan target penerimaan pajak telah mempertimbangkan proyeksi kinerja ekonomi dan keberlanjutan reformasi pajak. Untuk mencapai target tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan terdapat dua strategi, yakni ekstensifikasi dan intensifikasi.

Langkah-langkah yang disiapkan, antara lain, adalah penerapan Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax. Coretax adalah sistem inti administrasi perpajakan yang disiapkan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam administrasi perpajakan. Sistem ini akan mengotomatiskan layanan administrasi pajak dan memberikan analisis data berbasis risiko untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian Keuangan memperkirakan sistem Coretax dapat meningkatkan rasio pajak hingga 1,5 persen dari PDB. Dengan posisi rasio pajak saat ini yang sebesar 10,02 persen, Indonesia bisa mencetak rasio pajak mencapai 11,5 persen dengan sistem inti tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain itu, pemerintah telah menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen untuk barang dan jasa mewah yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Pemerintah juga pernah mempertimbangkan penerapan kembali program pengampunan pajak atau amnesti pajak jilid tiga serta pajak ekonomi bawah tanah atau underground economy. Namun, hingga kini, pemerintah belum memutuskan rencana tersebut.

Meskipun pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menggenjot penerimaan pajak 2025, gagalnya pencapaian target pada tahun lalu membuat sejumlah ekonom ragu akan target setoran tahun ini. Ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky, merujuk pada lesunya kinerja setoran dua pajak, yaitu PPN dan PPh sepanjang 2024. 

Direktorat Jenderal Pajak mencatat penerimaan PPh pada 2024 hanya Rp 1.062,7 triliun, tumbuh tipis 0,14 persen dibanding pada 2023. Capaian tersebut masih jauh di bawah target atau mengalami shortfall, yaitu hanya 93,2 persen dari target sebesar Rp 1.139,8 triliun. Jadi, untuk mencapai target penerimaan PPh pada APBN 2025, diperlukan kenaikan setoran sebesar 13,79 persen. 

Di sisi lain, penerimaan PPN dan PPnBM APBN 2024 sebesar Rp 824,5 triliun atau sedikit melampaui target, yaitu 101,6 persen, dan mengalami kenaikan 7,97 persen dibanding pada 2023. Namun Awalil menilai laju kenaikan penerimaan dua pajak tersebut masih terbilang rendah dibanding tiga tahun ke belakang, yang pertumbuhannya di atas 10 persen.

Awalil menjelaskan, shortfall perpajakan, termasuk kepabeanan dan cukai, mengindikasikan bahwa perekonomian sedang lesu. Ditambah pertumbuhan ekonomi yang hanya 5 persen atau di bawah target 2024. "Sehingga target 2025 tidak realistis berdasarkan data historis dan kondisi perekonomian terbaru beserta prospeknya pada 2025," ujar Awalil kepada Tempo, Rabu, 8 Januari 2025.

Meskipun pemerintah menaikkan tarif PPN khusus barang mewah, Awalil memperkirakan langkah ini tidak berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara. Pasalnya, konsumsi barang mewah relatif terbatas. 

Suasana pelayanan wajib pajak di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta, November 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid tiga yang direncanakan pemerintah, menurut Awalil, juga berpotensi menimbulkan sentimen negatif terkait dengan rasa keadilan. Sebab, program tersebut dapat dianggap memberikan kelonggaran kepada wajib pajak yang tidak patuh. Namun Awalil mendukung rencana pemerintah untuk menarik lebih banyak transaksi dari ekonomi bawah tanah ke sektor formal. Ia menilai langkah ini lebih efektif dalam memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan pajak.

Sependapat, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, berpandangan target penerimaan pajak untuk APBN 2025 cukup berat. Apabila melihat secara historis, pada masa pra-pandemi 2014-2019, tambahan penerimaan pajak rata-rata setiap tahun hanya Rp 68,62 triliun. 

Pada masa pandemi memang terdapat tambahan penerimaan pajak yang signifikan. Pada 2021, penerimaan pajak tumbuh Rp 205 triliun, pada 2023 Rp 152,54 triliun, dan pada 2022 Rp 439,23 triliun. Namun, menurut Fajry, banyak faktor selama masa tersebut yang tidak dapat diulang, seperti dampak dari booming komoditas.

Ditambah dari segi makroekonomi, Fajry berpendapat Indonesia masih dihantui oleh isu penurunan daya beli masyarakat. Dari segi politik, tingkat ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah tetap tinggi, sehingga menyulitkan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan. "Apa pun langkah kebijakan pemerintah, akan penuh penolakan, terutama yang berdampak langsung kepada masyarakat, misalnya pajak langsung seperti PPN," katanya kepada Tempo, Rabu, 8 Januari 2025.

Tidak hanya tantangan dari dalam negeri, ketidakpastian ekonomi global juga dikhawatirkan akan menekan penerimaan pajak pada tahun depan. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan ada risiko volatilitas harga komoditas utama, terutama di sektor-sektor berbasis sumber daya alam. Hal ini dapat menurunkan permintaan ekspor dan mengurangi setoran pajak.

Meski banyak tantangan dalam mencapai target penerimaan pajak 2025, Josua berpandangan ada berbagai peluang untuk mencapainya. Terutama melalui berbagai kebijakan berbasis teknologi dan reformasi perpajakan. Misalnya, penerapan sistem Coretax yang dapat meningkatkan efisiensi dan memperluas jangkauan pengumpulan pajak. Dia juga berharap pemerintah bisa meningkatkan efisiensi dan pengawasan terhadap wajib pajak berpenghasilan tinggi (HWI) menjadi prioritas untuk memastikan kepatuhan pajak yang lebih baik.

Proyeksi stabilitas inflasi pada kisaran 2,5 persen juga diharapkan akan mendukung daya beli masyarakat. Josua berpendapat kondisi inflasi yang terkendali berkontribusi pada konsumsi domestik yang lebih kuat, yang pada gilirannya akan memperbesar basis pajak dari sektor konsumsi, seperti PPN dan PPnBM.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus