SESUDAH 20 tahun, apa yang tertinggal dari hutan tropis kita? Pertanyaan nakal semacam ini tentu tidak mungkin dijawab dengan gegabah. Tidak pun perlu ditanggapi dengan amarah. Kesediaan beberapa negara maju untuk membantu Indonesia menjinakkan kebakaran hutan -dengan peralatan modern serta bantuan dana ala kadarnya -menunjukkan bahwa tanggung jawab akan keselarasan hidup bersama di planet ini, harus didahulukan dari yang lain-lain. Lama berselang, Barbara Ward sudah mengingatkan bahwa kita hanya punya satu bumi. Dan bumi adalah taruhan satu-satunya bagi homo sapiens untuk menata hidup yang lebih baik pada abad ke-21. Hal ini tentu hanya mungkin dicapai dengan menciptakan keselarasan antara kemajuan teknologi dan ketahanan alam sekitar. Juga dengan upaya menemukan keseimbangan, antara pemanfaatan potensi alam dan pemeliharaan potensi tersebut. Tak syak lagi, hutan tropis se-Nusantara adalah bagian yang menentukan dari taruhan itu. Masalahnya hanya, adakah kita menilai hutan ini sebagai taruhan hidup-mati. Bila ditimbang-timbang baik-buruk pengelolaan hutan selama 20 tahun terakhir, tampaknya banyak kalangan di negeri ini yang tidak berpikir sejauh itu. Mungkin kini, dengan meluasnya areal kebakaran hutan, kalangan yang terlibat dengan eksploitasi sumber daya alam itu, akan lebih menyadari kesulitan yang sedang kita hadapi. Dalam seminar di IPB Agustus silam, Prof. Dr. Ir. Herman Haeruman mengingatkan bahwa hutan Indonesia menunjukkan penurunan, baik luas maupun mutunya. Areal hutan berkurang dari 144 juta hektare ke sekitar 120 juta hektare. Bicara tentang mutu kayu bulat (log), Kabiro Pengelolaan Sumber Daya Alam dari Bappenas itu menyebutkan, bahwa kayu jenis komersial -dengan diameter 60 cm ke atas -juga menurun jumlahnya. Menyadari kenyataan inilah, maka target produksi kayu komersial sepanjang Pelita V, ditetapkan hanya 30,3 juta m3 per tahun. Hal penting yang juga dikemukakan Herman ialah, bahwa jasa lingkungan dari areal hutan telah tidak dinilai sebagaimana mestinya. Berbeda dengan log, nilai jasa lingkungan hutan tentu sulit dihitung dengan uang. Munkin hari-hari ini, manakala kita merasa kecut pada amukan jago merah yang melalap hutan, barulah bisa direka berapa kira-kira nilai jasa lingkungannya. Mungkin ketika Departemen Kehutanan harus mengeluarkan dana ekstra untuk mencoba menahan jalaran api, maka barulah muncul sejumlah angka di benak pengambil keputusan di gedung Manggala. Dan bila memang begitu, maka hal ini sudah bisa dianggap sebagai pertanda bahwa kepekaan masih ada. Aneh kedengarannya, namun sejauh yang menyangkut pengelolaan hutan, kepekaan agaknya harus diasah, mengingat ketahanan hutan kita sudah tidak seperti dulu lagi. Keteguhan sikap untuk mewujudkan HTI (Hutan Tanaman Industri) -dengan konsep hutan untuk industri harus ditanam sendiri juga menunjukkan bahwa ada kesadaran kuat akan pentingnya kelestarian hutan. Terlepas dari pelaksanaannya di lapangan, HTI bisa dinilai sebagai titik tolak yang baru dalam manajemen hutan selama ini. Bahwa 20 tahun bisnis perkayuan -yang acapkali dituding sebagai penjarah hutan -telah menggerogoti si emas hijau, tentu bukanlah hal yang baru sama sekali. Bahwa banyak ekses di sekitar penggerogotan itu, juga tidak baru lagi. Sudah lama pejuang lingkungan, pakar ekonomi maupun pengambil keputusan tak letih-letihnya adu argumentasi tentang ekses-ekses itu. Namun apa yang terjadi? Seorang pejabat menuduh peladang liar -maksudnya peladang berpindah -- sebagai biang kerusakan hutan. Lalu ada pakar yang tergerak hatinya untuk menghitung rente ekonomi yang sempat ditimbun di atas kerusakan itu. Dan ada pengusaha yang marah besar, karena kalkulasi rente itu dianggapnya tidak benar. Sebagai cerita bisnis yang bernuansa lingkungan, laporan utama TEMPO kali ini agaknya tidak cukup memadai. Berbagai kebijaksanaan Pemerintah yang banyak menentukan nasib hutan kita tidak dibahas di sini. Rente ekonomi memang disajikan dalam beberapa versi, namun kehancuran bisnis kayu gergajian dan rotan tidak dikaji lebih jauh. Dan masih banyak yang luput, misalnya ekspor komoditi kayu, nilai ekonomis hutan, nasib peladang berpindah atau berbagai hal lain yang menyangkut kerusakan hutan. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini