Kayu lapis telah menjadi primadona, tapi jutaan hektare hutan lenyap dari muka bumi. Benarkah memang ada nilai tambah? PERNAH diramalkan akan ada kemarau panjang, tapi tidak pernah dinujumkan bahwa akan terjadi kebakaran hutan. Padahal, aksi jago merah yang melalap rimba belantara seharusnya bisa diperkirakan lebih awal. Namun, Departemen Kehutanan tidak memiliki alat pendeteksi, konon pula pemegang HPH. September lalu, kebakaran hutan terjadi di Lampung. Hutan tanaman industri (HTI) seluas 5.400 hektare musnah. Menyusul kebakaran hutan di Kalimantan Tengah seluas 76.000 ha, kemudian di Sumatera Selatan dan Jambi 7.000 ha. Lalu kebakaran Bukit Soeharto dan Pulau Panaitan. Selama sang hujan belum turun, si jago merah telah menghanguskan sekitar 90.000 ha lahan. Jika hutan tropis kita yang merupakan paru-paru dunia sebagian habis terbakar, maka gejala ini tidak bisa diabaikan. Dunia internasional bahkan menaruh perhatian khusus atas kejadian ini. Beberapa negara, seperti Kanada, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru kini siap mengulurkan bantuan. Sikap mereka -khususnya negara tetangga Malaysia -sedemikian serius, hingga timbul kesan, Indonesia seakan tak punya dana, tak merawat sumber alamnya, dan juga tidak lain-lainnya (lihat Hujan Datang Bersama Bantuan). Lalu, andaikata kebakaran dan kerusakan hutan berkobar terus, apakah kelak kita juga tidak punya hutan lagi? Ada pihak yang menilai kebakaran itu kecil, "hanya" 90.000 hektare. Tidak sedikit pun diperhitungkan, andaikata hujan tak turun, kebakaran bisa meruyak dan menelan ratusan ribu hektare. Nah, kemungkinan semacam inilah yang menggerakkan masyarakat internasional untuk memadamkan kebakaran hutan di Indonesia. Mereka tidak melihatnya kecil atau besar. Yang penting sumber alam diselamatkan, paru-paru dunia tetap sehat. Selain itu, masyarakat internasional juga kembali mengingatkan bahwa ada yang "lebih jahat" dari api, yakni manusia. Laporan Bank Dunia yang dipublikasikan awal pekan lalu di Washington itu menyebutkan: setiap tahun Indonesia menggunduli hutannya lebih dari satu juta hektare. Sebuah angka yang fantastik. Itu pun jika dibandingkan dengan perusakan di seluruh Asia yang mencapai 5 juta hektare. Perusakan yang paling parah terjadi di tiga wilayah besar, yakni Kalimantan, Sumatera, dan Irian Jaya. Satu bukti kejahatan manusia dalam merusak hutan dengan mudah bisa ditemukan di Kalimantan Timur. Di provinsi yang memasok kebutuhan 60% industri kayu di Indonesia itu -sekitar 6,5 juta log setahun -kini sudah agak sulit ditemukan hutan. Tengok saja pemandangan kiri-kanan sepanjang alur Mahakam, paling tidak dari Samarinda hingga Kecamatan Melak. Dalam perjalanan sehari semalam, yang terlihat hanya lahan-lahan kosong. Tak ada hutan. Padahal, beberapa tahun lalu, hilir Mahakam termasuk daerah yang rimbun. Adalah Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap yang mengatakan, daerah operasi perusahaan HPH sudah naik ke hulu Mahakam. Pasukan bergergaji mesin sekarang lebih banyak beraksi di punggung-punggung pedalaman Kal-Tim. Keparahan yang kini tampak bukanlah produk perusakan setahun dua, tapi sudah berlangsung lebih dari 20 tahun. Ada beberapa faktor yang menyebabkan penggundulan hutan tampak berjalan tanpa hambatan. Pertama-tama, lemahnya manajemen pengelolaan hutan. Pembagian HPH -dilakukan sejak 20 tahun lalu -- dilakukan secara tidak transparan. Pemegang HPH mencapai 500-an lebih, tapi tidak sedikit pengusaha yang menguasai konsesi jutaan hektare. Pengusaha Prajogo Pangestu, misalnya, resmi memperoleh konsesi 1,9 juta hektare, tapi yang dikerjakannya mencapai 5 juta hektare. Begitupun Djayanti Group. Perusahaan kayu yang diperkirakan terbesar di Indonesia ini kini mengelola hutan seluas 4 juta hektare. Meski pemerintah sudah tegas-tegas melarang HPH dijual alias dipindahtangankan, toh itu tetap saja terjadi. Para pengusaha kuat modal tetap saja bisa menguasai hutan di luar konsesinya, dengan cara mengambil alih saham HPH-HPH lain. Seperti yang diakui sendiri oleh Menteri Hasjrul, cara ini dibenarkan dalam hukum perdata. Belakangan (1989) baru Pemerintah menetapkan, bahwa perpindahan saham hanya boleh dengan persetujuan Menteri Kehutanan. Tindakan pengamanan itu tampaknya sudah terlambat. Menurut sebuah sumber, hanya sekitar 60% dari sekian ratus pemegang HPH yang mengerjakan konsesinya. Sisanya dikerjakan oleh pengusaha-pengusaha kuat modal. Para pemegang HPH yang kurang modal hanya menerima fee 8 sampai 10 dolar dari setiap kubik kayu yang ditebang. "Itu kan enak, bisa ongkang-ongkang kaki tanpa pusing mikirin modal," kata seorang pengusaha kayu terkemuka. Keadaan menjadi lebih buruk, karena kebanyakan (hampir 90%) perusahaan menyerahkan pengelolaan hutannya kepada kontraktor. Dan biasanya, kontraktor selalu berusaha memperoleh log sebanyak-banyaknya, tanpa peduli dengan kelestarian hutan. Di Kalimantan Timur, misalnya, dengan mudah bisa ditemukan padang-padang semak belukar (luasnya belum dihitung) bekas penebangan 5 sampai 10 tahun lalu. Dari situ muncul pertanyaan yang menggoda, "Mana itu tebang pilih yang akan menyisakan anak-anak pohon? Mana reboisasi? Mana hutan tanaman industri?" Memang, di Bukit Soeharto (antara Samarinda dan Balikpapan), ada terlihat hasil kerja tanam yang baru. Tapi tak terawat. Acassia mengium, jenis pohon cepat tumbuh yang ditanam di sana, hidup kerdil. Selintas tampak seperti pohon turi. Mengapa reboisasi dan gerakan tanam kembali belum menampakkan hasilnya? Padahal, jumlah dana yang dihasilkan hutan-hutan Indonesia terbilang besar. Ekspor kayu lapis pada semester I 1991, misalnya, menghasilkan tak kurang dari 1,4 milyar dolar. Dari pengumpulan dana reboisasi, yang berlangsung sejak 1985, Pemerintah sudah mengantongi tak kurang dari 460 juta dolar. Tapi untuk memperoleh hasil ekspor yang demikian besar, bukan cuma hutan yang menjadi korban. Melalui sebuah kebijaksanaannya, Pemerintah telah mengorbankan ribuan petani rotan dan ribuan perusahaan kayu gergajian yang mempekerjakan ratusan ribu buruh. Alasannya, larangan ekspor diberlakukan untuk memperoleh nilai tambah dari kayu. Belakangan muncul pertanyaan: siapa saja yang menikmati nilai tambah kayu? Seorang pengamat hutan mengatakan, selama ini Pemerintah hanya menikmati 17% dari total pendapatan hasil hutan. Jumlah itu diperoleh dari tujuh pungutan yang meliputi berbagai pajak dan iuran wajib. Pernyataan yang dicetuskan LSM ini membuat Bob Hasan (sebagai Ketua Masyarakat Perhutanan Indonesia dan Ketua Apkindo) berang. "Itu kan cuma bacotnya Walhi (Wahana Lingkungan Hidup)," katanya emosional. Menurut Bob, tidak benar kalau dikatakan bahwa rasio pendapatan pengusaha hutan dan Pemerintah dari sektor hutan adalah 83 : 17. Pernyataan ini diperkuat oleh Menteri Hasjrul. Katanya, setelah memperhitungkan berbagai biaya untuk mengolah kayu (termasuk bahan baku, biaya produksi, plus berbagai pajak dan pungutan), pengusaha hanya memperoleh keuntungan setelah pajak sebesar 14,3 dolar dari setiap kubik kayu yang sudah diolah. Sedangkan yang masuk ke pemerintah dari setiap kubik hasil kayu yang diekspor tak kurang dari 29,7 dolar. Benarkah? Ini yang selalu dipertanyakan oleh banyak pengamat ekonomi hutan. Menurut beberapa pakar yang dihubungi TEMPO, ada beberapa angka yang sengaja dibengkakkan. Misalnya biaya logging. Hasjrul memperhitungkan, ongkos mengeluarkan log 40 dolar setiap kubik. Tapi seorang peneliti memastikan, ongkos itu tak lebih dari 21 dolar. Mungkin, perhitungan para pakar yang melakukan penelitian langsung ke lapangan ada benarnya. Inhutani, buktinya. BUMN yang bernaung di bawah Departemen Kehutanan ini mengaku meraih keuntungan 20 dolar dari setiap kubik log. Bahkan Elyas, Doktor ahli pemanenan hutan lulusan Munchen, mengatakan bahwa keuntungan itu lebih tinggi lagi, 40 dolar pe kubik. Sesudah 20 tahun, tampaknya pengelolaan hutan Indonesia hanya sedikit menunjukkan langkah maju. Pemerintah mulai menerapkan aturan yang ketat tentang pengusahaan hutan. Baru-baru ini Pemerintah bahkan menolak permohonan perpanjangan 11 pemegang HPH seluas 315.000 hektar. Kewajiban TPTI (tebang pilih tanam Indonesia) dipertegas kepada pemegang HPH. Hanya bila ada yang menolak bayar denda dan pihak yang berwajib seperti tidak tahu harus berbuat apa, gejala ini mencemaskan juga. Beberapa lembaga internasional sudah menyatakan bahwa mereka hanya akan memberikan pinjaman kepada negara-negara yang memelihara lingkungannya. Belanda, misalnya, akhir tahun lalu menyatakan, mulai 1995 mereka hanya akan mengimpor kayu dari hutan yang sustainable, yaitu hutan yang dijaga kelangsungan hidupnya. Ancaman seperti ini sebaiknya dipelajari dengan seksama. Siapa tahu, mungkin saja negara-negara lain di Eropa mengikuti jejak Belanda. Apalagi kini, ketika pasar Jepang sudah tidak begitu manis pada kayu lapis Indonesia. Budi Kusumah, Dwi S. Irawanto, Bambang Aji, dan Iwan Qadar . TABEL -------------------------------------------------------------- . LAJU KERUSAKAN HUTAN PER TAHUN . 1982--1990 -------------------------------------------------------------- . SUMATERA 367,7 ribu Ha . KALIMANTAN 610,9 ribu Ha . SULAWESI 117,5 ribu Ha . MALUKU 24,3 ribu Ha . IRIAN 163,7 ribu Ha . NUSA TENGGARA 14,5 ribu Ha . JAWA 16,1 ribu Ha -------------------------------------------------------------- Sumber: Laporan FAO "Forest Resource and Land use in Indonesia" Oktober 1989 . . EKSPOR HASIL KAYU 1982--1990 ----------------------------------------------- . 1982 543.143 . 1983 799.910 . 1984 997.371 . 1985 1.164.875 . 1986 1.417.904 . 1987 2.336.296 . 1988 2.883.644 . 1989 3.330.000 . 1990 3.440.798 ----------------------------------------------- Sumber: Biro Pusat Statistik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini