KABAR tentang akan dijualnya beberapa hotel milik pemerintah memang sudah bertiup lama. Tapi kalangan bisnis tetap saja terperangah. Soalnya, berita paling baru tidaklah sesuai dengan apa yang tersiar beberapa bulan silam. Transaksinya entah kapan, yang pasti pekan lalu tersiar kabar bahwa Sultan Brunei telah membeli Hotel Nusa Dua Beach dari Garuda Indonesia. Harganya 120 juta dolar AS. Berita itu mengundang banyak pertanyaan. Sebab, yang dulu kabarnya pernah ditawarkan pemerintah adalah empat hotel yang dikelola oleh BUMN PT Hotel Indonesia Internasional -- Ambarrukmo Palace Hotel Yogyakarta, Hotel Wisata Jakarta, Putri Bali, dan Bali Beach Hotel. Pihak Garuda sendiri membantah bahwa transaksi itu telah terjadi. "Sampai saat ini Nusa Dua belum kami jual," kata Soenarjo, Direktur Pemasaran Garuda Indonesia, Senin pekan ini. Namun, kan tidak berarti Garuda tidak berniat menjual Nusa Dua. Diakui oleh Dirut Garuda M. Soeparno belum lama ini, pemerintah sudah memberikan izin kepada BUMN yang dipimpinnya untuk melego hotel berbintang lima itu. Hasilnya kelak akan digunakan untuk membangun tiga hotel baru di Jakarta, Bukittinggi, dan Sumatera Barat. Tampaknya, sampai kini belum ada calon pembeli dengan penawaran yang cocok. Padahal, menurut Soenarjo, pengusaha yang berminat melamar Nusa Dua sudah datang dari berbagai penjuru, termasuk pembeli dari Brunei Darussalam. "Kalau penawarannya cukup tinggi, pasti kami lepas," ujarnya. Berapa? "Kalau bisa laku 130 juta dolar, itu sudah cukup bagus," kata Soeparno. Dari pernyataan ini, terkesan bahwa Nusa Dua belum terjual. Tapi Menparpostel Soesilo Soedarman mengisyaratkan pada TEMPO Senin pekan ini, bahwa penjualan sudah terjadi dengan nilai 120 juta dolar (sekitar Rp 212 milyar). Pembelinya adalah Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei Darussalam. "Tapi saya belum tahu transaksi jual-belinya," tutur Menteri. Menurut Soesilo, pada dasarnya pemerintah tak keberatan Nusa Dua dijual. Toh Indonesia terus sibuk mencari investor yang mau menanamkan uangnya di bidang pariwisata. "Lha, kalau ada investor tidak mau membangun sendiri, tapi mau beli yang sudah jadi, mengapa tidak," tutur Soesilo. Dipilihnya Brunei sebagai pembeli tentulah bukan hanya karena penawarannya yang tinggi. Tapi juga lantaran Brunei punya jasa pada pemerintah Indonesia. Misalnya, tahun lalu Brunei memberi pinjaman tanpa bunga sebesar 100 juta dolar. Satu hal yang perlu dicatat ialah, Brunei bukanlah pembeli tunggal. Sang Sultan diduga berpatungan dengan sebuah perusahaan swasta nasional. Entah benar entah tidak. Tapi, "Soal ada orang Indonesia yang ikut dalam pembelian Nusa Dua, itu bukan urusan kami. Tapi urusan Brunei," kata Martiono Hadianto, Direktur Pembinaan BUMN Departemen Keuangan. Terlepas dari hubungan baik Brunei-Indonesia, secara ekonomis penjualan Nusa Dua bisa dibilang menguntungkan. Itu kalau hasil penjualannya digunakan untuk membangun hotel baru. "Coba, kalau dipakai untuk membangun hotel berbintang tiga, bisa dapat berapa," tutur Menteri. Dirut Soeparno berpendapat begitu juga. "Karena penjualan ini, Garuda kehilangan salah satu asetnya. Tapi bisa menciptakan dua atau tiga aset baru lainnya," katanya kepada Bisnis Indonesia. Hanya ia bersikukuh bahwa transaksi belum terjadi. Menurut dia, angka 120 juta dolar itu masih terlalu rendah. Lalu seharusnya berapa? Ya, paling tidak di atas 130 juta dolar. Padahal, ketika dibangun pada tahun 1982, Nusa Dua yang berkapasitas 420 kamar itu menelan invetasi hanya 45 juta dolar. Tapi Nusa Dua yang sekarang memang lain. "Nusa Dua Beach adalah perintis hotel di kawasan Nusa Dua," kata I P.N. Sunetja, pengelola kawasan wisata Nusa Dua, Bali. Pemerintah sudah membuka kawasan itu sejak tahun 1978. Tapi karena belum merupakan daerah tujuan wisata, pengusaha enggan membangun hotel di sana. Apalagi turis belum seramai sekarang. Nah, dalam situasi itulah Dirut Garuda -- ketika itu dijabat oleh Wiweko -- memutuskan untuk membanun hotel di sana. Memang, di tahun-tahun pertama hotel itu tersendat-sendat. Maklum, sasaran mereka adalah pengunjung kelas berduit, yang kini justru datang berduyun. Dengan tarif kamar paling rendah 80 dolar semalam, Nusa Dua selalu penuh pengunjung. Menurut Sunetja, tingkat hunian tahun lalu rata-rata di atas 70%. Bahkan dalam beberapa minggu terakhir angka itu meningkat 85-100%. Dengan kata lain, tiap hari paling sedikit ada 360 kamar yang terisi. Wajarlah bila harga jualnya di atas 100 juta dolar. Kalau dihitung secara kasar, dengan tingkat hunian rata-rata 85%, maka Nusa Dua bisa menghasilkan 10,4 juta dolar (sekitar Rp 18,4 milyar) setahun. Itu belum termasuk hasil penjualan makanan. Tapi mengapa harus dijual? "Kalau dari hasil penjualannya bisa digunakan untuk membangun yang baru, kenapa tidak? Pokoknya, penjualan itu sudah berdasarkan pertimbangan komersial," jawab Direktur Pembinaan BUMN, Martiono. Toh di balik kesepakatan itu ada suara lain. "Hotel yang sudah besar dan untung, kok, malah dijual," kata Benyamin Paulus Mesakh, Wakil Sekretaris Fraksi Bidang Ekonomi dan Keuangan DPR RI. Dia pun berteori. Katakanlah Garuda butuh dana, kan lebih baik dijual saja kepada rakyat. Sebab, dengan go public, selain keuntungannya akan dinikmati masyarakat, kegiatan pasar modal pun akan meningkat. Dan itu sesuai dengan beleid pemerintah. "Kalau swasta didorong-dorong untuk go public, lha kenapa BUMN yang bagus dan untung malah dijual begitu saja," ucap Messakh, tak habis pikir. Teorinya bagus, namun tampaknya sudah terlambat. Tunggu saja, hotel seperti apa pengganti Nusa Dua kelak.Budi Kusumah, Muchsin Lubis, Bambang Aji, Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini