Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Televisi indonesia,zaman baru ...

Rcti akan bisa ditonton tanpa dekoder. pt televisi pendidikan indonesia akan menyelenggarakan siaran pendidikan. di surabaya, surabaya centra televisi diresmikan. menyusul di kota-kota propinsi lain.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI, sejarah televisi di Indonesia akan berubah. Mulai Jumat pekan ini Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) akan menyelenggarakan siaran yang bisa Anda tonton tanpa memasang dekoder. Akibatnya belum sepenuhnya terbayangkan sekarang, tapi bisa diduga akan besar. Televisi adalah media yang sangat efektif untuk mempengaruhi perilaku budaya, sosial, dan bahkan politik. Apalagi "bebas dekoder" hanya salah satu saja dari perubahan yang sedang terjadi. Sabtu pekan lalu, di Departemen Penerangan, ditandatangani kerja sama antara Yayasan TVRI dan PT Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) untuk menyelenggarakan televisi pendidikan. TPI adalah perusahaan swasta yang dipimpin Nyonya Siti Hardiyanti Rukmana. Di Surabaya, juga pekan ini, diresmikan Surabaya Centra Televisi (tidak jelas ini bahasa Indonesia atau bukan). Pengusaha Sudwikatmono adalah salah seorang yang menaruh uang di dalamnya. Setelah itu, Bandung dan Denpasar akan menyusul segera. Deregulasi? Penswastaan? Nanti dulu. Sejak pekan ini, akan ada tiga jenis siaran: nasional, regional, dan lokal. Siaran nasional hanya diisi oleh TVRI dan televisi pendidikan. Siaran regional hanya boleh diselenggarakan oleh stasiun-stasiun TVRI di beberapa kota, misalnya studio Denpasar bersiaran buat seantero Nusa Tenggara. Sedangkan siaran lokal diadakan hanya di ibu kota provinsi. Di sini, di samping studio milik pemerintah, boleh ada studio swasta. Itu tak berarti izin untuk televisi swasta diobral Pemerintah. Untuk televisi pendidikan sudah ada pagar: hanya satu saja. TPI memonopoli siaran ini. Stasiun swasta hanya ada sebuah di setiap provinsi dan letaknya pun tak boleh di luar ibu kota provinsi. Daya pancarnya dibatasi untuk radius 80 km. Maka, inilah peta pertelevisian di masa datang: karena luas provinsi tak sama, ada kawasan yang "dikepung" siaran dan ada yang "miskin" siaran. Warga Surakarta, misalnya, yang selama ini sudah menikmati dua saluran (TVRI Surabaya dan Yogya) nanti dikepung "siaran lokal" yang dipancarkan dari Semarang, Yogya, dan Surabaya kota-kota yang punya potensi besar untuk TV swasta. Cirebon, di batas Jawa Barat-Jawa Tengah, misalnya, tergolong sepi. Kalau batasan radius 80 km itu tak "bocor", orang Cirebon hanya akan bisa menangkap siaran TVRI. Jangan ditanya Anda yang di Kalimantan atau Irian Jaya. Setidaknya sampai (insya Allah) ada yang berminat membangun stasiun televisi di situ, yang biayanya demikian besar. Yang mencolok: TVRI mengharamkan iklan, sedangkan televisi swasta boleh menayangkan iklan. Syaratnya: batasan maksimum 20 persen dari jam siaran. Dengan batasan itu pun, bisa diduga godaan iklan akan menjangkau Anda lewat pesawat berbentuk kotak itu. Walaupun urusan iklan juga diatur Departemen Penerangan -- porsinya, jenisnya, proses pembuatannya -- toh iklan membludak. Satu tulisan di boks di halaman 78-79 akan melaporkan lebih rinci kemungkinan itu. Sementara itu segi bisnis dan dampak sosial dari siaran swasta itu akan dibahas mulai di halaman 77. Bagaimana dengan TVRI? Jika televisi swasta semakin banyak, akankah TVRI ditinggalkan pemirsanya? Jika siarannya dapat bersaing, punya ciri sendiri dan bagus, tentu banyak orang yang masih akan menongkronginya. Tapi itu perlu dua hal yang sulit: pertama, kebebasan kreatif dan imajinasi dan kedua, biaya. Tentang hal yang pertama, para awak televisi pemerintah biasanya tak gampang memperolehnya. Teramat banyak tuntunan "dari atas". Tentang yang kedua, sulit-sulit gampang. Pemancar milik pemerintah itu hidup dari tiga sumber: subsidi pemerintah, sebagian keuntungan iklan di televisi swasta, dan iuran televisi. Tahun terakhir ini, TVRI hidup dengan anggaran Rp 70 milyar setahun, 87% uangnya datang dari iuran televisi. Problem dan harapan-harapan buat TVRI, kami bicarakan mulai di halaman 74. Kini masih terlampau dini untuk berbicara tentang dampak sosial, budaya, dan politik dari susunan kekuatan baru pertelevisian di Indonesia ini. Yang tampil pertama adalah terjadinya lingkungan pengalaman yang berbeda-beda: ada sejumlah orang yang bebas memilih siaran, ada yang tidak. Yang juga bisa terjadi adalah kian terbukanya sebagian masyarakat Indonesia kepada yang berlangsung di luar dunia mereka, lewat film-film asing yang secara komersial lebih menguntungkan bagi televisi swasta. Dan kelak mungkin akan jelas, mana yang melayani kepentingan masyarakat banyak: yang swasta atau yang pemerintah. Kedua-duanya bisa, atau kedua-duanya tidak. Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus