Begitu daftar bankir yang dicekal muncul di TEMPO, telepon redaksi hampir tak berhenti berdering. Beberapa bankir menanyakan sejumlah nama yang mereka tahu kena larangan ke luar negeri, tapi "menghilang" dari daftar itu. Apakah mereka sudah lolos dalam menit-menit terakhir? Ataukah nama-nama itu cuma terselip?
Ternyata, harus diakui, daftar yang dilaporkan TEMPO itu tak cukup lengkap. Setidaknya, ada 19 bankir yang terlewat. Yang paling mencolok adalah "hilangnya" seluruh bankir dari Bank Sewu Internasional dari dalam daftar cekal versi TEMPO itu.
Semestinya, dari 11 pemilik dan pengurus Bank Sewu, cuma dua yang dibebaskan kemana pun mereka mau pergi. Mereka adalah Achmad Djimar dan Charles A. Lim. Selebihnya, Dasuki, Hartadi, Husodo dan Lanny (ayah beranak Angkosubroto), serta Sean Carara Tanuwidjaja, Dave Darmansjah Noor, dan F.A. Wiwik Atmadja kesemuanya masuk dalam daftar nama-nama yang dilarang ke luar negeri.
Menurut perhitungan sumber TEMPO di BPPN, kewajiban yang harus dilunasi pemilik Bank Sewu kepada negara cukup besar. Ketika ditutup pertengahan Maret lalu, jumlah kewajiban bank papan tengah ini mencapai Rp 922 miliar. Bagian terbesar dari jumlah itu (Rp 642 miliar) merupakan dana talangan likuiditas dari Bank Indonesia.
Untuk menutup kewajiban itu, Bank Sewu cuma punya cadangan aset Rp 381 miliar. Dari jumlah ini, 16 persen di antaranya merupakan kredit macet yang tak bisa lagi diharapkan pelunasannya. Seorang pejabat di BPPN menghitung, dari aset ratusan miliar itu, paling banter hanya Rp 230 miliar yang bisa dicairkan. Karena itu, pemilik Bank Sewu masih harus menombok hampir Rp 600 miliar.
Bankir lain yang mestinya masuk dalam daftar cekal adalah para komisaris Bank Indonesia Raya (Bira). Dari lima komisaris di bank papan tengah ini, mestinya hanya satu, yakni Utomo Josodirjo, yang dibolehkan ke luar negeri. Empat lainnya, Atang Latief, Kaharudin Latief, Lukman Iskandar, dan Frans Limas mestinya juga masuk dalam daftar cekal.
Menurut pejabat BPPN, utang pemilik Bira kepada negara tergolong sangat besar. Bank yang agresif dalam sindikasi kredit internasional ini menanggung beban kewajiban Rp 7,5 triliun. Selain memiliki pinjaman antarbank hampir Rp 1 triliun, bank yang dipimpin Bambang Panutomo ini juga berutang kepada Bank Indonesia (bagian terbesar merupakan bantuan likuiditas alias BLBI) sampai Rp 4,4 triliun.
Memang betul, dari catatan nilai asetnya, bank ini termasuk lumayan. Dalam laporan keuangan terakhir, tercatat ada sekitar Rp 6,2 triliun kekayaan Bira. "Tapi, itu cuma nilai di atas kertas," kata seorang analis perbankan mengingatkan. Menurut hitungan analis ini, nilai aset Bira lebih banyak terdongkrak oleh apresiasi mata uang dolar. Maklum, Bira termasuk bank yang sangat agresif dalam memberikan kredit dalam mata uang asing. Seandainya jaminan kredit-kredit ini disita, dan kemudian diuangkan, "Nilai riilnya pasti jauh di bawah nilai buku," katanya.
Padahal, seorang pejabat BPPN menambahkan, tingkat kredit macet di Bira tergolong besar. Dari Rp 3,1 triliun kredit yang dicairkan, sekitar 27 persen kini macet total. Melihat kondisinya yang compang-camping seperti ini, seorang pejabat BPPN menaksir, dari triliunan aset Bira itu, paling banter hanya 40 persen (Rp 2,5 triliun) yang bisa diuangkan. Karena itu, dia memperkirakan, kewajiban yang harus dibayar pemilik Bira kepada negara hampir mencapai Rp 5 triliun.
Selain Sewu dan Bira, ada satu bank lagi yang bankir-bankirnya "diloloskan" daftar cekal TEMPO. Mereka adalah para pengurus Bank Hastin. Ternyata, menurut keterangan sejumlah sumber di Departemen Keuangan, seluruh pengurus Bank Hastin masuk dalam daftar mereka yang dilarang ke luar negeri. Mereka adalah The Tje Min, Hendrawan Harjono, dan Hindarto Tantular (ketiga sudah dicekal sebagai pengurus bank lain), serta Anton Setiawan, Anwari Surjaudaja, Hermiwind Christianto, dan Vicentius Susanto.
Meskipun tak sebesar Bank Bira, para pemilik Bank Hastin tampaknya juga punya sejumlah kewajiban finansial yang harus diselesaikan. Menurut catatan TEMPO, bank dengan jaringan 42 cabang ini punya kewajiban Rp 2,3 triliun. Dengan beban sebesar itu, Hastin cuma punya cadangan aset Rp 1,2 triliun. Jadi, kalaupun seluruh aset bisa dicairkan, para pemilik Hastin harus menombok Rp 1 triliun lebih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini