Dua pekan sudah ratusan bankir dilarang ke luar negeri. Tapi, selama masa itu, tak tercatat ada satu pun perkembangan yang berarti. Sejumlah nama yang dikabarkan telah kabur tak menampakkan tanda-tanda bakal kembali. Usaha-usaha untuk memaksa mereka pulang pun, seperti dijanjikan para petugas, tak kunjung kelihatan. Lalu, "What's next? Mau apa lagi?" tanya seorang bankir, seperti tak mengerti mengapa proses pemeriksaan bankir-bankir ini begitu lamban.
Memang benar, menurut keterangan pemerintah, bankir-bankir ini dicekal bukan karena telah melakukan pelanggaran pidana perbankan. Mereka dilarang pergi ke luar negeri lantaran masih punya kewajiban finansial alias utang kepada negara.
Bank-bank milik mereka ditutup (bahasa resminya dibekukan) dengan meninggalkan sejumlah kewajiban. Misalnya, kewajiban bank kepada para nasabah dan deposan yang menyimpan uang, kewajiban kepada bank lain yang memberi pinjaman, atau kewajiban kepada Bank Indonesia yang sudah memberikan bantuan likuiditas. Semua kewajiban ini untuk sementara harus ditalangi pemerintah.
Memang, ada pula aset alias kekayaan bank yang diwariskan. Tapi, pada umumnya, jumlah kekayaan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai kewajiban yang harus dibayar. Di masa krisis seperti ini, kekayaan bank berupa kredit banyak yang macet tak terbayar. Karena itu, nilai aset bank secara riil akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang tertulis dalam laporan keuangan. Untuk itulah, para pemilik bank yang ditutup ini harus menomboki kewajiban yang tak terbayar oleh kekayaan bank.
Menurut seorang pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), hitung-hitungan jumlah yang harus dibayar pemilik bank sebenarnya telah selesai dan siap diumumkan. "Daftarnya sudah ada pada Pak Menteri," katanya. Ia mengaku heran, mengapa pemerintah kali ini terkesan kurang cekatan. Setahun lalu, ketika sejumlah bank ditutup dan diambil alih, pemerintah dengan cepat melakukan hitung-hitungan dan segera mengumumkan berapa kewajiban yang masih harus dibayar para bankir.
Lalu, mengapa saat ini terkesan begitu lamban? "Saya dengar," kata pejabat BPPN yang lain, "karena para pemilik bank yang ditutup galak-galak." Maksudnya, para pemilik bank yang ditutup dan diambil alih itu kali ini punya daya tawar politis cukup kuat.
Benar atau tidak, cerita semacam itu memang sulit dikonfirmasikan. Cuma, dilihat dari segi jumlah, nilai kewajiban bank-bank yang ditutup saat ini mestinya tidaklah seberapa besar—setidaknya jika dibandingkan dengan bank-bank yang ditutup tahun lalu. Lihat saja. Dari 12 bank yang ditutup dan diambil alih tahun lalu, pemerintah masih punya tagihan sekitar Rp 112 triliun. Sementara itu, dari 45 bank yang ditutup dan diambil alih tahun ini, menurut kalkulasi seorang pejabat BPPN, paling banter pemerintah punya tagihan Rp 50 triliun.
Berapa persisnya jumlah tagihan itu, memang belum bisa diperoleh. Tapi, menurut pejabat BPPN, mestinya tak terlalu sulit untuk menaksir berapa besar utang para pemilik bank yang ditutup kepada pemerintah. Pada tahap pertama, jumlahkan semua kewajiban bank, baik kewajiban kepada deposan, kepada bank lain, maupun kepada Bank Indonesia.
Setelah itu, bandingkan dengan nilai asetnya. Hati-hati, nilai aset yang tertera dalam laporan keuangan bukanlah nilai aset riil, tapi nilai di atas kertas. Jika aset-aset ini dicairkan atau diuangkan, hasilnya tak akan sebesar nilai yang tercatat dalam laporan keuangan. Di masa harga dolar begitu mahal seperti sekarang, aset bank cenderung melonjak karena apresiasi nilai kredit yang diberikan dalam mata uang valas.
Selain itu, sisihkan juga kredit macet dari aset lantaran pelunasan kredit seperti ini tak bisa diharapkan. Semakin besar tingkat kemacetan kredit suatu bank, semakin kecil pula nilai riil aset bank. Nah, dengan dasar perhitungan ini, menurut seorang pejabat BPPN, aset-aset bank yang ditutup pemerintah, "Paling banter cuma bisa dicairkan 60 persen."
Begitu gampangkah? Analis industri perbankan dari SogGen Global Equities, Lin Che Wei, kurang sependapat. Menurut Che Wei, tingkat pencairan 60 persen itu terlalu optimistis. Ia menghitung, untuk bank-bank yang hidup di saat krisis ini, nilai riiil aset cuma 40 persen dari nilai buku yang tercatat.
Tapi okelah, anggap saja aset-aset bank bisa dicairkan sampai 60 persen. Dengan asumsi yang optimistis seperti itu, total utang para pemilik bank yang ditutup Maret lalu mencapai Rp 38 triliun lebih. Dari 38 bank, cuma ada tiga bank yang mampu memenuhi kewajiban. Artinya, kekayaan ketiga bank ini (Sanho, Sino, dan Bepede Indonesia) masih lebih besar dari kewajibannya. Tapi, 35 bank yang lain kewajibannya lebih besar dari kekayaannya. (Daftar 15 bank yang punya utang terbesar, lihat tabel)
Pertanyaannya, apakah para pemilik bank ini akan sanggup melunasi tagihannya? Entahlah. Yang pasti, melihat pengalaman selama ini, para bankir itu tak akan melunasi pinjamannya dengan uang tunai. Ke-12 bank yang ditutup dan diambil alih tahun lalu, seperti BCA, Danamon, BUN, BDNI, dan Bank Modern, memilih untuk menyerahkan aset dan harta pribadinya sebagai jaminan pelunasan.
Celakanya, pencairan aset-aset jaminan itu juga tidak mudah. Hingga hari ini, dari ratusan triliun aset berupa penyertaan saham di sekitar 200 perusahaan yang dijaminkan itu, belum satu pun yang bisa diuangkan.
Lalu, bagaimana dengan pengembalian utang para pemilik bank yang ditutup tahun ini? "Tampaknya tak akan lebih baik," kata seorang pejabat Departemen Keuangan dengan pasrah.
Nama Bank | Aset Bersih* (Rp miliar) | Kewajiban (Rp miliar) | Selisih yang harus dibayar bankir (Rp miliar) | Aspac Bank Bira Bank Utama PSP Umum Servitia Mashill Utama Bank Papan Sjtr. Bank Uppindo Hastin Bank Dharmala Bank Ficorinvest Bank Lautan Brln. Bank Tata Bank Central Dgng Bank Dewa Ruci 23 bank lain | 2.591 3.705 995 1.009 2.479 1.098 769 940 733 1.270 989 377 525 1.355 683 - | 9.482 7.535 3.595 3.595 4.592 3.133 2.770 2.679 2.315 2.771 2.436 1.635 1.633 2.394 1.492 - | 6.891 3.830 2.600 2.586 2.113 2.035 2.001 1.739 1.582 1.501 1.447 1.258 1.108 1.039 809 8.345 |
TOTAL | 38.373
|
Sumber BI dan BPPN
*) Dihitung berdasarkan asumsi hanya 60 persen dari aset yang bisa dicairkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini