SEPERTI air dalam pipa, mobil-mobil mewah itu memasuki pelataran Gedung Bank Indonesia. Urut, mengalir, satu-satu. Lelaki perlente, ibu-ibu wangi, dengan jas licin, turun dengan wajah segar dan senyum lebar.
Hari itu, Kamis siang pekan lalu, para bankir papan atas Indonesia itu akan menerima apa yang telah diceritakan hingga berjilid-jilid: perjanjian bantuan modal pemerintah. Suasana gembira sulit disembunyikan. Para bankir terus tersenyum dan tetap sumringah meskipun acara diundur hampir tiga jam.
Bagaimanapun, diakui atau tidak, suntikan modal pemerintah ini menjadi nyawa kedua bagi bank-bank papan atas itu. Tingginya suku bunga rupiah, mahalnya dolar, dan buruknya seleksi pemberian kredit telah mengancam kehidupan bank. Kualitas harta bank merosot, kredit macet membengkak. Modal harus ditambah jika ingin bank tetap hidup.
Berdasarkan uji tuntas (due diligence) tahun lalu, ada sembilan bank yang, menurut pemerintah, layak mendapat injeksi modal. Untuk bertahan hidup, mereka membutuhkan tambahan modal Rp 21,3 triliun. Dari jumlah ini, pemerintah menyediakan bantuan Rp 17 triliun, sedangkan pemilik bank cuma menyetor sisanya, Rp 4,3 triliun.
Injeksi modal pemerintah ini langsung dibelikan surat utang jangka panjang (obligasi) pemerintah. Bank akan menerima bunga obligasi yang ditentukan dalam dua sistem. Sebagian berbunga tetap (fixed rate) 3 persen, sebagian lagi memakai patokan suku bunga pasar berdasarkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia jangka tiga bulan, yang saat ini berkisar 35 persen.
Dengan tambahan dana itu, tingkat kecukupan modal bank akan meningkat. Tingkat kecukupan modal bank biasanya diukur dengan rasio antara jumlah kapital dengan aset berisiko, alias capital adequacy ratio (CAR). Dengan injeksi puluhan triliun ini, CAR bank diharapkan mencapai 4 persen. Ini masih jauh di bawah standar internasional yang menyaratkan CAR minimal 8 persen.
Pertanyaannya, apakah suntikan ini cukup untuk menyelamatkan nyawa bank? Banyak yang ragu. Seorang analis menyayangkan jumlah tambahan modal itu didasarkan pada kebutuhan bank pada akhir tahun lalu. Padahal, dalam jangka waktu tiga setengah bulan kemudian hingga hari ini, kualitas harta bank makin buruk.
Kredit yang tadinya diragukan (tak membayar cicilan enam bulan), menurut kalkulasi analis ini, 50 persen di antaranya telah masuk dalam kategori macet (ngemplang cicilan sembilan bulan). Akibatnya, injeksi modal yang dibutuhkan mestinya jauh lebih besar.
Hal ini diakui seorang pejabat di Departemen Keuangan. Menurut hasil uji tuntas terakhir, kebutuhan injeksi modal bagi sembilan bank itu memang telah naik antara 20 sampai 50 persen. Total jenderal, kebutuhan tambahan modal yang diperlukan meningkat hingga Rp 32 triliun. Dengan kenaikan ini, bantuan modal yang diberikan pemerintah mestinya juga melambung hingga Rp 25,5 triliun, atau naik Rp 8,5 triliun dari yang sudah dianggarkan semula.
Kenaikan biaya ini membuat posisi pemerintah terpojok. Jika tak dipenuhi, kecukupan modal bank tak sampai target yang diinginkan. CAR bank jauh di bawah 4 persen atau bahkan minus (modal negatif). Seorang analis mengibaratkan suntikan modal yang setengah-setengah ini dengan operasi kanker yang tak tuntas. "Kista yang tertinggal akan kembali menjadi tumor ganas yang berbahaya," katanya.
Akibatnya, dunia keuangan Indonesia kembali berkubang dalam penyakit semula: permodalan bank tak cukup, kemampuannya membayar kewajiban terancam, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank yang mulai terdongkrak kembali mengempis. Nilai tukar rupiah kembali ambruk, dan krisis ekonomi babak kedua bisa-bisa meledak.
Tapi, sebaliknya, jika dipenuhi, kebutuhan anggaran akan membengkak. Ini bukan perkara yang gampang. Pemerintah harus merevisi Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 1999/2000. Untuk itu, persetujuan DPR harus diperoleh.
Berdasarkan APBN yang telah disetujui, bantuan modal yang diberikan pemerintah kepada bank cuma dianggarkan Rp 34 triliun. Selain membayar bunga obligasi pada sembilan bank swasta ini, pemerintah juga memerlukan biaya untuk menyuntik modal bank-bank pemerintah atau bank swasta yang telah diambil alih.
Jika anggaran diubah dan persetujuan DPR harus diperoleh lagi dari awal, program injeksi modal bank kembali terkatung-katung. Akibatnya, kualitas harta bank bisa-bisa terus merosot dan kebutuhan tambahan modal makin hari makin besar. Kalau penundaan terus dilakukan, "Penyehatan perbankan kita tak beres-beres," kata Subarjo Joyosumarto, Direktur Bank Indonesia (BI) yang bertanggung jawab atas penyehatan perbankan.
Untuk itu, pemerintah memutuskan untuk memakai patokan anggaran yang sudah disetujui DPR. Kalaupun nanti dirasa kurang, "Ya, tinggal nambah," kata Subarjo. Yang penting, pola injeksinya tetap: pemerintah membantu 80 persen, pemilik bank menyetor sisanya. Gampang.
Beres? Belum tentu. Soalnya, ancaman kegagalan program rekapitalisasi bank bukan cuma datang dari injeksi modal yang kekecilan, tapi juga dari situasi makroekonomi yang belum kunjung pulih. Bunga bank yang masih cenderung tinggi akan terus mengancam kesehatan bank. Biaya untuk membayar bunga deposito dan tabungan lebih besar ketimbang pendapatan dari pengembalian kredit (negative spread).
Celakanya, ada kesan, pemerintah ingin buru-buru menurunkan suku bunga untuk menutup negative spread. Di kalangan para pemain pasar uang di Jakarta, bahkan sudah terdengar desas-desus BI sedang bekerja keras untuk menurunkan suku bunga dari 37 persen pada awal April menjadi di bawah 28 persen pada akhir Juni 1999. Pemerintah agaknya yakin betul, nasabah tak lagi sensitif terhadap perubahan suku bunga.
Padahal, menurut kalkulasi analis ini, penurunan suku bunga rupiah yang grusa-grusu bisa menjadi pemicu gelombang pembelian dolar. Dalam situasi politik yang belum aman betul, daya tarik rupiah kini cuma ditopang suku bunga yang ditahan di atas 35 persen. Jika suku bunga rupiah cepat-cepat dilorot turun, perbankan bisa terancam lantaran para deposan menarik simpanan rupiahnya untuk ditukar dengan dolar.
Selain terancam situasi makro-ekonomi yang belum mantap, penyehatan perbankan melalui injeksi tambahan modal juga akan terganggu oleh kesehatan bank yang belum benar-benar steril. Bank-bank yang lolos seleksi untuk mengikuti rekapitalisasi memang sudah dibersihkan dari timbunan kredit macet, tapi ini belum menjamin mereka benar-benar suci hama.
Masih ada satu lagi virus ganas yang akan mengancam bank-bank yang ikut program injeksi modal ini. Yaitu, kredit kepada grup sendiri. Semua bank yang ikut rekapitalisasi telah memberikan kredit kepada grup terafiliasi, lebih dari yang diizinkan. Mereka melanggar apa yang dinamakan batas maksimum pemberian kredit alias BMPK.
Menurut data yang diterima TEMPO, pelanggaran BMPK ini jumlahnya tak main-main. Bank Internasional Indonesia (BII), misalnya, memberi kredit kepada Sinar Mas Group Rp 5,5 triliun di atas batas yang dibolehkan. Begitu juga Bank Universal, yang menyalurkan kredit untuk sejumlah pemasok komponen bagi Astra International senilai Rp 2 triliun di atas plafon (lihat tabel).
Menurut ketentuan semula, pelanggaran BMPK bagi bank yang mendapat bantuan modal dari pemerintah harus diselesaikan dalam tempo satu bulan sejak perjanjian rekapitalisasi diteken. Selain menyetor 20 persen tambahan modal, para pemilik bank juga diharuskan menguras kantong untuk segera melunasi kredit ke grup sendiri.
Aturan tegas demi program suci hama bank ini tampaknya dianggap terlalu berat bagi para pemilik bank. Buktinya, entah mengapa, pemerintah kini mengulur batas waktu pelunasan kredit ke grup sendiri, dari satu bulan menjadi satu tahun.
Menurut seorang analis, keputusan untuk mengulur pelunasan pelanggaran BMPK bisa menjadi bumerang bagi kesehatan bank. Kredit ke grup sendiri biasanya diputuskan tanpa melalui prosedur standar. Persyaratannya dibuat longgar. "Kalau proyeknya bener, prospeknya bagus, bank-bank lain di luar grup juga mau memberikan kredit," kata analis ini. Artinya, kredit ke grup sendiri, biasanya, tertuju pada proyek-proyek yang kurang layak. Akibatnya, potensi macetnya luar biasa besar.
Sebenarnya, menurut pengakuan para bankir, pelanggaran BMPK itu sudah diselesaikan. Seorang sumber di kalangan keuangan mengatakan, kredit BII ke Sinar Mas sebenarnya merupakan letter of credit (LC) untuk mengimpor bahan baku bagi Indah Kiat dan Tjiwi Kimia. Kredit triliunan itu kini sudah ditransfer ke bank-bank pemerintah. Jadi, "Beban BII kini tak sampai Rp 2 triliun," katanya.
Begitu juga Bank Universal. Menurut sumber TEMPO, kredit bank milik Astra ke pemasok komponen mobil itu sudah dianggap sebagai kredit di luar grup. Mestinya, dengan perubahan ini, beban pelanggaran BMPK pada bank-bank yang ikut program suntikan modal tidak lagi menjadi soal.
Cuma, kalau memang benar demikian, mengapa pelunasannya masih harus ditangguhkan sampai setahun lagi? Dengan membiarkan sejumlah kista tak habis terkikis, seorang analis memastikan, bank-bank ini bisa terjerembap kembali.
Kelak, tiga atau lima tahun mendatang, kita bisa menyaksikan pemandangan itu sekali lagi: senyum lebar, jas licin, dan bau wangi yang turun dari deretan mobil mewah .…
DSI, M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Iwan Setiawan
CAR dan Kebutuhan Dana Rekapitalisasi
Sembilan Bank Swasta | |
CAR (%) | Dana Rekap (Rp miliar) | Setoran Bank (Rp miliar) | BMPK (Rp miliar) |
Bank Bali, Tbk Bank Arta Media Bank Prima Express Bank BII, Tbk Bank Lippo, Tbk Bukopin Bank Niaga, Tbk Bank Universal, Tbk Bank Patriot | (8,2) (9,3) (15,6) (15,9) (16,1) (17,2) (17,4) (21,8) (23,1) |
1.821 150 252,7 7.612 4.700 767,2 3.700 2.421,9 32 |
360 30 50 1.520 940 155 740 480 6 | 869,9 177,7 168,1 5.511 1.549 664 728,2 2.090,9 19,1 |
Sumber: BI, Data per Desember 1998