EMPAT Macan Asia -- Korea, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura -- memang hebat, tapi tidak dalam segala hal. Kali ini mereka harus mengakui keunggulan Indonesia -- yang bukan macan Asia dalam memperebutkan kuota tekstil kategori IV ke negara-negara MEE. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Paian Nainggolan, akhir pekan lalu tampil dengan bonus Tahun Ular: kuota 25,5 juta potong pakaian jadi, bagi pengusaha dan eksportir Indonesia. Paian dan delegasinya telah berhasil meyakinkan delegasi dari Eropa -- dipimpin Francois Nizery -- bahwa Indonesia adalah produsen yang bisa diandalkan. Dengan kuota 25,5 juta potong, Indonesia berhasil menggeser Hong Kong, yang sebelumnya menduduki peringkat pertama. Memang keunggulan Indonesia terhadap Hong Kong tidaklah mencolok -- hanya sekitar 200 ribu potong. Tapi bagi Indonesia ini penting -- ada peningkatan 40% dari tahun sebelumnya yang hanya berkuota 18,2 juta potong. Dan selanjutnya, kuota Indonesia untuk kategori IV ini akan terus meningkat: 26,52 juta potong untuk tahun 1990, 27,58 juta potong untuk 1991. Sedangkan kuota Hong Kong, hingga 1991, hanya naik menjadi 25,675 juta potong. Dengan demikian, sampai tiga tahun di muka, Indonesia masih akan memimpin pasar MEE di kategori IV. Tentu, ini bukan hasil kerja yang ringan. Seperti dikatakan Dirjen Paian, negosiasi dengan MEE yang berlangsung dua hari -- dari 31 Januari -- I Februari 1989 -- itu berjalan cukup alot. Pasalnya, para importir di Eropa masih belum yakin benar Indonesia bisa seperti Hong Kong, yang mampu mengekspor dalam jumlah besar. Padahal, jauh sebelum negosiasi tersebut, pihak Indonesia diam-diam sudah melakukan pendekatan informal dengan para delegasi MEE. "Banyak yang tidak tahu, kami telah melakukan itu," kata Paian. Dirjen memastikan bahwa lobi itulah yang menjadi kunci keberhasilan. Sebelumnya, kuota yang akan dipcroleh untuk kategori IV -- yang antara lain terdiri atas baju kaus, rok, baju-baju rajutan diperkirakan berkisar antara 19 dan 21 juta potong saja. Soalnya, ketika dalam perundingan Indonesia mengalukan angka 26,4 Juta, perunding dari MEE hanya menawar 18 juta potong. Kini, dengan kuota sebesar itu, kategori IV diharapkan bisa memasok devisa 70 juta dolar AS. Tidak terlalu besar, memang, jika dibandingkan dengan target ekspor tekstil 1989 yang 1,65 milyar dolar. Kendati demikian, "Sedikit banyak, hasil perundingan itu berdampak positif pada pencapaian target tersebut," ujar Dirjen. Kalau mengingat perjanjian yang dibuat dengan MEE pada tahun 1980, yang menetapkan kuota untuk Indonesia sebesar 1%, perundingan seharusnya sudah dilakukan pada tahun 1986. Sebab, ketika itu, ekspor kategori IV ke sana sudah mencapai 2,9 juta potong, atau 1,4% dari total impor MEE. Tapi, entah mengapa, MEE sebagai importir tampak tak mempedulikan kelebihan kuota yang terjadi. Begitu juga tahun 1987, ketika ekspor ke sana mencapai 12,1 juta potong 3,4 kali lebih besar dari kuota. "Karena mereka mendiamkan, kami pun tinggal meladeni kemauan mereka," kata Paian. Menurut Dirjen, mungkin pertemuan dengan MEE akan dilanjutkan dengan membicarakan kategori V -- pakaian jadi yang terbuat dari bahan-bahan lebih tebal -- yang saat ini sudah pula melampaui batas kuota. Tapi Paian belum bersedia mengungkapkan jumlah ekspornya. Yang pasti, perundingan yang akan berlangsung -- belum jelas tempat dan waktunya -- tidak akan kalah alot dengan yang baru saja berlangsung. Maklum, MEE, seperti juga negara-negara kuota lainnya -- AS, Skandinavia, dan Kanada -- merupakan penyerap tekstil Indonesia yang potensial. Total, negara-negara kuota itu telah membeli 57% barang tekstil Indonesia. Sedangkan sisanya, 43%, diserap oleh nonkuota seperti Jepang, Korea, Eropa Timur, dan Timur Tengah. Apakah Indonesia akan tetap bisa mengalahkan Hong Kong? Masih perlu dibuktikan.Budi Kusumah dan Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini