KIBASAN Kijang kini mulai menggoyang pasar mobil Brunei Darussalam -- tepatnya sejak Maret 1988. Di sela-sela sedan mewah yang menguasai jalan-jalan Brunei, tampak bersehweran Toyota Kijang produksi Toyota Astra Motor (TAM) dari Indonesia. "Lima tahun mendatang, tidak mustahil jalan raya di sini dikuasai Kijang," kata Lim Kheng Hong, 59 tahun, general manager North Borneo Trading (NBT), di Bandar Seri Begawan, kepada TEMPO. Optimisme Lim cukup beralasan. NBT, importir tunggal kendaraan Toyota -- termasuk Kijang -- berhasil memasarkan 269 unit kendaraan seharga US$ 2,8 juta, "padahal ini baru tahap coba-coba." Artinya, permintaan pasar melebihi perkiraan. Sampai Desember 1988, sebenarnya NBT pesan 320 unit, sesuai dengan order. Sisanya, kini masih tersimpan di gudang pelabuhan Singapura, menunggu angkutan kapal. Keberhasilan awal menembus pasar Brunei, menurut Lim, tidak lepas dari sistem angkutan di negeri makmur itu. Di Brunei, mereka yang bukan pedagang/pcngusaha tidak diizinkan memiliki kendaraan niaga. Mungkin karena itu, Kijang yang minibus serba guna itu laris. Penampilannya menunjukkan bahwa ia kendaraan keluarga, sementara desain dan ketangguhan mesinnya memungkinkan ia dipakai sebagai kendaraan angkut barang. Untuk keperluan yang discbut terakhir ini, kursi jok belakang dicopot, biar bisa mengangkut muatan banyak. Tahun ini sasaran Kijang diperlebar, ke keluarga banyak anak. Berhubung jumlah kendaraan tidak sebanding dengan lebar jalan, maka Lim memperhitungkan, kelak orang akan berpaling pada kendaraan besar yang muat banyak orang. "Satu keluarga cukup satu Kijang dan satu sedan." Tidak seperti sekarang, satu rumah bisa punya tiga sedan, tergantung jumlah orang dewasa yang ada. Segmen inilah yang akan direbut Kijang: mengganti dua sedan. Mengingat di Brunei belum ada bis kota, Lim juga memperkirakan, kelak orang Brunei akan menggunakan Kijang sebagai sarana angkutan pengganti bis kota. Jangan kaget, jumlah kendaraan bermotor di Brunei hampir 50% dari jumlah penduduk. Atau tepatnya, ada 110 ribu kendaraan, sementara jumlah penduduk hanya 227 ribu (50 ribu kepala keluarga). Dari jumlah yang kecil itu, 20 ribu atau sepersebelasnya merupakan tenaga kerja asing. Dengan demikian, diharapkan permintaan pada Kijang akan meningkat. Sesudah memesan 269 unit pada tahun 1988, tahun ini Lim menaikkan pesanannya pada TAM menjadi 420 unit. "Pesanan belum datang tetapi order yang masuk sudah ada 50 orang," kata Lim berseri. Harganya pun, yang mulai Januari ini naik menjadi 22.000 ringgit Brunei (Rp 19.140.000), menurut Lim, masih bisa bersaing. Namun, tak urung ia mengeluh, karena belum setahun sudah tiga kali naik. Semula harga jual dari TAM USS 6.005, terakhir sejak Januari naik menjadi US$ 6.141. Sementara itu, beberapa konsumen yang ditemui TEMPO di Bandar Seri Begawan umumnya memuji kekuatan mesin Kijang. Yang mereka keluhkan adalah bodi, yang cepat karatan, atau pintu yang bisa dirembesi air. Tapi Koji Hasegawa, direktur TAM di Jakarta, berjanji, soal ini akan segera diatasi. "Brunei letaknya dekat laut, jadi kemungkinan berkarat lebih besar," kata Hasegawa. entang kenaikan harga, katanya, itu disebabkan harga suku cadang yang diimpor dari Jepang -- akibat yendaka -- memang naik. Tak mau kalah oleh Kijang, pertengahan Januari lampau Indo Mobil Group dari Indonesia -- yang memproduksi mobil Suzuki -- mengikuti jejak TAM. Baru kecil-kecilan, memang. Sebanyak 10 unit jip Suzuki SJ 401 Santana, dari 60 unit yang direncanakan, sudah dikirim ke Brunei. Tapi yang dijual Indonesia ke Brunei tidak hanya mobil. Di supermarket Yaohan, yang terletak di komplek pertokoan plaza Abdul Razak, aneka barang "made in Indonesia" nampak dipajang cukup mencolok. Mulai dari pakaian, kursi rotan, kaset, sampai sayur mayur dan buah-buahan. Hem batik bikinan "Sinar Hadi" Solo, yang di Pasar Klewer Surakarta dijual Rp 8 ribu, di Brunei bisa sampai 25 ringgit (Rp 21.750). Celana jeans buatan Bandung per potong diberi harga 30 ringgit (Rp 26.000) sementara itu, kursi rotan ada yang 400 ringgit (Rp 348.000). Tapi dari semua itu, yang laku keras justru kaset penyanyi Indonesia, terutama kaset lagu-lagu dangdut dan pop. "Sehari kami bisa menjual 10 kaset," tutur Zainab, pelayan Yaohan, asal Kinibalu itu. Kaset dangdut Baru Tiga Bulan, yang dinyanyikan Hetty Koes Endang, katanya, paling laku. "Lagu itu sedang top di Brunei," ujarnya. Sedangkan kaset pop yang laris belakangan ini adalah kaset Mukhlas Adiputra, dengan lagunya, Kau Tercipta dari Tulang Rusukku. Agak mengherankan, mengapa eksportir film kita, tidak ikut membanjiri video rental di Brunei dengan kaset video film Indonesia. Padahal film Malaysia & India, banyak digemari di sana. Sementara itu, sayur-mayur dan buah-buahan asal Indonesia didatangkan dari Sumatera Utara lewat Singapura -- kebanyakan dijual di pasar induk: Gadong dan Muara. Harga kol, pare, wortel, dan sawi per kilogram sama: 3,30 ringgit (Rp 2.640). Sementara itu, timun 1,65 ringgit per kg, pepaya, yang di Brunei cukup populer sebagai makanan spesial, 2 ringgit (Rp 1 .740) per kg. Rambutan Medan amat terkenal, harganya bisa mencapai 7 ringgit (Rp 6.090). Sedangkan mangga jenis Arum Manis bisa 10 ringgit (Rp8.700) per kg. Mukhadam, seorang pedagang buah di pasar Gadong, mengatakan bahwa harga jual buah ditentukan oleh kerajaan. "Kami tidak bisa semau-maunya mencari untung," katanya. Untuk memasukkan barang impor jenis makanan, ia kena cukai 5%. "Di Brunei memang tidak bisa spekulasi, karena semua harga yang menentukan kerajaan," ujar Lim Kheng Hong, general manager NBT, menimpali. Untuk jenis mobil, pihaknya dikenai cukai 20%. Semua dokumen impor, katanya, harus diserahkan pada kerajaan, dan dari situlah pihak kerajaan menentukan harga jual, setelah sebelumnya mengutip 5% laba yang diperoleh importir, di luar bea masuk. Tampaknya, dengan struktur harga yang ketat seperti itu, eksportir Indonesia tidak bisa mengharapkan laba yang terlalu nomplok. Tapi pada saat yang sama, persyaratan yang longgar di segi kualitas barang memudahkan eksportir kita untuk menerobos pasar Brunei. Tidak adanya sabuk pengaman pada Kijang, misalnya, tidak sampai membuat Kijang ditolak oleh Brunei -- padahal mereka yang tidak mengenakan sabuk pengaman bisa didenda 2.000 ringgit. Dengan menyadari kekurangan semacam itu, tidak ada salahnya bila pengusaha dan eksportir Indonesia berusaha lebih keras, tidak hanya dalam meningkatkan pangsa pasar, tapi juga dalam memperbaiki kualitas.Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini