TELAH dua tahun bangunan beton di kaki bukit itu sepi. Terletak
di Desa Watusambang, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah, satu-satunya pabrik minyak citronella
(sere) di Indonesia ini kini tidak lagi berproduksi. Di
halamannya rumput mulai tumbuh meliar. Mesin-mesin pabrik diam
membisu. Dan puluhan pegawainya tiap hari lebih banyak duduk
mengobrol di emperan.
Meski lengang, keadaan pabrik tampak bersih. "Pekerjaan para
pegawai di sini cuma bersih-bersih, daripada nganggur," kata
seorang karyawannya.
Pabrik minyak sere di atas tanah 3 hektar ini dibangun mulai
1963 dan merupakan hasil kerjasama Indonesia-Bulgaria. Semua
peralatan, mesin dan tenaga ahli datang dari negeri sosialis
itu. Pada 1965 pabrik ini diresmikan oleh Menteri Perindustrian
M. Jusuf (sekarang Menhankam) dan di mulailah produksi
percobaan. Produksi untuk ekspor dimulai pada 1970.
Namun jalan pabrik milik Ditjen Aneka Industri. Departemen
Perindustrian ini ternyata tersendat-sendat. Pernah diadakan
kerjasama dengan suatu perusahaan swasta, PT Kresna, untuk
mengelolanya, namun kerjasama hanya berumur 2 tahun, sampai
1972. Setelah itu pabrik hanya bekerja jika ada pesanan.
Kerjasama dengan pihak Amerika pernah juga dilakukan pada 1978.
Dengan beberapa perubahan mesin, dibuat 'oli orisil' yang
diekspor ke Amerika. Tapi kerjasama ini tak berumur panjang.
Sejak 1979 pabrik ini menganggur.
Pegawai Negeri?
Tidak jelas mengapa pabrik ini berhenti berproduksi. "Saya tak
tahu persis apa sebab kemacetan ini. Yang tahu persis
bapak-bapak pimpinan di Jakarta," kata Santoso yang kini
diserahi memimpin pabrik yang menganggur ini. Menurut dia, soal
bahan baku tidak pernah menjadi masalah.
Sere umumnya ditanam di lereng-lereng bukit. Waktu masih
berproduksi pabrik ini membutuhkan 15 ton daun sere tiap hari.
Proses produksi tidak sulit. Setelah dipotong-potong, daun sere
dimasukkan dalam ketel dan dipanasi hingga keluar minyak yang
rendemennya 0,8% untuk 1 kg sere. Daun sere biasanya dibeli dari
para petani sekitar pabrik. Dalam setahun tanaman sere bisa tiga
kali dipotong. Satu hektar sawah bisa menghasilkan 10 ton daun
sere. Minyak citronella antara lain dipakai untuk bahan sabun
dan kosmetika.
Meski pabrik macet, 66 karyawannya tetap setia masuk. Selain
dibersihkan, mesin sesekali juga neraka hidupkan agar tidak
rusak. Para karyawan ini masih menerima gaji karena tiap bulan
Departemen Perindustrian mengirim Rp 1 juta pada mereka. Gaji
karyawan terendah Rp 8.000 dan tertinggi Rp 30.000."Memang tak
cukup, tapi saya punya sawah. Syukur kalau nanti bisa jadi
pegawai negeri," kata Sugiyo, seorang karyawan.
Rupanya harapan diangkat menjadi pegawai negeri itulah yang
membuat para karyawan bertahan . Dari 66 karyawan yang masih
bertahan, menurut Santoso sudah 6 karyawan yang diangkat menadi
pegawai negeri. Masa depan pabrik? "Menurut keterangan pihak
atasan, sedang dicari badan swasta yang mau bekerjasama untuk
mengelola pabrik ini,'i sahut Santoso kepada pembantu TEMPO
Kastoyo Ramelan. Pabrik ini tidak hanya bisa menghasilkan minyak
citronella, tapi juga segala minyak yang dikerjakan dengan
sistem distilasi seperti minyak kayu putih, minyak kenanga
minyak melati. "Juga bisa untuk membuat alkohol," kata Santoso.
Tampaknya nasib pabrik Citronella Tawangmangu ini mirip pabrik
gula Cot irek di Aceh, proyek lain waktu Orde Lama yang salah
pemilihan lokasi hingga bahan baku tidak terjamin. Menurut suatu
sumber, untuk bisa berproduksi penuh pabrik minyak sere ini
membutuhkan 50 ton daun sehari. Untuk itu perlu areal kebun
sekitar 1000 hektar.
Celakanya, daerah sekitar pabrik ternyata persawahan yang subur
hingga para petani tidak tertarik menanam sere. Kabarnya pabrik
ini pernah berhasil memperoleh lahan secara sewa seluas 200
hektar. Namun karena lokasinya di lereng-lereng bukit, biaya
transportasinya terus membengkak. Hingga begitulah, sejak
awalnya pabrik ini tidak pernah bisa benar-benar berproduksi
penuh.
Tapi bekas direktur "Proyek Pengembangan Citronella Tawangmangu"
Ir. Sundoro Tjokrokusumo dari Ditjen Aneka Industri,
mengungkapkan, kemacetan pabrik karena salah lokasi. "Dulu salah
memilih tempatuntuk mendirikan pabrik itu," ujarnya lewat
telepon. Menurut dia pabrik ini bukan usaha patungan karena
pihak Bulgaria hanya menjual peralatannya. Komentarnya tentang
masa depan pabrik: "Kami terus berusaha. Kami tawarkan pada
pihak lain kalau ada yang mau melanjutkannya."
"Pihak lain" yang dimaksudnya tampaknya PT Unilever. Taufiq
Ismail, dari Humas Unilever, membenarkan perusahaannya sedang
menjajaki kemungkinan (pre-assessment) membeli pabrik ini. Tapi
peninjauan ke sana belum dilakukan. "Kami menang menyanggupi
untuk melihat sampai di mana kemungkinannya," kata Taufiq.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini