Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Teringat Cot Girek

Pabrik minyak citronella (sere) di desa Watuambang kec. Tawangmangu (Ja-teng) macet, tidak berproduksi lagi. Diduga salah lokasi, Unilever berminat membelinya.

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELAH dua tahun bangunan beton di kaki bukit itu sepi. Terletak di Desa Watusambang, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, satu-satunya pabrik minyak citronella (sere) di Indonesia ini kini tidak lagi berproduksi. Di halamannya rumput mulai tumbuh meliar. Mesin-mesin pabrik diam membisu. Dan puluhan pegawainya tiap hari lebih banyak duduk mengobrol di emperan. Meski lengang, keadaan pabrik tampak bersih. "Pekerjaan para pegawai di sini cuma bersih-bersih, daripada nganggur," kata seorang karyawannya. Pabrik minyak sere di atas tanah 3 hektar ini dibangun mulai 1963 dan merupakan hasil kerjasama Indonesia-Bulgaria. Semua peralatan, mesin dan tenaga ahli datang dari negeri sosialis itu. Pada 1965 pabrik ini diresmikan oleh Menteri Perindustrian M. Jusuf (sekarang Menhankam) dan di mulailah produksi percobaan. Produksi untuk ekspor dimulai pada 1970. Namun jalan pabrik milik Ditjen Aneka Industri. Departemen Perindustrian ini ternyata tersendat-sendat. Pernah diadakan kerjasama dengan suatu perusahaan swasta, PT Kresna, untuk mengelolanya, namun kerjasama hanya berumur 2 tahun, sampai 1972. Setelah itu pabrik hanya bekerja jika ada pesanan. Kerjasama dengan pihak Amerika pernah juga dilakukan pada 1978. Dengan beberapa perubahan mesin, dibuat 'oli orisil' yang diekspor ke Amerika. Tapi kerjasama ini tak berumur panjang. Sejak 1979 pabrik ini menganggur. Pegawai Negeri? Tidak jelas mengapa pabrik ini berhenti berproduksi. "Saya tak tahu persis apa sebab kemacetan ini. Yang tahu persis bapak-bapak pimpinan di Jakarta," kata Santoso yang kini diserahi memimpin pabrik yang menganggur ini. Menurut dia, soal bahan baku tidak pernah menjadi masalah. Sere umumnya ditanam di lereng-lereng bukit. Waktu masih berproduksi pabrik ini membutuhkan 15 ton daun sere tiap hari. Proses produksi tidak sulit. Setelah dipotong-potong, daun sere dimasukkan dalam ketel dan dipanasi hingga keluar minyak yang rendemennya 0,8% untuk 1 kg sere. Daun sere biasanya dibeli dari para petani sekitar pabrik. Dalam setahun tanaman sere bisa tiga kali dipotong. Satu hektar sawah bisa menghasilkan 10 ton daun sere. Minyak citronella antara lain dipakai untuk bahan sabun dan kosmetika. Meski pabrik macet, 66 karyawannya tetap setia masuk. Selain dibersihkan, mesin sesekali juga neraka hidupkan agar tidak rusak. Para karyawan ini masih menerima gaji karena tiap bulan Departemen Perindustrian mengirim Rp 1 juta pada mereka. Gaji karyawan terendah Rp 8.000 dan tertinggi Rp 30.000."Memang tak cukup, tapi saya punya sawah. Syukur kalau nanti bisa jadi pegawai negeri," kata Sugiyo, seorang karyawan. Rupanya harapan diangkat menjadi pegawai negeri itulah yang membuat para karyawan bertahan . Dari 66 karyawan yang masih bertahan, menurut Santoso sudah 6 karyawan yang diangkat menadi pegawai negeri. Masa depan pabrik? "Menurut keterangan pihak atasan, sedang dicari badan swasta yang mau bekerjasama untuk mengelola pabrik ini,'i sahut Santoso kepada pembantu TEMPO Kastoyo Ramelan. Pabrik ini tidak hanya bisa menghasilkan minyak citronella, tapi juga segala minyak yang dikerjakan dengan sistem distilasi seperti minyak kayu putih, minyak kenanga minyak melati. "Juga bisa untuk membuat alkohol," kata Santoso. Tampaknya nasib pabrik Citronella Tawangmangu ini mirip pabrik gula Cot irek di Aceh, proyek lain waktu Orde Lama yang salah pemilihan lokasi hingga bahan baku tidak terjamin. Menurut suatu sumber, untuk bisa berproduksi penuh pabrik minyak sere ini membutuhkan 50 ton daun sehari. Untuk itu perlu areal kebun sekitar 1000 hektar. Celakanya, daerah sekitar pabrik ternyata persawahan yang subur hingga para petani tidak tertarik menanam sere. Kabarnya pabrik ini pernah berhasil memperoleh lahan secara sewa seluas 200 hektar. Namun karena lokasinya di lereng-lereng bukit, biaya transportasinya terus membengkak. Hingga begitulah, sejak awalnya pabrik ini tidak pernah bisa benar-benar berproduksi penuh. Tapi bekas direktur "Proyek Pengembangan Citronella Tawangmangu" Ir. Sundoro Tjokrokusumo dari Ditjen Aneka Industri, mengungkapkan, kemacetan pabrik karena salah lokasi. "Dulu salah memilih tempatuntuk mendirikan pabrik itu," ujarnya lewat telepon. Menurut dia pabrik ini bukan usaha patungan karena pihak Bulgaria hanya menjual peralatannya. Komentarnya tentang masa depan pabrik: "Kami terus berusaha. Kami tawarkan pada pihak lain kalau ada yang mau melanjutkannya." "Pihak lain" yang dimaksudnya tampaknya PT Unilever. Taufiq Ismail, dari Humas Unilever, membenarkan perusahaannya sedang menjajaki kemungkinan (pre-assessment) membeli pabrik ini. Tapi peninjauan ke sana belum dilakukan. "Kami menang menyanggupi untuk melihat sampai di mana kemungkinannya," kata Taufiq.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus