Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keraguan itu muncul dari mana-mana, termasuk dari orang dalam. Bahkan tak sedikit yang meramalkan kartu pintar cuma bakal bikin onar. Itu yang sering didengar para pejabat Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi. Tapi institusi yang ditugasi pemerintah menjalankan program penghematan energi tak mau surut. ”Kemarin kami baru rapat dengan Pertamina,” kata anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi, Eri Purnomohadi, Jumat pekan lalu.
Tugas lembaga itu memang tidak ringan. Bagaimanapun caranya, yang penting harga bahan bakar minyak tak boleh naik. Padahal, dalam dua pekan terakhir, harga minyak mentah dunia bertahan di atas US$ 110 per barel. Harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price) pun ikut terkerek. Harga rata-rata selama empat bulan terakhir mencapai US$ 99,26 per barel. Ini mengancam pertahanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008, karena harga minyak mentah dipatok US$ 95 per barel.
Artinya, kalau harga minyak mentah Indonesia sudah di atas itu, subsidi bahan bakar minyak yang dialokasikan untuk tahun ini bakal lebih besar daripada target Rp 126,8 triliun. Selain itu, kuota subsidi 35,5 juta kiloliter bakal dilewati karena selisih harga premium dengan pertamax kian jauh. Per 1 Mei lalu, harga pertamax sudah Rp 8.750 per liter, hampir dua kali lipat harga premium. Pada Februari tahun lalu, harga pertamax juga cuma Rp 4.750.
Tak mengherankan jika banyak konsumen pertamax yang membeli premium. Catatan Pertamina menunjukkan, selama tiga bulan pertama tahun ini, premium terjual sampai 4,58 juta kiloliter. Padahal target selama triwulan pertama ini hanya 4,24 juta kiloliter. Menurut Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro, pertumbuhan kendaraan bermotor dan penyelundupan yang menjadi biang kerok. Kalau tidak dikekang, bisa menembus 41 juta kiloliter. Kalau itu terjadi, kian jebloklah anggaran negara.
Untuk menangkalnya, pemerintah memutuskan menggelar gerakan hemat energi. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkannya setelah memimpin rapat koordinasi menteri-menteri ekonomi di kantornya dua pekan lalu. Sepekan kemudian, giliran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendengungkan hal yang sama. Penghematan menjadi pilihan untuk mengatasi kenaikan harga minyak.
Target utamanya adalah bahan bakar bersubsidi untuk sektor transportasi. Dari 35,5 juta bahan bakar bersubsidi, 28 juta kiloliter di antaranya solar dan premium. Caranya, membatasi pemakaian premium dan solar bersubsidi dengan menggunakan kartu pintar (smart card). Bagaimana benda ini bekerja tengah dikaji. Namun hingga kini tak pernah terang: kendaraan apa yang berhak membeli bahan bakar bersubsidi, berapa volumenya, juga waktu pembuatannya.
Padahal ini bukan ide baru. Sewaktu minyak berkibar-kibar menggapai US$ 100 per barel akhir tahun lalu, kartu pintar menjadi salah satu pilihan. Namun rencana ini tak sempat dilempar ke pasar karena terbenam oleh program pengalihan premium beroktan 88 ke oktan 90 dengan harga lebih mahal. Rencana ini ternyata jadi bulan-bulanan berbagai kalangan karena pemerintah dianggap menaikkan harga bahan bakar secara terselubung. Program ini batal.
Nah, pada Februari lalu pemerintah mengenalkan kartu pintar ini. PT Sucofindo pun ditunjuk Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi untuk menyurvei perilaku konsumsi pengendara dan merancang teknologinya. Salah satu hasilnya, kartu pintar dengan chip berisi data kendaraan dan kuota akan dipasang di kendaraan. Setelah semua infrastruktur selesai, mereka memperkirakan proses input data ke kartu tak lebih dari tujuh menit. Sehingga, konsumen tak perlu antre di pompa bensin.
Lagi-lagi, rencana ini dikritik banyak pihak. Salah satunya karena dianggap tidak efektif menekan subsidi. Pengamat perminyakan Kurtubi, misalnya, mengatakan kartu pintar malah bisa kontraproduktif karena bisa menurunkan kegiatan ekonomi masyarakat yang bergantung pada bensin bersubsidi. Selain itu, pasar gelap bakal tercipta akibat disparitas harga dan distribusi. Sejumlah pengusaha juga menolak lantaran dianggap menghambat mobilitas usaha.
Akibat banjir cercaan itu, jalur diet ini seolah surut. Dua purnama berlalu, kabar tak terdengar. Program yang semula hendak diuji coba pada April di Jakarta dan kawasan penyangga di sekitarnya itu batal. Apalagi Dewan Perwakilan Rakyat kala itu juga tak menyetujui program tersebut. Padahal sedianya program ini bisa dijalankan pada awal bulan ini.
Ketika harga sudah jauh di atas US$ 100 per barel, sayup-sayup strategi pengencangan ikat pinggang ini terdengar kembali. Dewan akhirnya merestui. Dalam anggaran perubahan 2008, kartu pintar menjadi salah satu alternatif yang ditempuh untuk menangkis hantaman harga minyak dunia.
Pilihan lain, dana cadangan Rp 4,1 triliun yang masuk pos risiko fiskal sudah disiapkan. Karena itu, begitu pemerintah Yudhoyono tak mau mengambil risiko politik menghadapi pemilihan 2009, program diet menjadi tumpuan. Uang Rp 300 miliar telah dianggarkan.
Sayang, kabar tak sedap kembali membayang. Walau sudah dijatah, uang itu tak kunjung datang. Departemen Keuangan belum mencairkan anggaran. Tender operator pelaksana pengawasan kembali terganjal. Sucofindo, yang bekerja sejak awal, juga undur diri.
Masalah uang belum lagi kelar, berita tak enak datang dari Bali dan Batam. Setelah Jakarta dianggap kurang tepat, Badan Pengatur Hilir menetapkan dua wilayah itu menjadi tempat uji coba. Dengan alasan dapat mengganggu ekonomi setempat, sejumlah pengusaha lokal menampiknya. Gubernur Bali Dewa Made Beratha mendukung penolakan itu. Namun, menurut Eri, secara formal belum ada surat penolakan. Kata Eri, ”Bali lebih karena faktor pemilihan kepala daerah.”
Maju-mundur program ini tak semata faktor eksternal. Informasi yang diterima Tempo menyebutkan, Badan tersebut juga masih kerepotan menentukan detail jenis kendaraan dan besaran volume subsidi. ”Ini sangat pelik,” kata sumber Tempo. Misalnya, apakah semua kendaraan berhak memperoleh kartu subsidi atau hanya kendaraan tertentu.
Repotnya, semua pertimbangan selalu berubah setiap waktu. Kritik atau penolakan yang berembus di luar Badan Pengatur Hilir pun acap membuat mereka ragu. Meskipun begitu, dua pekan lalu, mereka bisa mendapatkan empat alternatif. Pertama, semua kendaraan dikenai pembatasan. Kedua, semua kendaraan dibatasi, mobil keluaran di atas tahun 2005 dan bermesin di atas 2.000 cc hanya boleh membeli bahan bakar nonsubsidi. Ketiga, hanya kendaraan umum dan sepeda motor yang boleh membeli bahan bakar bersubsidi. Keempat, hanya kendaraan umum yang disubsidi.
Empat opsi ini telah dipresentasikan di hadapan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Namun tetap saja hasilnya belum final sampai sekarang. Mana yang akan diambil masih menunggu tiga-empat kali pertemuan lagi. Badan itu menganggap masih perlu mengajak dialog berbagai pihak. Apalagi melihat respons yang beragam, terutama yang menolak.
Dalam rapat internal Badan Koordinator pekan lalu, ada pandangan baru. Hanggono Nugroho, seorang anggota Badan Koordinator, mendefinisikan kembali arti pembatasan. Dia mengusulkan, pembatasan adalah sampainya bahan bakar bersubsidi kepada yang berhak. Ia menamakan pembatasan tertutup, yaitu semua kendaraan memperoleh kartu tanpa dibatasi volumenya. Yang penting ada kepastian bahwa tidak ada bahan bakar bersubsidi yang diselundupkan.
Ada lagi tawaran untuk mencontoh Inggris. Di sana, pompa bensinlah yang dibatasi. Mereka hanya bisa menjual premium atau solar dalam jumlah tertentu. ”Tidak jadi masalah mengisi di mana-mana. Kan ada effort kalau ada yang sengaja,” kata Ari.
Banyaknya alternatif itulah yang akhirnya membuat program pembatasan konsumsi tak kunjung dijalankan. Apalagi, menurut Eri, paling tidak butuh lima bulan untuk menjalankan program ini. Perhitunganya, empat bulan masa lelang dan pembangunan infrastruktur serta satu bulan untuk set up dan pendataan kartu. Susahnya, lelang pun belum ketahuan juntrungannya karena anggaran belum ada, sehingga makin lama ditunda, makin berat beban subsidinya.
Secara kasar bisa dihitung—jika pilihan ketiga yang diambil dan harga minyak US$ 100 per barel—untuk setiap bulan penundaan, potensi penghematan yang batal direalisasikan mencapai Rp 5 triliun (lihat tabel). ”Sehingga, hampir tak mungkin penghematan menjadi penyelesaian,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto.
Muchamad Nafi
Sesuaikah konsumsi Anda? (liter per hari) | |
---|---|
Jenis Kendaraan | Rata-rata Konsumsi |
Pribadi premium | 9,9 |
Pribadi solar | 12,0 |
Umum premium | 24,8 |
Umum solar | 28,7 |
Bus besar umum | 84,3 |
Bus kecil umum | 45,5 |
Truk besar | 61,5 |
Truk kecil | 20,7 |
Kendaraan roda tiga | 10,2 |
Kendaraan roda dua | 1,9 |
Sumber: Survei di Jabodetabek oleh Asep Saefuddin, IPB |
Penghematan Bahan Bakar Minyak (Rp triliun) | ||||
---|---|---|---|---|
Penerima Subsidi | Volume Dihemat | US$ 100* | US$ 110* | US$ 120* |
Semua kendaraan (dibatasi) | 11,19 juta kl | Rp 36,78 | Rp 44,78 | Rp 52,78 |
Semua kendaraan (dibatasi)** | 11,61 juta kl | Rp 38,17 | Rp 46,46 | Rp 54,78 |
Kendaraan umum dan motor | 18,37 juta kl | Rp 60,22 | Rp 73,32 | Rp 86,44 |
Kendaraan umum | 21,64 juta kl | Rp 70,32 | Rp 85,72 | Rp 101,131 |
* Harga minyak mentah Indonesia ** Mobil keluaran 2005 ke atas dan mesin 2000 cc ke atas hanya boleh membeli pertamax | ||||
Sumber: Berbagai sumber, diolah |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo