Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Injak Gas Konversi ke Gas

Tingkat konversi minyak tanah ke gas masih rendah. Konsumsi minyak tanah melebihi target.

5 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kompor gas Primatop itu masih teronggok rapi dalam kardus. Masih kinyis-kinyis, belum ada jelaga atau cat yang terkelupas. Kompor ”nyaris gratis” pemberian pemerintah itu memang belum sekali pun dipakai masak oleh empunya.

Pemiliknya, Herawati, 47 tahun, warga Kampung Basmol, Rawa Buaya, Jakarta Barat, lebih cinta kepada kompor minyak lawasnya dan memilih berlumur jelaga ketimbang menggunakan si api biru. ”Saya takut,” katanya pekan lalu. ”Nyala apinya kok mengarah ke bawah.” Walhasil, Herawati tetap memilih bersusah payah mencari minyak tanah kendati barang ini mulai langka di daerahnya.

Di pangkalan langganannya, minyak tanah hanya tersedia seminggu atau dua minggu sekali. Itu pun setiap orang hanya diberi jatah dua liter. Harganya juga tak lagi murah, Rp 4.000 per liter atau berlipat dua dari harga normal. Dengan bersiasat bersama enam anggota keluarganya, Herawati berhasil mendapat 14 liter. Dia bertekad akan terus menggunakan kompor lawasnya itu sampai minyak tanah tak ada lagi di pangkalan.

Lain lagi kisah Ade, warga Rawa Buaya juga. Dia berharap mendapat jatah kompor gas, tapi malah tak kebagian. Pedagang pempek keliling itu berhitung, jika menggunakan kompor gas, ongkos usahanya bakal berkurang. Kini setiap hari dia harus membeli tiga liter minyak tanah dengan harga Rp 6.000 per liter. Jika ia menggunakan gas berukuran tiga kilogram—harganya Rp 14 ribu—bisa bertahan hingga tiga hari.

Menurut Mamat, ketua rukun tetangga di kampung itu, memang belum semua warganya mendapat jatah paket kompor plus tabung gas. Dari 251 nama yang diajukan, hanya datang 231 paket. Itu pun tidak benar-benar gratis seperti yang dijanjikan. Ada ongkos Rp 10 ribu per paket. ”Itu arahan dari dewan kelurahan,” ujar Mamat. Katanya, Rp 6.000 dibagi ke Dewan, sisanya untuk biaya kuli angkut.

l l l

Bagi-bagi kompor itu merupakan upaya pemerintah menekan subsidi minyak tanah. Selama ini, Herawati, Ade, dan jutaan keluarga di Indonesia memang membeli minyak tanah dengan harga semu karena harga sebenarnya jauh lebih mahal ketimbang harga di pangkalan.

Saat harga minyak berkisar US$ 95 per barel, harga ekonomis minyak tanah sekitar Rp 8.000 per liter. Tapi Pertamina menjual minyak tanah ke pangkalan Rp 2.000 per liter. Selisihnya itulah yang ditanggung pemerintah.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008 yang telah disepakati pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada pertengahan April lalu, alokasi subsidi minyak tanah tahun ini ditetapkan Rp 34 triliun dengan kuota 7,56 juta kiloliter. Itu dengan asumsi harga minyak mentah US$ 95 per barel. Kini harga minyak Indonesia sudah menembus US$ 100 per barel. Nilai subsidi bensin premium, solar, dan minyak tanah sudah pasti bakal berlipat. ”It’s too much,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pertengahan April kemarin.

Agar beban subsidi tidak kian memberatkan pundak anggaran, program konversi minyak tanah ke gas ini digas sejak pertengahan tahun lalu. Tahun ini, dari semula 15 juta keluarga, pemerintah menggelembungkan target konversi menjadi 20 juta keluarga. Lewat program ini, pemerintah berharap bisa mengirit minyak tanah bersubsidi 2,013 juta kiloliter. Tahun berikutnya, total 42 juta keluarga pengguna kompor minyak diharapkan sudah bermigrasi ke kompor gas.

Di Jakarta, menurut juru bicara Pertamina, Wisnuntoro, sudah hampir semua warga beralih ke kompor gas. Kalaupun ada yang belum kebagian jatah seperti Ade, mereka bisa mengajukan pendaftaran ulang. Kalaupun ada yang belum tuntas, itu hanya untuk industri kecil dan menengah. Saat ini baru terbagi paket kompor dan tabung gas untuk 147.500 industri kecil. ”Masih kurang 30 ribuan,” katanya.

Pengaruhnya segera terasa. Jatah minyak tanah bersubsidi untuk Jakarta dari Pertamina sudah jauh menyusut, tinggal 165 kiloliter per hari atau hanya sekitar lima persen dari konsumsi sebelum pengalihan ke kompor gas. Apabila nanti sudah semua warga Jakarta berkompor gas, minyak bersubsidi seluruhnya akan lenyap dari Jakarta. Yang beredar tinggal minyak minus subsidi alias minyak dengan harga pasar.

Setelah Jakarta, fokusnya bergeser ke Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur serta Bali. Eri Purnomohadi, anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi, mengatakan dari arah timur dan barat Pulau Jawa terus menyempit ke Jawa Tengah.

Untuk yang di luar Jakarta itu memang ada sedikit persoalan. Beberapa pemerintah daerah, seperti Sragen dan Solo di Jawa Tengah serta Lamongan di Jawa Timur, memilih menunda program konversi. ”Itu di luar kemampuan kami,” kata Wisnuntoro. Di Jawa Timur, program konversi memang agak tersendat. Dari target enam juta keluarga tahun ini, belum sampai 10 persen yang beralih ke bahan bakar gas.

Kondisi itu membuat beban yang harus dipanggul pemerintah bertambah berat karena harga baja terus membubung. Otomatis ongkos produksi tabung gas juga melambung. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Teknik, dan Aneka, Ansari Bukhari, mengatakan Departemen Perindustrian telah mengusulkan harga pengadaan tabung periode Juli-Desember 2008 menjadi Rp 130 ribu per tabung dari sebelumnya hanya Rp 104 ribu.

Kendati harganya melonjak, industri tabung baja menjamin bakal sanggup memenuhi target pemerintah. ”Kami yakin masih bisa mengejar produksi,” ujar Ketua Asosiasi Industri Tabung Baja Indonesia Tjiptadi. Hingga Juni nanti, pemerintah meminta industri tabung baja membuat delapan juta untuk konversi.

Namun sepertinya target pemerintah itu kelewat ambisius. Hingga pertengahan April lalu, keluarga yang sudah beralih ke kompor gas ini baru 2,6 juta atau hanya 13 persen dari target 20 juta keluarga. Sehingga akumulasi keluarga yang sudah meninggalkan kompor minyak (2007 dan 2008) 6,6 juta. Dampaknya juga belum begitu signifikan. Total, minyak tanah yang dikonversi baru 315 ribu kiloliter. Hitungan kasarnya, subsidi yang dihemat ”hanya” sekitar Rp 1,9 triliun.

Tingkat konsumsi minyak tanah juga tetap tinggi. Baru tiga bulan berjalan, jatah minyak tanah bersubsidi yang terpakai sudah 2,26 juta kiloliter atau hampir sepertiga kuota menurut Anggaran Perubahan 2008. Angka itu juga lebih besar daripada target tiga bulan pertama tahun ini sebanyak 1,89 juta kiloliter. Jika konsumsi itu terus bertahan, jatah 2008 sudah pasti terlampaui. Anggaran subsidi minyak tanah bakal jebol.

Walaupun berat, kata Wisnuntoro, Pertamina tetap percaya diri target konversi minyak tanah tahun ini bakal tertutup. ”Kita lihat nanti posisi pada November, baru bisa menyimpulkan tercapai atau tidak,” kata Eri Purnomohadi.

Sapto Pradityo, Vennie Melyani, Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus