Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUSAH benar perjalanan empat berkas penyelidikan kasus pelanggaran hak asasi manusia itu. Berbilang tahun ia mondar-mandir di sekitar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, dan gedung Kejaksaan Agung di Jakarta Selatan.
Awal April lalu, berkas itu tercecer. Dibawa dalam selusin kardus tanpa segel, berkas diserahkan kejaksaan ke satuan pengamanan Komisi. Lazimnya, berkas seperti ini diserahkan resmi ke anggota Komisi. ”Isinya nama-nama yang diduga menjadi pelaku serta saksi pelanggaran hak asasi dan harus dilindungi,” kata Yosep Adi Prasetyo, anggota Komisi.
Ada empat kasus dalam berkas itu: kasus Trisakti dan Semanggi I-II, penculikan 1997/1998, kerusuhan Mei 1998, dan penembakan Wamena-Wasior. Kedua institusi berbeda pendapat soal kelengkapan berkas. Komisi menganggap berkas sudah lengkap sehingga tak ada alasan kejaksaan mengembalikannya.
Menurut Jonny Simanjuntak, anggota Komisi, pekan lalu mereka mengirim tiga surat ke kejaksaan. Surat itu menegaskan semua berkas sudah lengkap. Surat dikirim karena sudah tiga kali berkas kasus Trisakti dan Semanggi dikirim balik ke Komisi. Adapun kasus Wamena-Wasior sekali bolak-balik.
Juru bicara Kejaksaan Agung, B.D. Nainggolan, menjelaskan berkas kasus Trisakti dikembalikan karena sejumlah pelakunya sudah diadili di pengadilan militer. Hukum tak memungkinkan pelaku diadili dua kali dalam perkara yang sama.
Untuk kasus orang hilang dan kerusuhan Mei, menurut Nainggolan, pengadilan ad hoc hak asasi manusia harus dibentuk lebih dulu. Adapun untuk kasus Wamena-Wasior, kejaksaan meminta Komisi memperbaiki berkas penyelidikan. ”Itu dua kasus berbeda sehingga harus jadi dua berkas,” katanya.
Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, menyatakan sulit menyidik kasus-kasus itu sebelum ada pengadilan ad hoc. Misalnya, soal penahanan para tersangka yang memerlukan izin pengadilan.
Dalam suratnya ke kejaksaan, Komisi mengatakan tugas mereka sebagai penyelidik sudah selesai. Mereka meminta kejaksaan melanjutkan ke tahap penyidikan. ”Kalau bukti kurang, tugas penyidik melengkapinya,” demikian tertulis dalam surat 29 April 2008 itu.
Pada kasus Mei dan penculikan, Komisi menganggap keharusan pembentukan pengadilan ad hoc tak disebutkan dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Komisi juga mengutip keputusan Mahkamah Konstitusi: rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat bisa diberikan dengan mempertimbangkan penyelidikan Komisi Hak Asasi dan penyidikan Kejaksaan Agung. Rekomendasi Dewan merupakan syarat pembentukan pengadilan ad hoc.
Jonny Simanjuntak mengatakan Kejaksaan Agung kini bertugas melaksanakan penyidikan. ”Kalau menilai tak ada pelanggaran hak asasi berat, silahkan keluarkan surat perintah penghentian penyidikan,” katanya.
Yosep Adi Prasetyo menilai kasus ini seperti bola panas yang ditolak Kejaksaan Agung. Asmara Nababan, mantan anggota Komisi, menganggap ruwetnya penanganan kasus ini akibat tak adanya kemauan politik pemerintah. Jaksa Marwan Effendy menepis tudingan itu.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan pernah membawa penanganan kasus-kasus itu ke Istana, pada saat aktivisnya bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Maret lalu. Menurut Haris Azhar, wakil koordinator komisi tersebut, Presiden terkesan memiliki kemauan politik. ”Tapi yang penting tindak lanjutnya,” ia menambahkan.
Namun, menurut Asmara, sinyal dukungan Istana terhadap kasus ini belum terlihat. ”Kalaupun ada, mungkin kuning,” katanya. ”Sinyal kuning bisa berubah menjadi hijau atau merah.” Juru bicara presiden, Andi Mallarangen menampik tidak adanya dukungan politik. ”Komitmen presiden untuk menuntaskan kasus HAM jelas,” katanya.
Abdul Manan, Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo