Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terperosok di Negeri Singa

Kerugian China Aviation Oil seharusnya tak lebih dari US$ 5 juta. Tergantung kemurahan hati Temasek.

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Terperosok  di Negeri Singa
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

HAMPIR sedasawarsa silam, di Singapura, seorang Nick Leeson menenggelamkan Barings, salah satu bank tertua di dunia. Nick menyeret Barings ke liang kubur setelah bank Inggris itu kehilangan dana hingga US$ 2,2 miliar akibat transaksi instrumen derivatif. Dua pekan lalu, giliran China Aviation Oil mengguncang pasar uang Negeri Singa itu.

Kesembronoan dalam jual-beli instrumen derivatif menyebabkan anak perusahaan China Aviation Oil Holding Company (CAOHC) ini rugi tak kurang dari US$ 550 juta. Perusahaan milik pemerintah Cina ini bergerak dalam penyediaan bahan bakar pesawat (avtur) di Negeri Naga itu. Sebelum jatuh, kinerja perusahaan pemegang monopoli impor avtur ini mengekor pertumbuhan ekonomi Cina yang melesat selama tiga tahun terakhir.

Tahun lalu, perusahaan itu mencetak laba Sin$ 54 juta, lebih tinggi dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Chen Jiulin disebut-sebut aktor di belakang kasus ini. Sebelum kasus ini terkuak, Chen dianggap sebagai otak keberhasilan China Aviation. World Economic Forum menempatkan namanya di antara 45 calon pemimpin dunia.

Di bawah Chen, CAO berusaha menyalip Sinopec dan Petrochina, dua konglomerat minyak asal Cina. Dalam bisnis perdagangan, CAO mulai terjun ke bursa derivatif. Sementara di awal beroperasi CAO hanya melakukan perdagangan di pasar fisik, sejak tahun lalu instrumen derivatif yang terkait dengan minyak, semacam opsi ataupun swap, ikut dilahap.

Untuk mengejar ambisi itu, CAO berencana membeli 20,6 persen saham Singapore Petroleum Company seharga US$ 221 juta. Sebelumnya, CAO akan mengakuisisi 24,5 persen saham South China Bluesky Aviation Oil senilai US$ 90 juta. Bekerja sama dengan Emirates National Oil Company, CAO membangun kilang minyak senilai Sin$ 229 juta di Pulau Jurong pada awal 2006.

Kini semuanya tinggal kenangan. Kerugian perdagangan kontrak minyak menggerus habis modal CAO, yang tahun lalu tercatat Sin$ 243 juta. Dalam pernyataan di bawah sumpah kepada aparat hukum Singapura, Chen mengakui CAO telah menderita kerugian dari perdagangan derivatif sampai US$ 5,8 juta dalam tiga bulan pertama tahun ini. Kerugian membengkak hingga US$ 550 juta ketika skandal ini terbuka, akhir November.

Awal petaka CAO bermula dari kesalahan memprediksi harga avtur. CAO yakin lonjakan harga minyak pada semester pertama tahun ini segera berakhir. Ternyata ia keliru: harga minyak bertahan di atas US$ 45 per barel. Ditambah buruknya sistem pengendalian internal, optimisme itu berubah menjadi bola salju yang merontokkan CAO. "Saya tak percaya mengapa mereka tak segera menutup kontrak saat rugi," kata Vincent Chen, pemegang saham CAO.

Dengan kerugian begitu besar, sulit bagi manajemen CAO membantah tudingan mereka telah melanggar rambu-rambu perdagangan margin. CAO diketahui memiliki sepuluh trader. Kalau alarm di dalam CAO berjalan, seorang trader maksimal hanya bisa membebankan kerugian sampai US$ 500 ribu. Jadi, seandainya sepuluh orang itu mengalami nasib buruk berbarengan, kerugian maksimal yang ditanggung CAO tak lebih dari US$ 5 juta.

Tentang siapa yang bersalah di balik karamnya CAO kini merembet ke sang induk. CAOHC diduga telah mengetahui kerugian CAO dari perdagangan derivatif ketika mereka menjual 15 persen saham CAO kepada para investor institusi, Oktober lalu. Hasil penjualan saham, Sin$ 196 juta, "dipinjamkan" oleh CAOHC ke CAO untuk menutup sebagian kekalahan mereka di bursa berjangka.

Karena itu, otoritas keuangan Singapura menjerat gembong CAO dengan tuduhan menyembunyikan informasi hingga ke perdagangan yang melibatkan orang dalam (insiders trading). Yang pertama ditahan polisi Singapura adalah Chen, Rabu pekan lalu. Ia kemudian dibebaskan dengan jaminan uang. "Tak sepeser pun kerugian itu yang saya nikmati," ujar Chen, seperti dikutip harian Asian Wall Street Journal.

Nasib CAO kini bergantung pada Temasek, perusahaan milik pemerintah Singapura. CAOHC telah membeberkan skema suntikan modal senilai US$ 100 juta. Sebagian akan mereka tanggung, sisanya diharapkan datang dari Temasek. Ironisnya, Temasek termasuk investor yang "ditipu" CAOHC dengan membeli dua persen saham CAO, Oktober lalu itu. "Saat ini kami hanya memiliki sekitar dua persen saham CAO," kata Serena Lee, juru bicara Temasek Holding.

Thomas Hadiwinata (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus