Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bobol Jebol Bolak-balik

Lima kali Bank BRI dibobol, total mencapai Rp 306,48 miliar. Menunggu hukuman dari bank sentral.

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Bobol Jebol Bolak-balik
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEBAGAI teller, Durgana—bukan nama sebenarnya—begitu menikmati pekerjaannya di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk., kantor cabang Makassar Somba Opu, Sulawesi Selatan. Bagaimana tidak? Sepanjang 1997-2003 ia berhasil meraup penghasilan lebih dari Rp 3 miliar. Bukan dari gaji, tentu, melainkan dari membobol bank tempat dia bekerja.

Penelusuran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2004 yang diperoleh Tempo menyebutkan, Durgana melakukan pembobolan dengan cara gali lubang tutup lubang. Selama lima tahun bekerja di bank milik pemerintah itu, ia menggelapkan uang setoran dan pencairan dana 28 rekening Britama dan dua rekening deposito. Belum sempat semua galiannya ditutup, aksi Durgana tercium tim audit investigasi BRI.

Ini hanya sepenggal kasus pembobolan BRI sepanjang 2003 yang luput dari liputan media massa. Masih ada tiga kasus lagi yang sempat direkam media. Total potensi kerugian Bank BRI tahun lalu Rp 297,08 miliar. "Ini akibat pengawasan melekat yang dilakukan kantor inspeksi Bank BRI masih belum efektif," kata sumber Tempo di BPK. Begitu juga yang ditulis lembaga pemeriksa ini dalam auditnya.

Lain lagi cerita pembobolan BRI di kantor cabang Jakarta Segitiga Senen, masih pada 2003. Menurut audit BPK, ada dua modus pembobolan, yaitu lewat pemberian kredit dengan agunan kas, dan penerimaan transfer melalui real time gross settlement (RTGS). Kali ini orang luar ikut terlibat. Potensi kerugian BRI Rp 190,55 miliar.

Modus pembobolan lewat pemberian kredit diawali dengan membuka dua rekening giro valas. Deden Gumilar Sapoetra, Kepala Cabang BRI Segitiga Senen, bekerja sama dengan Mister Colenk—juga nama rekaan. Colenk, yang kini buron, berperan membuka rekening giro valas. Uang untuk membuka rekening pun dibobol dari rekening giro milik seorang nasabah.

Oleh Colenk, dua rekening giro ini dipakai sebagai agunan untuk memperoleh pinjaman, masing-masing Rp 15 miliar dan Rp 5 miliar. Belum puas menyedot Rp 20 miliar, kali ini Deden digandeng Yudi Kartolo dan Hartono Tjahjadjaja, komisaris dan direktur PT Delta Makmur Ekspresindo.

Ternyata Yudi dan Hartono juga merangkul Agus Riyanto, Kepala Cabang Pembantu Jakarta Tanah Abang, dan Asep Tarwan, Kepala Cabang Pembantu Bogor Surya Kencana. Pembobolan terjadi hampir bersamaan, medio Agustus-September, di tiga kantor cabang itu.

Mereka membobol dana milik Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Timur Rp 100 miliar dan Dana Pensiun Perkebunan Rp 70,55 miliar, yang ditransfer melalui RTGS ke cabang Segitiga Senen. Uang milik Dana Pensiun Perusahaan Pelabuhan dan Pengerukan, Rp 10 miliar, yang ditransfer lewat RTGS ke cabang Tanah Abang, juga dibobol. Seluruh uang itu dialihkan ke rekening deposito milik PT Delta Makmur.

Pembobolan di cabang pembantu Surya Kencana modusnya berbeda, meski ujung-ujungnya berakhir di PT Delta Makmur plus PT Pantja Prakarsa. Kali ini yang dibobol dana milik PT Jamsostek untuk Biro Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta, berupa deposito di cabang pembantu Bogor Surya Kencana, Rp 93,5. Uang itu, oleh Asep dibantu bawahannya, Haris Setiawan, digunakan mengucurkan kredit: Rp 74,5 miliar untuk Delta Makmur dan Rp 19 miliar untuk Pantja Prakarsa.

Tahun ini, tepatnya November lalu, pembobolan BRI kembali terungkap. Pelakunya tunggal, yakni Gunawan, Kepala Seksi Dana dan Jasa Bank BRI Jakarta Cabang Khusus Sudirman. Sejak 1999 hingga 2004 Gunawan membobol dana berupa bunga bank yang seharusnya menjadi milik nasabah deposito sebanyak Rp 9,4 miliar.

Uang itu lalu disimpan di rekening atas nama Ahmad Sumardjo. "Ketika dia dirotasi ke kantor pusat, kasus ini terbongkar," kata Direktur Utama Bank BRI, Rudjito. Bank Indonesia pun tak tinggal diam, apalagi kejadiannya berulang sampai lima kali. Deputi Direktur Pengawasan Perbankan II BI, Wiraguna Bagus Oka, mengatakan jajaran direksi langsung dikenai teguran.

Teguran itu berlanjut dengan peringatan tertulis, hingga pemanggilan. Namun BI tidak gegabah memberikan hukuman. Bank sentral, menurut Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S. Goeltom, akan memasukkan bank-bank yang kerap kebobolan ke kategori aktiva menurun. "Sesuai dengan aturan," katanya.

Oka menambahkan, BI akan terus menempel Bank BRI, melakukan evaluasi atas kinerja perbankan dan pengawasan yang dilakukan bank berpelat merah itu. Contohnya, Desember ini BRI kembali dibobol. "Kita lakukan action plan," kata Oka. "Bisa denda, fit and proper test ulang, dan pergantian direksi hingga memasukkan dalam daftar orang tercela."

Beruntung, kata Oka, kasus pembobolan BRI yang terungkap November lalu merupakan kejadian lama. Oka mengungkapkan, penyebab pembobolan terutama akibat pengawasan internal di BRI masih lemah, dan belum bekerja secara optimal. "Harusnya, kalau ada yang tidak beres, pengawas internal langsung bergerak," katanya.

Standar operating procedures (SOP) Bank BRI juga kedaluwarsa. "Harusnya SOP secara berkala dievaluasi sesuai dengan perkembangan perusahaan," ujar Wiraguna Bagus Oka. Tetapi ekonom yang anggota Komisi Keuangan dan Perbankan (XI) DPR, Dradjad H. Wibowo, mengatakan SOP bank-bank pemerintah sudah sangat bagus. Masalah sebenarnya terletak pada mekanisme pengawasan internalnya.

"Mekanisme ini yang sering tidak jalan," kata Dradjad. Mengapa? Karena yang diawasi secara kepangkatan lebih tinggi daripada yang mengawasi. "Jadi, mana berani dia?" Dradjad menambahkan. Mental sumber daya manusia yang masih lembek juga penyebab maraknya aksi pembobolan. Sehingga, kata Dradjad, solusinya adalah memperketat sistem pengawasan internal dan pembenahan SDM.

Rotasi pimpinan cabang menjadi solusi lain untuk memberantas pembobolan. Sebaiknya rotasi dilakukan paling lama dua tahun. Langkah ini, kata Dradjad, akan memutus rantai antara kreditor dan debitor. "Makin lama, mereka akan makin mungkin berkongkalikong," ujar Dradjad.

Akan lemahnya pengawasan internal di Bank BRI, Rudjito tak sependapat. "Sudah ketat, karena sistemnya itu mesti lewat mekanisme check dan recheck," katanya. Namun dia berjanji meningkatkan kembali mekanisme pengawasan internal dan kewaspadaan.

Direktur Kepatuhan BRI, Hendrawan Tranggana, menambahkan pihaknya juga akan melakukan pembenahan SDM. "Sampai memperhatikan gaji dan jenjang karier," katanya. Untungnya, kata Hendrawan, kinerja BRI sama sekali tidak terganggu oleh aksi-aksi pembobolan itu. Harga saham di pasar modal malah naik saat pembobolan November lalu, misalnya. "Nasabah juga tidak lari," katanya.

Untuk menekan kerugian, kata Hendrawan, Bank BRI akan menyita aset milik pelaku. Sudah 50 persen dari total nilai yang dibobol, yakni Rp 306,48 miliar, kembali ke tangan BRI. "Kami akan mengejar terus untuk mendapatkan recovery rate yang tinggi," kata Hendrawan.

Semua pelaku pembobolan yang berasal dari orang dalam BRI, kecuali Haris Setiawan dan Gunawan, sudah diseret ke meja hijau. Haris hingga kini masih buron, Gunawan dalam penyidikan polisi. Deden, Agus, dan Asep sudah masuk bui, masing-masing dengan imbalan vonis 16 tahun, 6 tahun, dan 17 tahun. Pelaku orang luar, yaitu Yudi dan Hartono, masih dalam proses pengadilan.

Sepanjang 2003-2004, paling tidak ada lima bank lagi mengalami nasib serupa. Paling gres adalah PT Bank Mega, yang kebobolan Rp 50 miliar dengan modus pemberian kredit. Bank BNI bobol Rp 1,7 triliun akibat L/C fiktif. Bank Mandiri bobol Rp 50 miliar. PT Bank Danamon Tbk. dibobol di Medan dan Manado, masing-masing Rp 33 miliar dan Rp 4,5 miliar. PT Bank Internasional Indonesia Tbk. juga kena Rp 31 miliar.

Wakil Presiden Jusuf Kalla sampai turun tangan menanggapi maraknya aksi pembobolan bank. "Pengawasan yang ketat harus dilakukan BI," katanya. "Kalau bobol lagi, kami akan bicara dengan BI."

Apakah ini semacam indikasi rapuhnya sistem perbankan di negeri ini? Wiraguna Bagus Oka cepat menukas, "Bukan, sama sekali tidak, pembobolan yang terjadi hanya kasuistis." Ya, kasuistis bolak-balik.

Stepanus S. Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus