Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI antara sepuluh kasus korupsi BUMN yang oleh Presiden Yudhoyono diharapkan jadi prioritas, kasus di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II terhitung agak belakangan digarap. Meski terlambat, bulan lalu Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hendarman Supandji, memastikan timnya telah menemukan adanya dua kejanggalan dalam BUMN itu.
Pertama, soal proses penjualan obligasi subordinasi yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kedua, soal privatisasi anak perusahaan Pelindo, Jakarta International Container Terminal (JICT), tujuh tahun lalu. ”Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan sudah diterbitkan,” kata Hendarman.
Supandji tak menyebutkan nama tersangka yang sudah ada di tangannya. Tapi, menilik pada penyidikan terdahulu dalam kasus privatisasi—yang sempat lama mengendap—setidaknya ada dua nama yang diduga terlibat: mantan Menteri Negara BUMN Tanri Abeng, dan Herwidayatmo, asisten Tanri yang kini menjadi pejabat perwakilan negara-negara Asia di Bank Dunia.
Ada dua hal yang dicurigai. Pertama, mengenai keputusan Tanri—ketika itu juga Ketua Tim Evaluasi Privatisasi BUMN—menunjuk PT Danareksa Sekuritas dan PT Bahana Sekuritas sebagai konsultan secara sepihak, tanpa mengacu pada surat keputusan bersama tiga menteri tentang privatisasi. Hal ini berakibat pada kerugian negara sekitar Rp 12,9 miliar.
Soal lainnya terkait dengan hasil penjualan 51 persen saham JICT kepada Grosbeak Pte.Ltd., yang berkedudukan di Hong Kong. Grosbeak mengalahkan lima penawar lain dengan harga US$ 243 juta. Pembayaran dilakukan dalam dua skema: pembayaran tunai US$ 215 juta, dan US$ 28 juta dalam bentuk teknologi informasi (perangkat lunak).
Masalah muncul ketika pada 2004 PT Sucofindo, yang ditunjuk melakukan penilaian aset Pelindo II, menemukan bahwa perangkat lunak yang dimaksud ternyata cuma bernilai US$ 13,82 juta. Jadi, ada selisih US$ 14,18 juta yang masih harus dibayarkan Grosbeak.
Menurut Tanri Abeng, selisih itu merupakan tanggung jawab direksi untuk menagihnya. ”Itu sudah tidak ada kaitan dengan tim kebijakan privatisasi,” katanya kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Tanri menjelaskan, sebetulnya privatisasi JICT sangat menguntungkan. Dalam kesepakatan, misalnya, disebutkan bahwa lima persen pendapatan akan disetorkan langsung kepada Pelindo II. Ini belum termasuk pembagian keuntungan berdasarkan kepemilikan saham. ”Ini privatisasi terbaik yang pernah dilakukan,” kata Tanri, kini Komisaris Utama PT Telkom. Apalagi, setelah 20 tahun, JICT akan kembali menjadi milik Pelindo II. ”Sebenarnya bukan privatisasi, hanya disewakan saja.”
Tapi, soal harga ”sewa” pun membuat curiga tim penyidik. Mereka menilai harga US$ 243 juta itu tak wajar. Soalnya, penghasilan yang bisa dikeruk di dua unit terminal peti kemas itu setiap bulan rata-rata mencapai US$ 7 juta.
Sebagai perbandingan, 49 persen saham unit terminal peti kemas Surabaya yang dikelola PT Pelindo III dijual kepada perusahaan Australia P&O dengan harga US$ 179 juta. Padahal pendapatannya hanya US$ 3 juta per bulan.
Y. Tomi Aryanto, Angelus Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo