KECEMASAN yang kita tanggung bersama sekarang ini adalah bagaimana memecahkan persoalan desentralisasi ekonomi. Atau, secara kongkretnya, bagaimana mengembangkan sentra ekonomi di Indonesia Bagian Timur (IBT). Tujuannya jelas: agar pertumbuhan ekonomi tidak condong ke barat atau menggelayut lebih berat di Jawa. Bahwa persoalan pengembangan wilayah di luar Jawa, khususnya IBT, telah menjadi kecemasan nasional, terbukti dari banyaknya telaah tentang hal yang satu itu. Batu loncatan yang cukup penting sudah dimulai, antara lain dengan seminar "Pembangunan Aspek Kelautan di IBT", yang diselenggarakan oleh Departemen Hankam akhir bulan lalu di Panti Perwira Jakarta. Sebelum pada akhirnya para pembicara bersepakat bahwa IBT ketinggalan di bidang pembangunan ekonomi, Menhankam L.B. Moerdani sudah melontarkan gagasannya, "IBT memerlukan strategi pembangunan yang menitikberatkan pada ekonomi maritim, yang didukung oleh pembangunan pulau-pulau dan masyarakatnya." Seperti tidak hendak ketinggalan momentum laiknya, Kamis pekan silam Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo mengumumkan kemudahan bagi para investor yang akan mengembangkan usaha di IBT. PMA dan PMDN akan sama-sama memperoleh keringanan pajak penghasilan (PPh), dalam bentuk kompensasi kerugian tidak lebih dari delapan tahun -- terhitung sejak tahun pertama sesudah kerugian tersebut terjadi. Ditambah dengan keringanan untuk PBB. Kata Sanyoto, Pemerintah memberikan pengurangan 50% dari pajak bumi dan bangunan (PBB) yang terutang selama delapan tahun, sejak diperolehnya peruntukan tanah. Ini berarti, pemerintah daerah ikut berkorban demi pembangunan wilayahnya karena biasanya PBB masuk ke kas pemda. Persoalannya tidak berhenti sampai di sini. Gerak ekonomi pembangunan wilayah -- khususnya pengembangan IBT dan wilayah lain di luar Jawa -- memerlukan pelbagai langkah lanjutan. Terutama ketika Pemerintah memerlukan pijakan yang lebih kukuh dan pendekatan jitu dalam pelaksanaan pembangunan daerah, sesuai dengan semangat desentralisasi ekonomi. Dalam kaitannya dengan itu, Lokakarya Spatial Development in Indonesia: Review & Prospects di Kampus UI Depok, Senin dan Selasa depan, bisa menjadi penting. Pusat Antar-Universitas (PAU), Ekonomi, UI, didukung Departemen P & K, dan sponsor National Science Foundation, AS, menyelenggarakan lokakarya ini dengan niat mendapatkan masukan tentang formulasi kebijaksanaan yang akan dilakukan Pemerintah dalam pembangunan daerah. Selain itu, menurut Direktur PAU Iwan Jaya Azis, "Tujuan lainnya adalah demi pengembangan metodologi yang tepat bagi penelitian di bidang pengembangan wilayah." Bagi PAU, yang mulai aktif sejak tigak tahun silam, lokakarya ini merupakan lanjutan dari serangkaian penelitian dan seminarnya di bidang pengembangan regional. Deretan pakar dari mancanegara yang diundang berbicara adalah orang-orang yang selama ini dekat dengan segala problem Indonesia dan pernah ke sini. Kecuali Profesor Walter Isard, satu-satunya pakar yang tak pernah ke Indonesia, tapi diundang karena prestasinya sebagai pendiri ilmu regional. Pakar-pakar domestik didatangkan dari pelbagai daerah. Dan mereka akan aktif sebagai pembahas. Pejabat pemerintah yang ikut berbicara adalah Dr. Soedradjad Djiwandono, dengan makalah External Oriented Strategy in Indonesian Economy. Kabarnya, Menteri Negara KLH Emil Salim juga bersedia tampil. Iwan Jaya mengatakan, fokus lokakarya ini tak lepas dari upaya pengembangan wilayah luar Jawa sebagai basis industri untuk menopang ekspor nonmigas. "Karena di Jawa daya dukung terhadap ekspor sudah maksimal, sudah lebih dari 100%," katanya. Itu berarti akan melibatkan banyak soal mengingat dalam jangka menengah dan jangka panjang, pembangunan daerah sangat krusial. Berbeda dengan gerak ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, persoalan ekonomi pembangunan selalu berkaitan dengan perubahan struktur sosial-ekonomi masyarakat dan infrastuktur di daerah. Dalam kaitannya dengan itu, ada makalah The Spatial Dispersion of Economic Activities and Regional Disparities in Indonesia: 1972-1987 (oleh Prof. Gerrit Knaap dan Prof. T. John Kim dengan pembahas Ir. Piek Mulyadi dan Tirta Hidayat, M.Sc.) dan Transpotation (Prof. Robert Carvero, yang akan dibahas oleh Dr. Soeheroe Tjokroprajitno dan Dr. R.E.B.U. Tjokro Adiredjo). Problem investasi di daerah luar Jawa memang berat. Sarana dan prasarana yang belum memadai, bagaimanapun, tetap menjadi ganjalan besar. Idealnya, investasi dan infrastruktur berjalan berdampingan, supaya tidak terulang kasus pelabuhan yang hanya disinggahi angin dan sama sekali tidak disibukkan oleh kegiatan bongkar muat barang. Tapi, Pemerintah tampaknya tetap diminta lebih dahulu menyediakan prasarana, sebelum mengundang investor masuk ke daerah. "Ini merupakan kewajiban pemerintah," kata Iwan Jaya. Dan, tampaknya, Pemerintah diminta memberikan komitmen lebih jauh lagi, dalam arti bersedia "berkorban" demi terciptanya lokasi yang baik untuk pengembangan investasi di daerah. Barangkali ini bisa dimulai dengan miningkatkan persentase alokasi dana Inpres dan DIP (Daftar Isian Proyek) ke IBT. Yang sudah terjadi, pada 1985 porsi IBT dari dana DIP hanya 20%, lalu turun di bawah 10% pada 1986, dan hanya naik sedikit pada 1987. Inpres? Selama periode 1986-1987, dari total dana Inpres porsi untuk IBT hanya di bawah 30%. Menurut Iwan Jaya, prioritas semacam itu sebaiknya tidak terulang. Mohamad Cholid dan Bambang Aji (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini