Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Asal muasal krisis likuiditas

Bank-bank pemerintah sedang menumpuk dana guna mengembalikan kredit likuiditas kebank indonesia. bank-bank swasta mengalami krisis likuiditas terutama yang salah hitung. bni mengambil kesempatan.

14 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA pekan lalu, banyak yang mempertanyakan, mengapa bank-bank pemerintah begitu getol menimbun dana. BBD dan BDN, misalnya, punya dana encer tak kurang dari Rp 750 milyar. Sementara itu, Bank BNI, BRI, dan Eksim, menyiapkan likuiditas di atas Rp 1,4 trilyun. Ternyata, tumpukan dana yang menggiurkan itu disiapkan untuk mengembalikan kredit likuiditas (KL) Bank Indonesia. Coba simak apa yang terjadi selama 30 hari terakhir ini. Dua kali sudah, bunga pinjaman antarbank melonjak-lonjak. Pertama, Juni lalu, ketika suku bunga pinjaman semalam alias overnight tiba-tiba meroket hingga 35%. Kejadian yang sama terulang pekan lalu -- bunga overnight melonjak ke angka yang sama. Bahkan, sehari sebelum Idul Adha, suku bunga naik menjadi 40%. Untunglah, lonjakan yang rawan itu tidak berlangsung lama. Pelan-pelan, bunga kembali menukik. Senin petang pekan ini, beberapa bank sudah mulai menawarkan call money dengan bunga 22%. Lalu, ada hubungan apa, antara dana menganggur di bank pemerintah dan gejolak bunga overnight? Masalahnya bisa dijelaskan begini. Selama ini, tidak sedikit bank swasta yang mengandalkan likuiditasnya dari call money. Sementara itu, pemasok utama pasar uang (bank-bank pemerintah) mendadak mengerem suplainya. Mereka berdalih, harus mengembalikan kredit likuiditas kepada BI. "Itulah sebabnya, bank pemerintah semakin ketat dalam mengalirkan rupiah mereka," kata Dahlan Sutalaksana, Direktur Muda BI. Dari total KL yang disalurkan hingga April lalu (Rp 16,7 trilyun), 70% di antaranya (sekitar Rp 11 trilyun) merupakan tanggungan bank-bank pemerintah. KL untuk ekspor, yang jatuh tempo September depan, seluruhnya mencapai Rp 2,7 trilyun. Belum lagi KL untuk investasi, perkebunan, pengadaan pangan, dan tiga jenis KL lainnya. Tahun ini saja, dari kocek bank-bank pemerintah, BI akan menyedot trilyunan rupiah. Bank BNI, misalnya, harus mengembalikan KL sebesar Rp 800 milyar. Rekannya, BRI, tersandung jatuh tempo lebih dari Rp 1 trilyun. Tapi, keringnya likuiditas bank-bank swasta bukanlah semata-mata karena bank pemerintah mengerem suplainya ke pasar uang. Ada faktor-faktor lain yang cukup besar pengaruhnya. Menurut Mu'min Ali Gunawan, Wakil Presdir Panin Bank, tidak sedikit bank yang memberikan kredit dengan dana dari pasar uang yang hanya berjangka 1-3 bulan. Selain itu, kata Mu'min, dengan meningkatnya permintaan kredit, banyak bankir yang tidak berpikir panjang. Mereka salurkan kredit untuk perumahan yang kecil-kecil itu, yang kalau dijumlah, ya, menjadi besar. Sementara itu, pelunasannya bisa 10-20 tahun. Kini, bank swasta rupanya sudah menyadari bahwa langkah ini mengandung risiko besar. T.A. Suyatno, Direktur Pemasaran Bank Asia Pacific, juga melihat risiko itu. Pertumbuhan tabungan yang dihimpun bank, kata dia, tidak secepat laju pertumbuhan investasi. Bahkan dibandingkan laju pertumbuhan kredit konsumen pun, tabungan masih kalah. Thomas tak heran bila kini banyak bank yang menawarkan produk tabungan dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Jadi, kalau mau menilai kesehatan bank secara utuh, maka sekaranglah saatnya. Itu pendapat seorang direktur bank pemerintah yang berpendapat, sebenarnya krisis likuiditas tak perlu dialami oleh bank-bank swasta kalau saja mereka jeli berhitung. Apa daya, banyak bankir swasta yang kurang jeli. Mereka mengucurkan sejumlah besar dana ke bisnis properti. "Ini memang menguntungkan, tapi tidak mudah dicairkan," kata Thomas Suyatno, yang juga Sekjen Perbanas. Selain itu, nasabah kredit konsumen (mobil dan rumah) terlalu dimanjakan. Padahal, di sinilah biangnya kredit macet. Tapi, masalahnya tidak berhenti di sini. Masih ada bank yang melakukan pembiayaan investasi jangka panjang dengan dana jangka pendek. Berbagai faktor itu, dalam penilaian Thomas, cukup ampuh untuk membuat para bankir kelabakan. Apalagi kini, manakala KL jatuh tempo. Tapi bisnis adalah bisnis, dan kesempitan buat satu pihak bisa jadi kesempatan bagi pihak yang lain. Maka, Bank BNI, yang bergelimang likuiditas, tak segan-segan mengalirkan uangnya ke pasar antarbank. "Bunga 30% kan menggiurkan," kata Widigdo Sukarman, Direktur Bank BNI. Hanya saja, penyaluran kredit itu sekarang lebih ketat dan selektif. Bahkan, jangka waktunya pun tak lebih dari tiga bulan. Diakui oleh Thomas Suyatno bahwa krisis likuiditas ini dialami oleh hampir semua bank (kelas kecil, menengah, dan besar). Tak syak lagi, yang paling terpukul adalah bank papan bawah. Bank devisa bisa dengan mudah mencari tambahan dana dengan merupiahkan stok dolar mereka. "Tapi, bank papan bawah, apa yang bisa mereka uangkan?" sindir Thomas. Unjung-ujungnya, ya, lari ke pasar uang. Bank Perkembangan Asia, misalnya, menunjang sebagian pendanaan kreditnya dari pinjaman antarbank. Ini dikemukakan oleh Stephen Satyahadi, Presdir BPA. Dikatakannya juga, BPA beraset Rp 600 milyar dan masih segar bugar. Apa benar? Bayangkan saja, dari total kredit yang disalurkan BPA (Rp 500 milyar), 21% di antaranya diambil dari pasar uang. Apa yang akan dilakukan BI untuk menolong bank-bank seperti itu? "BI akan lebih selektif dalam mengalirkan dana," kata Dahlan. Apalagi dana yang beredar di kalangan bank, cukup untuk membiaya kegiatan ekonomi (termasuk ekspor). "Hanya penyebarannya saja yang tidak merata," katanya. Tapi yang akan diutamakan oleh pemerintah, kata Dahlan, adalah menekan laju inflasi. Soalnya, enam bulan terakhir ini, inflasi sudah mencapai 4,8%, atau rata-rata 0,8% sebulan. Jadi, ada kenaikan jika dibandingkan inflasi semester I tahun lalu, yang hanya 4%. "Nah, kalau ini dibiarkan, bisa-bisa inflasi tahun ini mencapai 10%," katanya. Dalam hal menarik KL yang dipinjamkannya, BI juga tidak akan sembarangan. KL yang berhubungan dengan pengadaan pangan dan KL investasi yang berorientasi ekspor masih tetap akan dialirkan. Bahkan untuk Indonesia Bagian Timur, KL Investasi tidak atau belum akan disetop. Budi Kusumah, Bambang Aji, Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus