Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menerbitkan tiga aturan baru tentang infrastruktur ketenagalistrikan.
TKDN panel surya diturunkan hingga di bawah 60 persen.
Produsen sulit memenuhi syarat TKDN 60 persen.
TIGA regulasi tentang tingkat komponen dalam negeri atau TKDN untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan terbit nyaris bersamaan. Satu yang dirilis pada akhir Juli 2024 adalah Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 34 Tahun 2024 tentang cara penghitungan nilai TKDN panel surya. Peraturan ini menggantikan regulasi sebelumnya yang menetapkan TKDN modul surya untuk pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS minimal 60 persen. “Ketiga aturan baru berlaku sejak 31 Juli,” kata Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin kepada Tempo, Jumat, 2 Agustus 2024.
Dua regulasi lain adalah Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33 Tahun 2024 tentang Pencabutan Aturan TKDN Infrastruktur Ketenagalistrikan serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2024 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Rachmat, Kementerian Energi mengatur pedoman penggunaan produk lokal untuk proyek PLTS—atau ketenagalistrikan—secara menyeluruh. Sedangkan Kementerian Perindustrian mengatur pedoman penggunaan material lokal dalam pembuatan panel surya. Dengan regulasi baru, pemerintah berharap penggunaan produk dalam negeri akan lebih realistis. “Jangan sampai TKDN ditetapkan tinggi tapi kemudian ada yang minta pengecualian,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cara penghitungan TKDN dalam peraturan terbaru berbeda sekali dengan ketentuan sebelumnya. Sementara sebelumnya Kementerian Perindustrian menetapkan nilai TKDN secara gelondongan 60 persen, dalam regulasi baru formula penghitungan memakai sistem pembobotan atas tiga faktor produksi panel surya, yaitu material 91 persen, tenaga kerja 5 persen, dan biaya tidak langsung pabrik atau factory overhead 4 persen.
Rachmat mengatakan penataan ulang juga berlaku pada penghitungan TKDN tenaga kerja langsung. Dalam aturan terbaru, formulanya menggunakan persentase perbandingan pegawai warga negara Indonesia terhadap total tenaga kerja langsung.
Pengaturan ulang ketentuan TKDN menjadi respons atas keresahan pelaku industri panel surya. Mereka menilai aturan TKDN sebelumnya menghambat investasi proyek PLTS karena targetnya terlalu tinggi. Padahal nyatanya produk dalam negeri belum mencapai TKDN 60 persen. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pemerintah perlu meringankan aturan TKDN di sektor kelistrikan untuk menarik investasi proyek energi baru dan terbarukan.
Pada awalnya TKDN modul surya diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5 Tahun 2017 yang menyebutkan aturan kandungan lokal minimal 60 persen berlaku sejak 1 Januari 2019. Pemerintah kemudian mengubahnya lewat Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 23 Tahun 2023 dengan menetapkan syarat nilai TKDN modul surya minimal 60 persen harus tercapai pada 1 Januari 2025.
Di sisi lain, Kementerian Energi mengusulkan ketentuan TKDN untuk proyek PLTS diturunkan menjadi 40 persen dan ada masa keringanan atau relaksasi tiga-empat tahun sebelum dinaikkan secara bertahap. Niatnya adalah membuat investor leluasa membangun PLTS. “Jadi ada peta jalan sekarang TKDN-nya berapa, tahun depan berapa, sehingga sampai yang ditargetkan Kementerian Perindustrian,” tutur Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Dadan Kusdiana.
•••
PERTENGAHAN Juli 2024, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi memanggil para produsen panel surya. Ketika itu terdapat 36 perusahaan yang terdaftar di Kementerian Perindustrian berstatus produsen dengan nilai tingkat komponen dalam negeri berkisar 40-60,91 persen. Namun, setelah dievaluasi, ternyata ketersediaan bahan atau material dalam negeri tidak sebesar itu. “Sampai hari ini, komponen yang ada di Indonesia hanya 38 persen,” kata Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Rachmat Kaimuddin.
Angka TKDN aspal alias asli tapi palsu itu muncul karena produsen mengejar pemenuhan syarat yang dinilai terlalu tinggi, yakni 60 persen. Ketentuan yang tidak realistis itu pula yang membuat beberapa proyek PLTS meminta waiver atau pengecualian.
Menurut Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat yang antara lain membidangi energi, Eddy Soeparno, ada PLTS yang tak memenuhi syarat TKDN. Dia mencontohkan, berdasarkan hasil evaluasi, nilai TKDN PLTS Cirata di Jawa Barat hanya 23 persen. “Kalau memaksakan TKDN sesuai dengan ketentuan, skala ekonominya enggak masuk,” ujarnya. Karena itu, Eddy menambahkan, DPR sejak awal mendorong pemerintah merevisi aturan TKDN.
Petugas memotret Pembangkit Listrik Tenaga Surya IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 1 Agustus 2024. Antara/Hafidz Mubarak
Selain PLTS Cirata, proyek PLTS di Ibu Kota Nusantara atau IKN dikecualikan pemerintah dari aturan TKDN. Pembangkit listrik berkapasitas 10 megawatt (MW) di Desa Pemaluan, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, itu memasok sebagian kebutuhan listrik IKN. Sebanyak 21.600 modul surya terpasang di area seluas 80 hektare. PT Nusantara Power, anak perusahaan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, tengah mengembangkannya hingga mencapai 50 MW.
Saat ini pemasangan modul surya terus berlanjut dan akan ditambahkan lagi menjadi 114.420 unit. “Targetnya, PLTS dengan kapasitas 50 MW bisa beroperasi pada akhir November 2024,” ucap Sekretaris Perusahaan Nusantara Power Heny Purwanti pada Jumat, 2 Agustus 2024.
Pemerintah berkepentingan mempercepat pembangunan PLTS. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030, pemerintah menargetkan pembangunan PLTS 4,6 gigawatt-peak (GWp) dan PLTS atap hingga 3,61 GWp pada 2025. Dalam peta jalan emisi nol bersih atau net zero emission Indonesia, kontribusi PLTS diharapkan mencapai 361 GWp pada 2060. Indonesia mendapat komitmen pembiayaan dalam kerangka Kemitraan Transisi Energi yang Adil Indonesia (JETPI) US$ 20 miliar untuk transisi energi yang sebagian kecil berupa hibah. Namun aturan TKDN disebut menghambat pencairan dana.
Rachmat Kaimuddin mengungkapkan, pemerintah perlu membedakan proyek yang mendapat pembiayaan dari lembaga multilateral seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia (ADB). Khusus untuk proyek energi terbarukan yang dibiayai lembaga seperti itu, kebijakan pengadaan barang dan jasa tidak mengikuti aturan TKDN. “Kita harus ikut,” ujarnya. Gara-gara sengkarut aturan TKDN, beberapa proyek terancam mangkrak. “Kalau ini beres, bukan hanya JETPI, tapi proyek hijau lain bakal jalan.”
Kalangan industri menyambut baik revisi aturan TKDN pembangkit surya. Direktur PT Trina Mas Agra Indonesia Lokita Prasetya berharap regulasi baru dapat mendorong investasi panel surya di dalam negeri sehingga terbentuk ekosistem dan rantai pasok industri dari hulu sampai hilir. “Pembobotan tiap komponen panel surya perlu ditinjau sesuai dengan teknologi dan nilai investasi.”
Trina Mas Agra Indonesia adalah perusahaan pertama di Indonesia yang masuk kategori tier-1 Bloomberg. Perusahaan patungan PLN, Sinar Mas Group, dan Trina Solar asal Cina ini tengah membangun pabrik sel fotovoltaik dan modul fotovoltaik terintegrasi berkapasitas 1 gigawatt di Kendal, Jawa Tengah. Pabrik itu akan beroperasi pada kuartal IV 2024 dengan produk panel surya 700 watt-peak (Wp) dan dapat dikembangkan menjadi 720 Wp per panel, yang menjadi ukuran terbesar di dunia saat ini.
Ketua Kelompok Kerja Transisi Energi Komite Keberlanjutan Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Anthony Utomo, berharap pemerintah mengkomunikasikan dengan baik revisi aturan TKDN ini kepada para produsen panel surya global yang akan berinvestasi di Indonesia. “Jangan sampai koreksi TKDN dan peta jalan yang realistis ini dianggap sinyal bahwa Indonesia tidak konsisten karena berpihak pada produsen dalam negeri.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Agar Tak Terjegal Kandungan Lokal"