SEDAN Toyota Crown Delux B2023-ES memasuki gedung Bank Dagang
Nasional Indonesia (BDNI) Pusat, di Jl. Kali Besar Timur,
Jakarta Utara. Seorang bertubuh pendek, dengan tahi lalat di
pipi kanannya, masih bicara lewat telepon mobilnya. Tapi sesaat
kemudian, dia bergegas keluar sembari membawa map, menuju ke
dalam bank yang tampak tua itu.
Dialah Paulus Wibowo, Dir-Ut BDNI sekitar 3 5 tahun, belakangan
ini jadi topik pembicaraan banyak orang. Bank swasta ini,
seperti diungkapkan koran Tbe Asian Wall Street Journal
baru-baru ini, mengalami krisis keuangan serius yang bisa
menyebabkan bankrut. Dan itu timbul akibat hutang-hutang luar
negeri yang terjadi selama kepemimpinan Dir-Ut Paulus.
Hutang-hutang itu, yang ditarik lewat wesel-wesel kepada
korespondennya di luar negeri, menurut koresponden Raphael Pura
dari AWSJ, mencapai sekitar US$ 25 juta bahkan pada Suatu saat
mencapai US$ 100 juta, yang berarti 8 kali kekayaan (assets)
BDNI sendiri.
Untuk keperluan apa BDNI mencari dana sebanyak itu? "Saya dalam
keadaan sulit. Serba salah kalau itu saya jawab," kata Paulus
kepada Yunus Kasim dari TEMPO yang menemuinya Senin siang itu.
Ketika didesak, dia menolak memberi keterangan lebih jauh.
"Tunggulah 10 hari lagi, kami sedang menyelesaikannya."
Pernyataan pailit? Ia diam, lalu bergegas masuk.
Hatta, pada pertengahan 1978, DirUt BDNI itu bersama
partner-nya, seorang bankir terkemuka Malaysia Datuk Haji
Mohamad Ali S.T. Tan Krlibat dalam suatu usaha untuk membeli
sebuah bank kecil di San Francisco, Redwood Bank. Datuk Tan
sendiri tergolong tokoh bank di Malaysia. Di samping memiliki
beberapa bank swasta di negeri itu, dia juga salah seorang
pemegang konsesi hutan yang terbesar di Sabah, yang diperolehnya
ketika Sabah diperintah oleh Menteri Besar Tun Mustapha Harun
waktu itu.
Syarat Buat Paulus
Tapi ternyata pihak direksi Redwood Bank tak menerima tawaran
ambil oper begitu saja. Mereka mengajukan syarat, agar
Paulus--yang diserahi tugas mengurus
pengambil-operan--menyetorkan uang sejumlah US$ 14,8 juta dalam
rekening yang harus dibuka dengan Redwood Bank itu.
Dari situlah kesulitan dimulai. Uang itu memang disetorkan pada
5 Juli 1978, yang membuat heran Manufacturers Hannover Trust Co.
New York, koresponden BDNI di AS: Wesel BDNI yang ditarik atas
dirinya saja belum mampu dibayar--padahal sudah jatuh waktu--kok
Paulus Wibowo mencoba untuk membeli sebuah bank di AS?
Maka Hannover Trust mendesak agar BDNI segera melunasi
hutang-hutangnya atau dinyatakan bankrut. Wesel dan LC yang
ditarik BDNI sementara itu tak dilayani lagi. Bagi sebuah bank,
tak ada yang lebih serius daripada tak dihormatinya wesel atau
LC yang dikeluarkannya. Maka Paulus pun terpaksa memindahkan
uangnya dari rekeningnya di Redwood Bank, untuk membayar
Manufacturers Hannover Trust sampai duakali, masing-masing US $
6 juta dan US$ 8,2 juta.
Yang menjadi korban dari tingkah BDNI mi ternyata bukan saja
Hannover Trust. Banque Nationale de Paris cabang Hongkong kini
masih berusaha menagih pembayaran dari BDNI sejumlah HK$ 15
juta. Bankers Trust Co. New York kena US$ 1 juta. Beberapa bank
Jepang juga jadi korban hutang BDNI.
Tapi korban paling besar barangkali adalah Chiyu Banking
Corporation cabang Hongkong, suatu bank yang berkantor pusat di
Beijing. Bank ini sejak Nopember 1978 terus mengejar BDNI untuk
membayar weselnya sebanyak US$ 6,15 juta.
Peristiwa yang mirip krisis keuangan Pertamina dan PT HII tempo
hari ini barangkali tak sampai merusak kepercayaan luar negeri
terhadap sistim perbankan Indonesia. Tapi yang jelas skandal ini
sudah cukup menghancurkan reputasi BDNI sendiri, karena para
nasabahnya, terutama para importir pembuka LC sudah tak mau lagi
membuka LC lewat BDNI.
Sesungguhnya BDNI merupakan bank swasta pribumi yang paling
lama, dan memperoleh izin sebagai bank devisa sejak 1950. Bagi
bank swasta di sini izin sebagai bank devisa merupakan jaminan
keuntungan, karena tak semua bank swasta punya hak istimewa
seperti ini. Mungkin salah satu pertimbangannya karena BDNI yang
didirikan di tahun 1945 oleh beberapa pengusaha pejoang di
Medan, tergolong bank republiken.
Dalam perjalanannya bank yang dimiliki 2.000 pemegang saham itu
banyak mengalami kesulitan, terutama manajemen dan keuangan.
Dengan maksud mempertahankan eksistensinya sebagai bank
perjoangan itulah tampil Sri Sultan Hamengkubuwono yang membeli
sebagian besar saham bank itu. Tapi mengingat kedudukannya
kemudian sebagai Wakil Presiden RI, ia diwakili orang
kepercayaannya, Sri Budoyo, sehagai Komisaris Utama BDNI.
Adalah Sri Budoyo, tokoh pariwisata itu, yang kemudian mengajak
masuk Paulus Wibowo. Paulus, dulu Chiang Chie Wei, adalah
Komisaris Utama dari dua perusahaan baja, PT Irosteel Works dan
PT Baja Indonesia Utama, keduanya di Pulo Gadung, Jakarta.
Tadinya dia juga Komisaris Utama dari PT Bank Dagang Rahardja,
yang kemudian ganti nama menjadi PT United City Bank. Banyak
yang menduga uang pinjaman itu mengalir ke dua perusahaan baja
itu.
Yang mengejutkan kalangan perbankan di sini adalah karena justru
peristiwa yang serius itu tak banyak diketahui oleh mereka
sendiri. sekalipun sudah lama diketahui oleh Bank Indonesia.
Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh kepada AWSJ cuma berkata:
"Kami sudah tahu soalnya, kami sudah pelajari masalahnya. "
Paulus Wibowo, yang oleh temantemannya biasa dipanggil Papao
itu, sudah tiga kali diperingatkan oleh BI. Terakhir, sebelum
Rachmat Saleh bertolak ke AS Juli lalu, juga sudah membicarakan
masalahnya dengan Sri Sultan. Tapi jadi pertanyaan kenapa dalam
perkara yang satu ini BI tidak bertindak cepat, hingga
hutang-hutang luar negeri BDNI itu membubung jauh di atas plafon
US$ 2 juta yang dibolehkan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini