Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tragedi sebuah bank republiken

Bank dagang nasional indonesia (bdni) yang didirikan thn'45 & memperoleh izin sebagai bank devisa sejak'50 ternyata mempunyai hutang pada bank-bank di luar negeri membumbung jauh di atas plafon us$ 2 juta.(eb)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEDAN Toyota Crown Delux B2023-ES memasuki gedung Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Pusat, di Jl. Kali Besar Timur, Jakarta Utara. Seorang bertubuh pendek, dengan tahi lalat di pipi kanannya, masih bicara lewat telepon mobilnya. Tapi sesaat kemudian, dia bergegas keluar sembari membawa map, menuju ke dalam bank yang tampak tua itu. Dialah Paulus Wibowo, Dir-Ut BDNI sekitar 3 5 tahun, belakangan ini jadi topik pembicaraan banyak orang. Bank swasta ini, seperti diungkapkan koran Tbe Asian Wall Street Journal baru-baru ini, mengalami krisis keuangan serius yang bisa menyebabkan bankrut. Dan itu timbul akibat hutang-hutang luar negeri yang terjadi selama kepemimpinan Dir-Ut Paulus. Hutang-hutang itu, yang ditarik lewat wesel-wesel kepada korespondennya di luar negeri, menurut koresponden Raphael Pura dari AWSJ, mencapai sekitar US$ 25 juta bahkan pada Suatu saat mencapai US$ 100 juta, yang berarti 8 kali kekayaan (assets) BDNI sendiri. Untuk keperluan apa BDNI mencari dana sebanyak itu? "Saya dalam keadaan sulit. Serba salah kalau itu saya jawab," kata Paulus kepada Yunus Kasim dari TEMPO yang menemuinya Senin siang itu. Ketika didesak, dia menolak memberi keterangan lebih jauh. "Tunggulah 10 hari lagi, kami sedang menyelesaikannya." Pernyataan pailit? Ia diam, lalu bergegas masuk. Hatta, pada pertengahan 1978, DirUt BDNI itu bersama partner-nya, seorang bankir terkemuka Malaysia Datuk Haji Mohamad Ali S.T. Tan Krlibat dalam suatu usaha untuk membeli sebuah bank kecil di San Francisco, Redwood Bank. Datuk Tan sendiri tergolong tokoh bank di Malaysia. Di samping memiliki beberapa bank swasta di negeri itu, dia juga salah seorang pemegang konsesi hutan yang terbesar di Sabah, yang diperolehnya ketika Sabah diperintah oleh Menteri Besar Tun Mustapha Harun waktu itu. Syarat Buat Paulus Tapi ternyata pihak direksi Redwood Bank tak menerima tawaran ambil oper begitu saja. Mereka mengajukan syarat, agar Paulus--yang diserahi tugas mengurus pengambil-operan--menyetorkan uang sejumlah US$ 14,8 juta dalam rekening yang harus dibuka dengan Redwood Bank itu. Dari situlah kesulitan dimulai. Uang itu memang disetorkan pada 5 Juli 1978, yang membuat heran Manufacturers Hannover Trust Co. New York, koresponden BDNI di AS: Wesel BDNI yang ditarik atas dirinya saja belum mampu dibayar--padahal sudah jatuh waktu--kok Paulus Wibowo mencoba untuk membeli sebuah bank di AS? Maka Hannover Trust mendesak agar BDNI segera melunasi hutang-hutangnya atau dinyatakan bankrut. Wesel dan LC yang ditarik BDNI sementara itu tak dilayani lagi. Bagi sebuah bank, tak ada yang lebih serius daripada tak dihormatinya wesel atau LC yang dikeluarkannya. Maka Paulus pun terpaksa memindahkan uangnya dari rekeningnya di Redwood Bank, untuk membayar Manufacturers Hannover Trust sampai duakali, masing-masing US $ 6 juta dan US$ 8,2 juta. Yang menjadi korban dari tingkah BDNI mi ternyata bukan saja Hannover Trust. Banque Nationale de Paris cabang Hongkong kini masih berusaha menagih pembayaran dari BDNI sejumlah HK$ 15 juta. Bankers Trust Co. New York kena US$ 1 juta. Beberapa bank Jepang juga jadi korban hutang BDNI. Tapi korban paling besar barangkali adalah Chiyu Banking Corporation cabang Hongkong, suatu bank yang berkantor pusat di Beijing. Bank ini sejak Nopember 1978 terus mengejar BDNI untuk membayar weselnya sebanyak US$ 6,15 juta. Peristiwa yang mirip krisis keuangan Pertamina dan PT HII tempo hari ini barangkali tak sampai merusak kepercayaan luar negeri terhadap sistim perbankan Indonesia. Tapi yang jelas skandal ini sudah cukup menghancurkan reputasi BDNI sendiri, karena para nasabahnya, terutama para importir pembuka LC sudah tak mau lagi membuka LC lewat BDNI. Sesungguhnya BDNI merupakan bank swasta pribumi yang paling lama, dan memperoleh izin sebagai bank devisa sejak 1950. Bagi bank swasta di sini izin sebagai bank devisa merupakan jaminan keuntungan, karena tak semua bank swasta punya hak istimewa seperti ini. Mungkin salah satu pertimbangannya karena BDNI yang didirikan di tahun 1945 oleh beberapa pengusaha pejoang di Medan, tergolong bank republiken. Dalam perjalanannya bank yang dimiliki 2.000 pemegang saham itu banyak mengalami kesulitan, terutama manajemen dan keuangan. Dengan maksud mempertahankan eksistensinya sebagai bank perjoangan itulah tampil Sri Sultan Hamengkubuwono yang membeli sebagian besar saham bank itu. Tapi mengingat kedudukannya kemudian sebagai Wakil Presiden RI, ia diwakili orang kepercayaannya, Sri Budoyo, sehagai Komisaris Utama BDNI. Adalah Sri Budoyo, tokoh pariwisata itu, yang kemudian mengajak masuk Paulus Wibowo. Paulus, dulu Chiang Chie Wei, adalah Komisaris Utama dari dua perusahaan baja, PT Irosteel Works dan PT Baja Indonesia Utama, keduanya di Pulo Gadung, Jakarta. Tadinya dia juga Komisaris Utama dari PT Bank Dagang Rahardja, yang kemudian ganti nama menjadi PT United City Bank. Banyak yang menduga uang pinjaman itu mengalir ke dua perusahaan baja itu. Yang mengejutkan kalangan perbankan di sini adalah karena justru peristiwa yang serius itu tak banyak diketahui oleh mereka sendiri. sekalipun sudah lama diketahui oleh Bank Indonesia. Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh kepada AWSJ cuma berkata: "Kami sudah tahu soalnya, kami sudah pelajari masalahnya. " Paulus Wibowo, yang oleh temantemannya biasa dipanggil Papao itu, sudah tiga kali diperingatkan oleh BI. Terakhir, sebelum Rachmat Saleh bertolak ke AS Juli lalu, juga sudah membicarakan masalahnya dengan Sri Sultan. Tapi jadi pertanyaan kenapa dalam perkara yang satu ini BI tidak bertindak cepat, hingga hutang-hutang luar negeri BDNI itu membubung jauh di atas plafon US$ 2 juta yang dibolehkan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus