Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Transaksi Tetap Tinggi,Tapi...

Harga sejumlah saham di Bursa Efek Jakarta jatuh di bawah harga perdana. Tapi bursa belum lesu. Transaksi masih tinggi. Investor asing masih menunggu. Ada beberapa cara perhitungan nilai harga saham.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA pasar modal tampaknya telah berubah. Pada bulan Agustus-September lalu, investor bagaikan sapi jantan yang beringas. Mereka berlomba mencari saham-saham baru. Tapi, suasana bullish market itu kini memudar. Investor berlomba-lomba melemparkan saham, kendati harga terus menurun. Pasar pun menjadi bear market, ungkapan untuk cepat-cepat melepas saham, sebelum harganya terlalu jatuh. Namun, tak berarti pasar sepi. Nilai transaksi di Bursa Efek Jakarta (BEJ), Senin lalu, masih berkisar di atas Rp 12 milyar. Ambil contoh, harga saham PT Multipolar di pasar perdana yang Rp 10.500. Jika orang membeli satu lot (100 lembar) diperlukan modal Rp 1.050.000. Begitu saham itu diperdagangkan di bursa, harganya ternyata hanya Rp 10.500. Jika orang menjual satu lot, setelah dipotong komisi 1% untuk pialang, dan meterai Rp 1.000, ia hanya memperoleh Rp 1.038.500. Sementara ia rugi Rp 11.500. Harga Multipolar sempat turun menjadi Rp 8.000. Jika orang tadi membeli kembali satu lot, ia harus mengeluarkan modal Rp 800.000. Ditambah komisi untuk pialang 1% (Rp 8.000) dan meterai Rp 1.000, ia harus mengeluarkan Rp 889.000. Dalam rangkaian transaksi tadi, investor tadi masih beruntung Rp 149.500. Hanya saja, modalnya yang Rp 889.000 tersangkut pada saham. Tapi, cara di atas -- jual saham sebelum jatuh dan beli pada waktu harga sudah turun -- itulah yang harus ditempuh para investor belakangan ini. Perusahaan-perusahaan, yang memperoleh izin Bapepam untuk go public Agustus-Oktober lalu, agaknya, telah menjual saham dengan harga terlalu tinggi. Akibatnya, begitu saham itu mulai dicatatkan di papan transaksi bursa, harganya langsung berguguran. Senin pekan ini, saham-saham Pakuwon Jati, Mayatex, Lippo Pacific Finance, Lippo Life Insurance, Gajah Surya, Great River, Bayu Buana, Multipolar, dan Berlina sudah diperdagangkan di bawah harga perdana. Ada yang berpendapat bahwa turunnya harga saham hanya karena sentimen pasar. Sebagian ada benarnya. Tapi, pasar modal bukanlah tempat berjudi. Investor yang sehat tentu akan berhitung apakah investasinya dalam setahun akan lebih tinggi ketimbang bunga deposito perbankan. Di bursa Wall Street, New York, investasi pada saham dirasa aman jika PER-nya tak lebih tinggi dari suku bunga deposito setahun. Buktinya telah jelas tampak juga di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada saham-saham, seperti ABDA, Ficorinvest, dan United Tractors. Saham-saham itu bisa memberikan capital gain yang tinggi di pasar sekunder, karena memakai PER sekitar 10-11 x, masih jauh di bawah angka suku bunga deposito yang sekitar 17% per tahun. Sedangkan PER untuk Pakuwon ternyata 90 x. Kepercayaan investor kepada PT ASEAM, belakangan juga meluntur. Saham yang dijamin emisinya antara lain PT Mayatexdian, yang dijual di pasar perdana Rp 11.000. PER-nya untuk tahun 1989 ini hanya sekitar 17 x, tapi Senin pekan ini harga saham itu tak urung telah jatuh Rp 8.000. "Keadaan ekonomi sekarang janganlah disamakan dengan keadaan pada 1982," kata eksekutif dari ASEAM, Daisy R. Dinata. Pada 1982, Indonesia memang terkena resesi. Sedangkan suku bunga deposito masih sekitar 9% per tahun. Tak mengherankan jika saham-saham yang diemisi sebelum paket deregulasi perbankan 1983 mendapatkan agio saham yang sangat tipis. Semen Cibinong, misalnya, hanya mendapatkan agio 164%, Merck 90%. Unilever Indonesia dan Pfizer masing-masing mendapat agio sekitar 45%. Tapi kini, agio untuk PT Unggul Indah Corporation sudah sampai 1.600%. "Harga saham selalu ditentukan underwriter dengan melihat investor," kata Supari, Dirut PT Inter Pacific Finance Corporation. Namun, Supari berpendapat bahwa dalam suasana bursa yang bearish seperti sekarang, sistem penilaian harga saham emisi harus diubah. Di masa bullish Agustus-September lalu, harga ditentukan dengan PER oriented. "Kini, lebih tepat didekati dari segi yield expectation," kata Supari. Dalam hal ini, dividen harus memberikan hasil minimal sama dengan inflasi yang diperkirakan sekitar 7,5%. Untuk itu, ada beberapa cara perhitungan. Satu contoh, seperti yang dikemukakan Supari kepada TEMPO. "Misalnya, perusahaan A pada tahun 1990 akan membagi dividen Rp 250. Tahun 1991 akan membagi dividen Rp 275, tahun 1992 dividen Rp 400, dan tahun 1993 dividen Rp 500. Jika setiap tahun dividen itu harus sekitar 7,5% dari nilai saham, harga saham yang wajar adalah sekitar Rp 4.750 per lembar. Perhitungannya adalah setiap dividen tadi dikalikan 100/7,5. Hasilnya dijumlahkan, lalu dibagi 4. Ketua Bapepam Marzuki Usman tak setuju jika harga saham sekarang dikatakan ketinggian. Ia juga membantah bahwa perusahan-perusahaan underwriter telah menangguk di air keruh. Kalau harganya wajar, pasti ditabrak investor. Buktinya: Transaksi saham UIC yang tinggi sejak pekan lalu. "Itu ulah investor lokal. Investor asing masih menunggu, kok," kata Direktur Eksekutif PT Multicor M. Hasan. Sedangkan investor kecil, dengan modal sekitar Rp 5 juta, kini lehih tertarik menanamkan uang di bank. Maklum, simpanan di bank di bawah Rp 5 juta kini bebas pajak, orang bisa tidur tenang, bahkan mungkin bisa ketiban rezeki nomplok dari undian taburan, seperti Tahapan atau Kesra. Max Wangkar, Yopie Hidayat, dan Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus