TERUS-MENERUS menginjak kopling membuat Yoseph -- sopir President Taxi di Jakarta -- penat. Di siang yang terik itu, taksi yang dikemudikannya terpaksa merambat 10 km per jam di luar pagar jalan tol Cawang-Semanggi. Benar, ia melata di jalur lambat. Tiba-tiba dari mulut Yoseph mengalun lagu lama, "Sapa suruh datang Jakarta... Sapa suruh datang Jakarta.... Sendiri suka, sendiri rasa...." Lagu yang populer di kalangan perantau Minahasa itu kini gampang menerawang di benak para pemakai jalan Tomang-Cawang. Kemacetan di kanan dan kiri tol yang menghubungkan bagian barat dan timur Jakarta itu mulai terasa sejak Jumat pekan lalu, ketika tarif tol jauh dekat Rp 1.500 diberlakukan. Tarif integratif Tomang-Cawang-Rawamangun itu membuat sebagian besar pemakai jalan menghindari jalan tol. Kenaikan dari Rp 500 untuk jarak 6 km pada ruas Semanggi-Cawang menjadi Rp 1.500 untuk jarak Tomang-Rawamangun, bagi banyak orang, dianggap terlalu mahal. Para sopir dan kondektur bis 407 jurusan Cililitan-Lapangan Banteng (lewat Jalan H.R. Rasuna Said) terpaksa lebih menghemat uang makannya, karena dipakai nombok beli karcis tol. "Daripada terjebak macet satu setengah jam, lebih baik lewat tol. Kalau tidak, kami tak bisa nguber setoran," kata Sumidjan, sopir PPD 407. Ketika tol Cawang-Semanggi masih Rp 500, Sumidjan 6 sampai 7 kali melintas jalan tol. Sekarang, ia hanya mampu lewat tol dua atau tiga kali sehari. Yang juga pusing tujuh keliling adalah para pengemudi bis Patas Mayasari Bakti P-16 Cililitan-Tanah Abang. Hino -- ini nama sopir -- mengakui beratnya tarif tol yang baru itu. Sementara itu, karyawan kantor yang tinggal di sisi timur dan barat Jakarta kini harus pandai-pandai mengatur duit dan waktu. Soalnya, lampu lalu lintas alias traffic lights di perempatan Pancoran, Kuningan, dan Bundaran Slipi dibiarkan terlalu lama menyala merah atau hijau. Ini membuat orang sebal. "Apa memang sengaja disetel begitu?" pikir Budiman. Ternyata, betul. "Kami terpaksa memperlama lampu hijau untuk lalu lintas dari arah Tomang yang sesak di pagi hari," ujar seorang polisi lalu lintas yang mengawasi Bundaran Slipi. Pelbagai komentar dan reaksi atas kenaikan tarif jalan tol di dalam kota Jakarta terus bermunculan di koran. Banyak yang meminta supaya tarif itu ditinjau kembali. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Ny. Zumrotin K.S. mengingatkan bahwa sebagian biaya pembangunan jalan tol dihimpun dari dana masyarakat berupa obligasi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kalau kepentingan masyarakat luas diperhatikan. Anggota Komisi V DPR pun sudah mengimbau supaya tarif itu proporsional. Yang menempuh ruas tol lebih panjang bayar lebih mahal, begitu pula sebaliknya. Dirut PT Jasa Marga, Ir. Soehartono, kini dengan cermat mengamati perilaku pemakai jalan tol. "Dengan tarif Rp 1.500, kami sadar volume lalu lintas jalan tol Tomang-Cawang-Rawamangun akan berkurang," ujarnya. Sebelumnya, dengan tarif Rp 500, ruas Cawang-Semanggi dilewati 70.000 kendaraan tiap hari. Sedangkan ruas Semanggi-Tomang pada masa percobaan (tanpa dipungut tol) dilalui 50 ribu kendaraan per hari. Soehartono menjelaskan bahwa jalan tol Tomang-Cawang-Rawamangun berfungsi untuk merestrukturisasi lalu lintas. Maksudnya, jalan tol memang sengaja dibuat untuk melayani perjalanan minimal 10 km. Kalau dibuat dengan banyak pintu masuk, tentu akan mengganggu kelancaran pejalan jauh. Tarif Rp 1.500 untuk jarak 15 km antara Tomang dan Cawang, menurut Soehartono, masih lebih murah ketimbang jalan tol Cengkareng (Rp 3.000 untuk jarak 12 km). Yang pertama rata-rata hanya Rp 150 per km, sedangkan yang kedua Rp 250/km. Tapi ia mengingatkan bahwa tak mudah memperbandingkan tarif tol. "Di Surabaya tarif tol untuk jarak 18 km kan cuma Rp 500," ujarnya. Jadi, selain soal perhitungan ekonomis, masih ada faktor nonteknis yang ikut dipertimbangkan. Tarif tol jauh dekat Rp 1.500 ini ditentukan berdasar Keputusan Presiden No. 50/1989. Tak jelas, apakah Maret tahun depan -- bila ruas Cawang-Priok sudah dioperasikan sepenuhnya -- tarif akan berubah. "Kita pikirkan tahun depanlah. Saya tidak bisa mendahului memberi keterangan. Ini bukan sekadar keputusan teknis," kata Soehartono, sembari bersiap-siap menghadiri rapat umum pemegang saham PT Jasa Marga, awal pekan ini. Dari hasil pungutan tol, PT Jasa Marga mesti berbagi pendapatan dengan mitranya, PT Citra Marga Nusaphala Persada, perusahaan patungan swasta nasional yang dipimpin Ny. Siti Hardiyanti Indra Rukmana, yang lebih dikenal dengan nama akrab Mbak Tutut. Nusaphala yang membangun ruas Cawang-Rawamangun sepanjang 4,3 km, yang terus bersambung ke Tanjungpriok. Namun, sampai awal pekan ini belum ada angka pasti mengenai pembagian pendapatan antara kedua pihak itu. Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan sebagai pemegang saham dan Menteri Pekerjaan Umum sebagai kuasa pemegang saham BUMN sedang disiapkan. Bagaimana selentingan yang menyebut bagi hasil itu 63% untuk Nusaphala, 37% buat Jasa Marga? Soehartono setengah bergumam menjawab, "Wong sedang diusulkan ke Menteri Keuangan, kok..." Ny. Hardiyanti Rukmana yang tampak sibuk di markas besar PT Citra Lamtoro Gung di gedung BBD, belum bisa dimintai penjelasannya soal bagi hasil itu. Para komisaris PT Jasa Marga demikian pula. Tapi Soehartono memberi isyarat menarik. "Kalau misalnya keputusannya lain dari usulan, ya kita ganti," kata bekas pejabat Bina Marga ini. Sebelum ada SKB pembagian dilakukan berdasar memorandum of understanding. Bagi hasilnya? Ya, ditunggu tahun depanlah. Bachtiar Abdullah, Muchlis H. Jahja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini