Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah dan korporasi di Singapura bahu-membahu membiayai ekonomi hijau.
Transisi energi di Singapura bisa berjalan dengan dana murah.
Indonesia bergantung pada pembiayaan hijau JETP dan ETM.
BAGI pekerja Sembcorp Industries Ltd, grey heron, burung sejenis bangau berwarna abu-abu, menjadi perhatian khusus saat mereka membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Tengeh, Singapura. Sebab, Badan Pengelola Air Singapura atau Public Utilities Board National Water Agency (PUB) sudah mewanti-wanti Sembcorp agar tak mengganggu habitat penghuni danau tatkala PLTS ini beroperasi. "Bukannya terganggu, burung-burung itu malah sering ke sini untuk membuang kotoran," kata Kepala Keberlanjutan Sembcorp Jen Tan saat Tempo mengunjungi Waduk Tengeh pada pertengahan Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain grey heron, di Waduk Tengeh ada beberapa spesies elang yang harus dijaga. Karena itu, PUB meminta Sembcorp tidak menebang pohon dan tidak memasang panel surya terapung di seluruh permukaan waduk agar tak mengganggu burung serta ekosistem di kawasan itu. Sembcorp hanya boleh menggunakan sepertiga permukaan untuk menempatkan panel surya terapung di waduk yang bersebelahan dengan Selat Johor, perbatasan Singapura-Malaysia, itu. Dengan cara ini, perusahaan energi terbesar di Asia Tenggara itu menjalankan bisnis dengan memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sembcorp, yang mengelola portofolio energi hingga 18,5 gigawatt, memang tengah gencar membangun pembangkit listrik dari sumber-sumber terbarukan, seperti tenaga surya. Anak perusahaan Temasek Holdings ini sudah mengoperasikan pembangkit listrik energi terbarukan berkapasitas 11 gigawatt, di antaranya memakai sistem baterai. PLTS terapung menjadi salah satu proyek unggulan perusahaan ini, termasuk PLTS terapung di Waduk Tengeh yang memiliki kapasitas 60 megawatt-peak (MWp).
PLTS terapung Waduk Tengeh dirancang sejak 2011 oleh PUB sebagai pengelola waduk sekaligus calon pembeli listrik. Sembcorp terpilih sebagai pemenang tender pembangunan PLTS pada Februari 2020. Proyek ini mulai berjalan enam bulan sesudahnya atau pada Agustus, ketika Singapura dan semua negara di Asia Tenggara menghadapi pandemi Covid-19.
Di tengah kondisi itu, Sembcorp hanya memerlukan waktu 10 bulan untuk menyelesaikan pembangunan Waduk Tengeh dan mulai mengoperasikannya pada Juli 2021. Di Indonesia, perusahaan ini akan membangun PLTS di Batam, Kepulauan Riau, yang listriknya bakal dijual ke Singapura.
•••
PADA pertengahan Juni lalu, Asia Research and Engagement (ARE), lembaga pemikir yang berbasis di Singapura, mengajak beberapa jurnalis Asia, termasuk Tempo, menengok PLTS Waduk Tengeh yang diklaim sebagai proyek ramah lingkungan dan memenuhi aspek berkelanjutan di sektor energi.
Selain di sektor energi, banyak perusahaan Singapura yang sudah menjalankan bisnis dengan prinsip keberlanjutan. Salah satunya Keppel Land, perusahaan properti yang juga dimiliki Temasek. Keppel memperluas investasi properti dengan panduan bangunan ramah lingkungan.
Kepala Keberlanjutan Keppel Land Tan Szue Hann menyatakan semua proyek properti komersial terbaru di dalam dan luar negeri telah mendapat sertifikat hijau, antara lain Building Construction Authority (BCA) Mark Gold Plus. Indonesia Financial Centre, properti komersial Keppel Land di Jakarta, adalah salah satu proyek yang mendapat sertifikat hijau ini.
Tan mengakui pengembangan properti ramah lingkungan lebih mahal. Ada tambahan biaya rancang bangun, antara lain untuk pembuatan jalur bagi udara segar dan penggunaan peralatan hemat energi. Namun pengguna properti mau membayarnya karena yakin akan menikmati biaya perawatan dan ongkos energi yang lebih murah.
Melalui proyek-proyek itu, ARE ingin menunjukkan bagaimana Singapura menjalankan kegiatan "ekonomi hijau" di tengah keterbatasan sumber daya alam. Sebagai contoh, untuk memenuhi kebutuhan energi bersih, pemerintah Singapura berkolaborasi dengan pihak swasta dalam penyediaan pembiayaan murah. Ini pula yang sedang berlangsung di Indonesia melalui berbagai skema, seperti Mekanisme Transisi Energi atau Energy Transition Mechanism (ETM) dan Kemitraan Transisi Energi atau Just Energy Transition Partnership (JETP).
Perkembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya apung Cirata, 24 Juni 2023. Dok.PLN
Saat ini Singapura mati-matian menjalankan transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber terbarukan seperti tenaga surya. Untuk mengalihkan penggunaan gas alam yang mencapai 95 persen dari sumber energi mereka, pemerintah dan korporasi di Singapura gencar memasang panel surya di atap gedung milik negara, properti komersial, perumahan, hingga waduk-waduk.
Beruntung, Singapura menganut sistem pasar listrik liberal. Operator di negara itu nyaris tak punya kendala di sisi pasar dan pendanaan ketika berinvestasi di sektor energi terbarukan. Sedangkan di Indonesia, setiap penyediaan sumber energi listrik yang akan masuk jaringan harus tercantum dalam rencana umum pengadaan tenaga listrik yang disusun PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Harga jual listrik pun harus ditentukan berdasarkan kesepakatan dengan PLN.
Singapura membebaskan operator pembangkit listrik menjual energi yang mereka hasilkan kepada pengguna atau pemilik jaringan dengan tarif tertentu. Pemerintah hanya mengatur sistem dan menyediakan jaringan listrik yang bisa dipakai bersama. Itu sebabnya, dalam proyek PLTS Waduk Tengeh, PUB sebagai pengelola waduk bisa langsung membuka tender proyek yang hasil setrumnya mereka pakai sendiri. PUB menggunakan listrik dari PLTS Waduk Tengeh untuk menggerakkan lima instalasi pengolahan air.
Proyek PLTS Waduk Tengeh menelan biaya Sin$ 120,5 juta atau sekitar Rp 1,339 triliun dengan usia proyek 25 tahun, sesuai dengan masa pakai panel surya. Bank terbesar di Singapura, DBS Bank, menggelontorkan pinjaman Sin$ 40 juta untuk memodali proyek ini.
PUB tak merinci harga listrik dari Waduk Tengeh. Namun rerata tarif listrik di Singapura saat ini berkisar Sin$ 3-4 sen per kilowatt-jam (kWh) atau US$ 2-3 sen. Jika diperbandingkan, angka ini dua kali lebih murah dari harga listrik PLTS Waduk Cirata, Jawa Barat, yang sebesar US$ 5,8 sen per kWh. Sebagai catatan, PLTS Cirata yang sedang dibangun PLN dan perusahaan Uni Emirat Arab, Masdar, memiliki kapasitas 145 MWp, lebih besar dari kapasitas PLTS Waduk Tengeh.
Perbedaan tarif ini dipicu nilai investasi yang juga dipengaruhi teknologi dan kondisi waduk. Direktur Operasi PJB Investment Wirawan mengatakan biaya proyek PLTS Cirata mencapai US$ 143 juta atau Rp 2,154 triliun. PJB Investment adalah cucu usaha PLN yang mengelola PLTS Cirata bersama Masdar. Selain itu, kedalaman Waduk Tengeh 6-8 meter, sementara Waduk Cirata 80 meter. Kedalaman ini berpengaruh pada biaya pembuatan jangkar panel surya terapung. "Kami berupaya menjaga agar tidak terjadi pembengkakan biaya," kata Wirawan pada Jumat, 30 Juni lalu.
Karyawan Sembcorp Industries Ltd menunjukkan rencana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya terapung di Waduk Tengeh, Singapura. Dok. ARE
Kemajuan pembangunan PLTS Cirata yang digarap sejak Agustus 2021 sampai saat ini baru 10 persen dari kapasitas yang direncanakan. Hingga kini, kapasitas PLTS di Waduk Cirata baru 15 MWp. Namun Wirawan optmistis proyek ini bakal selesai pada Oktober mendatang. "Saat perayaan Hari Listrik Nasional 27 Oktober nanti, inaugurasi PLTS Cirata bisa digelar," tuturnya.
Bagi Indonesia dan Singapura, baik PLTS Cirata maupun PLTS Waduk Tengeh menjadi contoh transisi energi yang mulai berjalan meski skema pendanaannya berbeda. Proyek Waduk Tengeh dibiayai DBS selaku bank lokal yang bunganya rendah, sementara PLTS Cirata didanai sindikasi lembaga keuangan global, yaitu Sumitomo Mitsui Banking Corporation, Societe Generale, dan Standard Chartered. Bank-bank asing ini membiayai 80 persen dari nilai proyek, sisanya ditutup oleh dana dari PJB Investment dan Masdar. Karena itu pula bunga pinjaman proyek ini memakai skema komersial yang tinggi.
•••
JANJI manis pendanaan murah untuk proyek hijau, termasuk transisi energi, di Indonesia sejatinya sudah ada melalui skema ETM dan JETP. Di Indonesia, pendanaan dari negara-negara G7 serta sejumlah lembaga keuangan ini disepakati pada November tahun lalu dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20. Namun dana ini tak tersedia untuk proyek yang berjalan sebelum dua skema itu berlaku, termasuk PLTS Cirata. "PLTS Cirata sudah berjalan sebelum ada JETP," kata Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN Hartanto Wibowo pada Jumat, 30 Juni lalu.
Selain ada masalah waktu, mekanisme pendanaan ini rumit. Menurut Kepala Strategi Investasi Berkelanjutan Fidelity International Gabriel Wilson-Otto, ETM di Indonesia dan Filipina—yang disponsori Bank Pembangunan Asia (ADB)—adalah kolaborasi yang baik antara pemerintah lokal dan komunitas global untuk mendorong transisi energi. "Namun, masalahnya, banyak orang di pemerintahan dan entitas yang harus diajak bicara," ucapnya dalam diskusi yang dihelat oleh ARE di Singapura pada Selasa, 20 Juni lalu.
Kepala Strategi Investasi Berkelanjutan Fidelity International Gabriel Wilson-Otto. Foto: ARE
Wilson-Otto mengatakan definisi transisi energi juga menjadi persoalan. Dia memberi contoh, Indonesia dan negara-negara berkembang lain yang masih memakai energi fosil menganggap penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara adalah bagian dari transisi energi. Sedangkan negara maju tempat para investor besar bermukim menilai penyudahan PLTU adalah bentuk pembiayaan terhadap energi fosil penghasil emisi alias energi kotor.
Sempat muncul jalan tengah, pembiayaan untuk menghentikan operasi PLTU harus dibarengi investasi baru pada pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan. Dengan cara ini, investasi untuk menghentikan operasi PLTU bisa masuk kategori transisi energi. Namun belum ada kesepakatan antara investor dan otoritas global sehingga pembiayaan transisi energi lewat skema ETM dan JETP tersendat.
Di Singapura, kondisi ini tak terjadi karena dana untuk transisi energi mencukupi. Tapi lain hal dengan Indonesia yang bergantung pada skema seperti ETM dan JETP. Saat ini baru ada satu proyek yang masuk skema ETM, yaitu penghentian operasi PLTU Cirebon 1, Jawa Barat. Di sisi lain, belum ada satu pun proyek transisi energi yang masuk skema JETP. Padahal dana hibah dan pinjaman yang dijanjikan dalam skema ini terbilang fantastis, yaitu US$ 20 miliar atau Rp 310 triliun.
Pekan lalu, angin segar realisasi dana JETP mulai berembus. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menyatakan sudah ada kepastian tentang pencairan dana hibah US$ 320 juta atau sekitar Rp 4,88 triliun yang bisa dipakai untuk proyek transisi energi. Namun sebagian besar dana JETP masuk dalam bentuk pinjaman komersial. "Nilainya sekitar US$ 10 miliar," kata Dadan.
Pemerintah telah membentuk Sekretariat JETP yang sedang menyusun rencana investasi komprehensif atau comprehensive investment plan (CIP). Dokumen CIP yang akan dirilis pada Agustus mendatang antara lain berisi daftar PLTU yang bakal menjalani program penghentian operasi serta sejumlah proyek energi bersih.
Dalam diskusi kebijakan rencana investasi komprehensif JETP pada Kamis, 15 Juni lalu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyatakan sudah menyiapkan 522 proyek energi bersih dengan kapasitas 15,1 gigawatt sampai 2030. Setelah masuk skema JETP, Darmawan mengatakan, PLN berada di jalur yang tepat untuk menjalankan transisi energi sekaligus menjaga stabilitas keuangan perseroan. "Kami ingin transisi energi berjalan secara berkelanjutan," ucapnya.
Dengan cara ini pula PLN berharap bisa mendapatkan dana murah, seperti yang diperoleh Sembcorp di Singapura.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Asa Dana Murah untuk Proyek Hijau"