Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank kian gencar menerbitkan instrumen investasi ramah lingkungan.
OJK dan BEI menerbitkan regulasi untuk menerapkan prinsip ESG.
Taksonomi hijau OJK dianggap masih bermasalah.
BANK Mandiri kian gencar mengeluarkan produk keuangan untuk mendanai proyek ramah lingkungan. Pada semester pertama tahun ini saja, bank pelat merah itu merilis dua surat utang "hijau" sekaligus. Pada pertengahan April lalu, Bank Mandiri mencatatkan obligasi berkelanjutan atau sustainability bond senilai US$ 300 juta (sekitar Rp 4,49 triliun) di Bursa Efek Singapura atau Singapore Exchange (SGX).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penerbitan obligasi hijau Bank Mandiri di Singapura diikuti penawaran umum berkelanjutan Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan Tahap I 2023 dengan target perolehan dana Rp 5 triliun. Bank Mandiri akan mencatatkan green bond ini di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 5 Juli mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Alexandra Askandar, pada periode penawaran awal atau bookbuilding 23 Mei-4 Juni 2023, jumlah peminat obligasi hijau ini membeludak. Nilai penawaran yang masuk mencapai Rp 18,7 triliun, kelebihan permintaan (oversubscribed) 3,74 kali. “Ini bukti bahwa minat investor pada produk keuangan berkelanjutan makin tinggi,” katanya pada Jumat, 23 Juni lalu.
Penyataan Alexandra dibenarkan oleh pengamat pasar modal dan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, peminat instrumen investasi berwawasan lingkungan makin banyak karena investor berkepentingan menjaga nama baik mereka. Dengan kata lain, investor berupaya dianggap memenuhi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam kegiatan penanaman modalnya.
Bhima mengatakan investor tertarik pada instrumen investasi dengan rating ESG tinggi demi meraih pendanaan dari lembaga keuangan yang mensyaratkan kegiatan keberlanjutan (sustainability). Tapi ada juga pemilik modal yang membeli green bond untuk kepentingan susunan portofolio semata. Adapun keuntungan yang diperoleh penerbit green bond, menurut Bhima, adalah bunga yang lebih rendah daripada bunga pasar. “Cost of fund green bond bisa jauh lebih murah,” tuturnya pada Rabu, 28 Juni lalu. Bhima menyebutkan beberapa studi menunjukkan risiko gagal bayar green bond jauh lebih rendah ketimbang obligasi biasa.
Otoritas Jasa Keuangan dan BEI pun berupaya mendorong penerapan prinsip ekonomi hijau atau keuangan berkelanjutan. OJK menyusun peta jalan keuangan berkelanjutan yang menjadi bagian dari Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia. Ada pula Taksonomi ASEAN untuk Keuangan Berkelanjutan Versi 2 yang memuat sektor industri berkategori hijau, kuning, dan merah sebagai indikator risiko ramah lingkungan hingga yang berpotensi membahayakan lingkungan.
Di sektor pasar modal, merujuk pada peta jalan OJK, peningkatan pendanaan dapat diupayakan dengan menyusun indeks saham berbasis lingkungan hidup (green index) serta daftar perusahaan go public yang ramah lingkungan hidup (green list). Indeks saham ramah lingkungan akan menaikkan reputasi perusahaan sehingga pendanaan lebih mudah diperoleh.
Saat ini, dari 42 indeks saham di BEI, ada lima yang berkaitan dengan prinsip ramah lingkungan atau ESG. Lima indeks itu adalah Indeks Saham Sustainable and Responsible Investment (SRI)-KEHATI, IDX ESG Leaders, ESG Sector Leaders IDX KEHATI, ESG Quality 45 IDX KEHATI, dan IDX LQ45 Low Carbon Leaders.
Sebagai contoh, SRI-KEHATI yang diluncurkan pada Juni 2009 adalah hasil kerja sama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Adapun indeks peduli perubahan iklim—Indeks IDX LQ45 Low Carbon Leaders—dirilis dalam rangkaian acara B20 Side Events di Bali pada November 2022. Indeks-indeks ini memuat nama emiten atau perusahaan yang mengutamakan prinsip berkelanjutan, tata kelola yang baik, serta kepedulian terhadap lingkungan.
Berdasarkan catatan BEI, semua indeks "hijau" tersebut cenderung bergerak positif dibanding indeks acuan utama, yaitu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan indeks unggulan LQ45. Pada 15 Mei lalu, misalnya, secara year to date, IHSG turun 2,03 persen dan indeks LQ45 terkoreksi 0,23 persen. Sebaliknya, Indeks SRI-KEHATI naik 2,32 persen, IDX ESG Leaders melaju 0,75 persen, ESG Sector Leaders IDX KEHATI bertumbuh 0,56 persen, ESG Quality 45 IDX KEHATI menguat 1,56 persen, dan IDX LQ45 Low Carbon Leaders meningkat 2,01 persen.
Di luar kelima indeks yang sudah ada itu, BEI menyiapkan indeks saham syariah berbasis ESG. Kepala Divisi Pasar Modal Syariah BEI Irwan Abdalloh mengatakan telah merampungkan kajian mengenai green sharia index tersebut. Tahap berikutnya adalah mengkaji cara mengukur valuasi peringkat lingkungan. BEI berkolaborasi dengan Sustainalytics untuk menyediakan nilai ESG bagi perusahaan tercatat. Otoritas bursa juga membuat panduan penerbitan laporan keberlanjutan tahunan serta penyusunan rencana aksi keuangan keberlanjutan.
Di samping penerbitan indeks, ada regulasi yang memberi insentif atas penerbitan instrumen investasi yang berbasis prinsip berkelanjutan. Salah satunya berupa diskon tarif biaya pencatatan tahunan untuk penerbitan green bond. BEI meluncurkan aneka kebijakan itu setelah bergabung dengan Sustainable Stock Exchanges (SSE) pada April 2019. SSE merupakan wadah bagi bursa efek global untuk mendorong transparansi perusahaan atas aktivitas yang berkontribusi terhadap penyelesaian masalah ESG.
Pada Juni 2021, BEI juga bergabung dengan Task Force on Climate-related Financial Disclosures Supporters bersama SGX Singapura. Pada Desember 2021, SGX merilis regulasi yang mewajibkan emiten mengungkap informasi tentang emisi gas rumah kaca absolut, konsumsi energi dan air, serta limbah dalam laporan keberlanjutan perusahaan. Aturan baru ini berlaku untuk laporan keuangan 2022, yang terbit pada 2023.
Pada tahap awal, SGX mewajibkan pelaporan ini kepada emiten sektor tertentu, seperti industri keuangan, pertanian, makanan, hasil hutan, dan energi. Pada tahap berikutnya, kewajiban berlaku bagi sektor material, bangunan, dan transportasi mulai 2024. SGX mensyaratkan semua direktur perusahaan di bursa efek menjalani pelatihan tentang ESG.
SGX juga bekerja sama dengan Morgan Stanley Capital International membuat indeks aksi iklim (climate action index). Instrumen ini dinilai sangat relevan untuk pembiayaan transisi. Climate action index didesain untuk membantu investor mendekarbonisasi portofolionya melalui pengurangan emisi yang dilakukan emiten dari berbagai sektor.
Namun berbagai upaya mewujudkan ekonomi hijau, menurut Bhima Yudhistira, masih mengandung celah. Dia mengkritik Indeks SRI-KEHATI yang masih memasukkan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam dan perusahaan semen yang ia anggap menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan.
Selain itu, Bhima menambahkan, taksonomi hijau yang diterbitkan OJK masih bermasalah karena memberi label "kuning" pada industri batu bara dan turunannya. Padahal label itu seharusnya disematkan pada sektor bisnis yang bertransisi menuju kegiatan ramah lingkungan. “Pelabelan di taksonomi hijau kontradiktif dengan green bond,” ujarnya. Menurut Bhima, selama OJK tidak merevisi taksonomi hijau, bank tetap leluasa menyalurkan pembiayaan ke sektor ekstraktif, seperti pertambangan, yang buruk bagi lingkungan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Misi Pasar Keuangan Ramah Lingkungan "