Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Pandjaitan ingin impor dalam pengadaan barang dan jasa dikurangi.
Pengadaan laptop di dalam negeri menjadi awal mencegah barang impor.
Ekonom mengingatkan pemerintah agar tidak membuka keran impor dan memicu deindustrialisasi prematur.
KETUA Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan telah mengutus anak buahnya untuk bertemu dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) guna memetakan permasalahan belanja pemerintah dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang masih rendah. Hal ini disampaikan Sekretaris Eksekutif DEN Septian Hario Seto kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seto menceritakan bagaimana perhatian Luhut terhadap besarnya impor ini, bahkan sejak masih menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Salah satu hal yang mengusik Luhut adalah soal pengadaan impor barang dan jasa pemerintah tertinggi yang masih didominasi barang elektronik, yang meliputi laptop, tablet atau telepon seluler, serta alat kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, kata Seto, Luhut melalui DEN berencana melakukan pengkajian dan analisis, termasuk mencari investor di bidang elektronik, untuk mendukung pembuatan laptop di dalam negeri. “Kami lihat dari laptop dulu. Targetnya bisa menumbuhkan industri dalam negeri,” ujarnya.
Dari pemikiran itu, kemudian Seto diutus untuk berkoordinasi dengan LKPP guna mengelompokkan barang impor dan menggantinya dengan produk yang memiliki TKDN tinggi. “Misalnya 60 persen (TKDN), 40 persen (impor) apa? Kami cari industri dalam negeri,” kata Seto saat ditemui di kawasan Mega Kuningan, Jakarta.
Adapun hingga November 2024, realisasi produk dalam negeri baru 64,53 persen atau Rp 523,43 triliun dari rencana Rp 811,09 triliun. Padahal pemerintahan Presiden Joko Widodo pernah menargetkan produk dalam negeri (PDN) dalam pengadaan barang/jasa bisa mencapai 95 persen.
Direktur Perencanaan Transformasi, Pemantauan, dan Evaluasi Pengadaan LKPP Fadli Arif mengatakan institusinya bersama DEN memang ingin mengembangkan industri dalam negeri untuk mensubstitusi impor. Dia menyebutkan target pertumbuhan ekonomi 8 persen mesti didukung dengan usaha baru dan perbaikan cara belanja pemerintah.
“Harus ada usaha baru, mengurangi impor,” ucapnya kepada Tempo saat ditemui di kantornya, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 14 November 2024.
Dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) Impor 2024 yang dicatat LKPP, sektor elektronik atau teknologi dan alat kesehatan masih besar. Rencana belanja di Kementerian Pertahanan, misalnya, mencatatkan RUP impor sebesar Rp 14,79 triliun, Kepolisian RI Rp 17,05 triliun, Kementerian Komunikasi dan Informatika Rp 2,47 triliun, serta Kementerian Kesehatan Rp 7,03 triliun.
Hingga Oktober 2024, LKPP melaporkan Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa berkontribusi terhadap capaian penggunaan PDN sebesar Rp 400,36 triliun atau 87,01 persen. Sementara itu, keterlibatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam PDN sebesar Rp 217,58 triliun atau 83,5 persen.
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Aturan ini mewajibkan pemerintah mengalokasikan minimal 40 persen anggaran belanja barang serta jasa usaha mikro, kecil, dan koperasi. Selain itu, regulasi ini bertujuan meningkatkan penggunaan produk dan peran usaha dalam negeri.
Sebelum itu, ada pula Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Regulasi ini mengatur kewajiban menggunakan produk dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa. Karena itu, kemudian muncul program Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN).
Namun Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad mengkritik aturan TKDN selama ini hanya ditujukan untuk urusan tenaga kerja, sedangkan bahan baku tetap disuplai dari impor. “Padahal kita tidak mau hanya menjadi tukang rakit yang akan selalu tertinggal dari negara lain,” katanya, Sabtu, 16 November 2024.
Selain itu, dosen di Universitas Pembangunan Veteran Nasional Jakarta ini menilai perlunya mengembangkan produk lokal. Apalagi produk dalam negeri saat ini sudah kompetitif, hanya terkadang dari sisi kualitas masih bermasalah. “Perlu political will untuk produk lokal. Ini bisa dikuatkan,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan rencana mengurangi impor ini bukan langkah baru. Menurut dia, justru pemerintah yang inkonsisten ketika menyebutkan target 40 persen pengadaan dari dalam negeri demi mendukung UMKM.
Kondisi itu, kata Bhima, makin parah karena pemerintah bukannya menyetop, tapi justru membuka keran impor barang dari luar negeri yang berdampak pada sektor manufaktur hingga akhirnya mengalami deindustrialisasi prematur. “Mengulangi cerita lama di pengadaan barang pemerintah. Ini gimmick saja.”
Bhima menyebutkan langkah ini juga memunculkan pertanyaan soal insentif bagi para investor yang akan masuk ke Indonesia. Kebijakan pemerintah yang kerap tak konsisten ini akan membuat investor ragu masuk ke Indonesia. “Inkonsistensi kebijakan terus terjadi,” tuturnya.
Sementara itu, peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah, mengatakan pemerintah perlu memikirkan insentif dan investasi strategis untuk menjalankan program guna menyetop ketergantungan impor dalam belanja pengadaan. Dia menyebutkan langkah ini perlu didorong agar industri padat karya bisa menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing produk lokal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo