Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa waktu lalu, media sosial Indonesia sempat dihebohkan tentang pernyataan mengenai sejarah Indomie yang merupakan produk hasil ambil alih PT Indofood terhadap perusahaan milik Djajadi Djaja. Hal tersebut pun mengundang reaksi dari Djajadi Djaja yang namanya terseret dalam pemberitaan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui akun Instagram Mie Gaga @gaga100extrapedas, Djajadi Djaja dan PT Jakarana Tama mengklarifikasi mengenai berita yang mengaitkannya dengan produk mie instan, Indomie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Djajadi Djaja dan PT Jakarana Tama tidak pernah membuat, menyuruh membuat, menyebarkan, atau menjadi narasumber ataupun memberikan tanggapan apapun sehubungan dengan berita-berita yang telah dibuat, dan kami tidak bertanggung jawab terhadap isi atau pemberitaan dalam konten yang diunggah tersebut,” tulis Djajadi dalam keterangan unggahannya.
Lantas, bagaimana kisah awal Indomie yang diciptakan oleh Djajadi Djaja tersebut? Simak rangkuman informasi selengkapnya berikut ini.
Awal Mula Industri Mi Instan dan Kemunculan Indomie
Industri mi instan di Indonesia muncul pertama kali pada 1968 saat PT Lima Satu Sankyu memproduksi Supermi. Ini adalah perusahaan hasil kerjasama Sankyo Shokuhin Kabushiki Kaisha, perusahaan asal Jepang, dengan PT Lima Satu milik Sjarif Adil Sagala dan Eka Widjaja Moeis.
Pada 1970, Indomie mulai diproduksi oleh PT Sanmaru Food Manufacturing Co Ltd sebagai saingan Supermi. Saat itu, produk Indomie yang diperkenalkan pertama kali ke publik adalah rasa kaldu ayam. Diketahui, penciptaan Indomie ini dilatarbelakangi oleh kelangkaan beras yang terjadi di Indonesia pada tahun tersebut.
PT Sanmaru Food Manufacturing adalah sebuah perusahan yang didirikan oleh Djajadi Djaja, Wagyu Tjuandi, Ulong Senjaya, dan Pandi Kusuma. Perusahaan ini berada di bawah Grup Djangkar Djati milik pengusaha asal Medan, Djajadi Djaja. Indomie kemudian didistribusikan melalui PT Wicaksana Overseas.
Pada 1980-an, Sarimi hadir sebagai pesaing baru di industri bisnis mi instan Indonesia. Sarimi adalah merek mi dari PT Sarimi Asli Jaya, perusahaan milik Sudono Salim atau Liem Sioe Liong. Sama seperti Djajadi Djaja, Salim pun terjun ke industri ini karena kelangkaan beras di Indonesia. Dia memproduksi mi dengan tujuan mengganti beras sebagai makanan pokok masyarakat.
Salim saat itu cukup percaya diri karena dia memiliki PT Bogasari, pabrik tepung pertama di Indonesia, yang merupakan bahan baku utama pembuat mie. Dia berencana memproduksi mie dalam jumlah besar untuk mengubah mi menjadi makanan utama masyarakat. Sayangnya, pada pertengahan 1980-an stok beras Indonesia perlahan membaik. Hal ini membuat semua yang dilakukan Salim sia-sia.
Bingung mendistribusikan mi yang sudah diproduksi, Salim pun mendekati pemilik Indomie, Djajadi Djaja, untuk melakukan kerjasama. Namun, tawaran tersebut ditolak sehingga menimbulkan perlawan sengit Sarimi kepada Indomie. Bahkan, Salim berani berinvestasi tinggi untuk memasarkan Sarimi dengan harga di bawah Indomie.
Berhasil menguasai 40 persen pasar mi Indonesia, Sarimi kembali menawarkan kerjasama pada Indomie. Djajadi pun terpaksa menerima kerjasama tersebut dengan mendirikan perusahaan patungan bernama PT Indofood Interna. Di perusahaan tersebut, Djajadi memiliki 57,5 persen saham dan salim 42,5 persen saham.
Seiring berjalannya waktu, perubahan pengelolaan di PT Indofood Interna pun terjadi. Kepemilikan perusahaan semakin bergeser hingga akhirnya kontrol berpindah ke Salim Group. Setelah itu, Indomie pun masuk ke dalam induk perusahaan PT Indofood Sukses Makmur.
Sengketa Hingga ke Meja Hijau
Pada 1998 Djajadi mulai buka suara dan mengaku terpaksa menjual perusahaannya beserta 11 merek dagangnya, termasuk Indomie dan Chiki, kepada PT Indofood Interna Corp dengan harga yang sangat murah. Dia pun melayangkan gugatannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan menuntut ganti rugi sebesar Rp 620 miliar.
Sayangnya, laporan tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tak tinggal diam, Djajadi kembali melakukan perlawanan ke instansi yang lebih tinggi, Mahkamah Agung. Lagi-lagi, tuntutan tersebut ditolak dan Mahkamah Agung menyatakan tidak ada masalah dari proses pengalihan bisnis tersebut. Sejak saat itu, Djajadi pun menyerah dan merelakan produk mi instan pertamanya berpindah ke Salim Group.
Djajadi Kembali dengan Mie Gaga
Setelah kehilangan Indomie, Djajadi kembali merintis bisnis mi instannya dengan mendirikan perusahaan PT Jakarana Tama dan memproduksi Mie Gaga. Selain Mie Gaga, perusahaan tersebut juga memiliki beberapa merek produk, seperti 100, 1000, Mie Gepeng, Mie telor A1, Otak-otak, hingga Sosis Loncat.
Hingga saat ini, Mie Gaga banyak diminati oleh penggemar mi instan Indonesia, terlebih para pecinta makanan pedas. Pasalnya, Mie Gaga kerap mengeluarkan varian rasa pedas, seperti Jalapeno, Habanero, Lada Hitam, dan Chipotle.
RADEN PUTRI
Pilihan editor: Mengenal Djajadi Djaja, Pendiri Mie Gaga yang Lagi Viral