Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Waspadai Kredit Berlabel UKM

Kredit macet di bawah Rp 5 miliar akan direstrukturisasi. Tapi manfaat restrukturisasi dipersoalkan karena debitornya bukan UKM sejati.

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VIRUS utang mirip virus leptospirosis. Setelah terkontaminasi virus ini, orang jadi pusing, meriang, dan mual-mual. Setidaknya gejala pusing dan meriang dialami oleh mereka yang ditugasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) membenahi utang usaha kecil dan menengah?populer disebut UKM. Mungkin karena memusingkan, sejak empat tahun lalu penanganan kredit UKM tak mencatat banyak kemajuan. Padahal, kalau kredit itu ditotal, jumlahnya mencapai Rp 39,6 triliun. Nah, minggu ini pemerintah akan mengumumkan rencana restrukturisasi kredit macet UKM. Untuk kredit di bawah Rp 5 miliar, konon, akan diberikan diskon 50 persen bagi yang membayar lunas, atau 40 persen kepada yang mampu melunasi seluruh utangnya dalam setahun. Debitor UKM yang berpotensi berkembang tapi tidak dapat menyelesaikan kewajiban dalam setahun akan diberi waktu 10 tahun dengan bunga sembilan persen per tahun. BPPN juga berencana menghapusbukukan utang sekitar 23 ribu UKM yang utangnya masing-masing tidak lebih dari Rp 10 juta. Apakah itu jalan pintas? Wallahualam. Yang pasti, kredit macet UKM tak kalah ruwet dengan utang macet konglomerat, yang jumlahnya berkali lipat lebih besar. Sumber keruwetan ada pada pencatatan dan pendokumentasian yang sangat tidak lengkap. Maka, jangan heran, debitor yang berniat melunasi utangnya pun tak dapat dilayani BPPN hanya karena catatan administrasi bank pemberi kreditnya amburadul. BPPN sendiri tertimpa sial karena mesti mengurus kredit macet UKM yang tidak jelas kondisinya. "Tidak ketahuan mana yang emas dan mana yang bukan," kata ekonom Faisal Basri. Selain ada ketidakjelasan itu, BPPN pun enggan menggarap kredit macet milik 414 ribu debitor karena energinya sudah tersedot untuk mengurusi debitor besar. Sementara itu, BPPN tidak memiliki bagian tersendiri yang menangani kredit UKM ini. Akibatnya, BPPN bertindak hantam kromo dengan memasukkan kredit macet ke "karung" berlabel kredit retail dan kredit UKM. Kredit itu disebut kredit retail jika nilainya di bawah Rp 1 miliar, sedangkan kredit UKM bernilai antara Rp 2 miliar dan Rp 5 miliar. Setelah dipaket dalam "karung", kredit itu dijual dengan harga obral. Obral piutang BPPN senilai Rp 327,5 miliar dibeli oleh Bank Danamon Indonesia dengan harga Rp 127,7 miliar atau terdiskon 62 persen. Penjualan kedua senilai Rp 780,5 miliar disambar Bank Artha Graha dengan harga Rp 389 miliar alias terdiskon 51 persen. Pada obral ketiga, piutang senilai Rp 3,18 triliun cuma bisa dijual seharga Rp 870 miliar?berarti diberi diskon 73 persen?lagi-lagi kepada Bank Danamon. Dengan diskon besar itu, Danamon mengira bisa meraup untung, padahal bank ini terancam buntung. Setelah diklarifikasi, "karung" yang dibeli Danamon berisi sampah. Dari 82 ribu debitor, hanya 1,7 persen kredit macet yang dibuat atas nama koperasi, bank perkreditan rakyat, dan UKM. Sisanya, 98,3 persen, merupakan utang kartu kredit dan konsumsi lainnya. "Akibatnya, bank-bank itu menggencet debitor agar membayar utang," kata Faisal. Penjualan piutang milik BPPN itu, "Ya, enggak salah-salah amat," begitu komentar Ibih Hasan, Ketua Forum Pemberdayaan dan Restrukturisasi UKM. Tapi, menurut Ibih, seharusnya sebelum melegonya, BPPN melakukan audit lebih dulu. Setelah itu, kredit nonproduktif bisa langsung dijual, sedangkan kredit produktif bisa diberi potongan, penjadwalan ulang, atau penambahan modal usaha. "Minimal debitor yang mempunyai jaminan sama dengan nilai utang pokoknya berhak men-dapatkan pendanaan kembali," kata Muhamad Lutfi, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia. Celakanya, data kredit macet UKM yang amburadul itu sekarang dijadikan landasan oleh pemerintah untuk merestrukturisasi kredit macet UKM. Padahal kebanyakan dari mereka itu pemegang kartu kredit yang bank penerbitnya sudah tutup, atau penerima kredit konsumsi dan debitor KPR dengan bunga komersial. Bos Badan Perencanaan Pem-bangunan Nasional, Kwik Kian Gie, bahkan mensinyalir banyak konglomerat yang mengaku-aku UKM dan memakai kreditnya untuk keperluan konsumtif atau yang terkait dengan perusahaannya. Tentang hal ini, Penjabat Pelaksana Tugas Kepala Divisi Komunikasi BPPN, Mulyo Wibisono, mengelak seraya mengatakan bahwa semua keputusan restrukturisasi ada di tangan pemerintah, sedangkan BPPN hanya melaksanakannya. Kalau pemerintah secara pukul rata memberikan diskon kepada semua pengusaha, termasuk UKM gadungan dan konglomerat yang cedera janji, tentu bebannya kelak akan ditanggung rakyat lewat pembayaran pajak. Agar tidak membebani rakyat, BPPN harus meneliti ulang data debitor kredit UKM itu, baru kemudian dipilah-pilah mana yang kredit konsumtif dan mana yang bukan. Tapi, kalau datanya amburadul, restrukturisasi hanya membuat masalahnya kian rumit saja. Agus S. Riyanto, Gita Widya Laksmini, Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus