TAK kurang dari sepuluh calon direksi Merpati tengah menunggu giliran untuk mengikuti fit and proper test siang itu, Februari lalu. Salah seorang calon, Hotasi Nababan, bertutur, ?Fit and proper test-nya mirip ujian sidang sarjana dulu.? Selama hampir sejam, Hotasi mengaku dicecar dengan puluhan pertanyaan oleh Bacelius Ruru, Sekretaris Menteri Negara BUMN, beserta timnya. Kepadanya ditanyakan visi jika memimpin Merpati, prioritas kerja, sampai persoalan yang dihadapi Merpati saat ini.
Seperti diketahui, tes uji kelayakan dan kepatutan itu merupakan bagian dari upaya Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi, untuk menyehatkan BUMN. Pada tahap pertama, ia membuat pengelolaan BUMN lebih transparan, misalnya dengan fit and proper test bagi calon direksi BUMN. Kedua, Laks juga memberi kesempatan kepada orang luar untuk memimpin perusahaan pelat merah. Alasannya, agar ada darah segar di BUMN.
Gaya Laks ini dianggap membuka peluang bagi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dalam pemilihan direksi Merpati dan Garuda, misalnya, di antara calon direksi ada tiga orang luar, yakni Bernardus Djonoputro (Direktur Marketing Konsultan Ernst and Young), Tike Soekreni (Staf Manajer Danareksa Sekuritas), serta Hotasi Nababan (Direktur General Electric, bidang lokomotif). Sedangkan untuk kursi Direktur Utama Garuda, yang kosong sejak Abdulgani mundur Januari lalu, salah satu calon terkuat adalah Samudera Sukardi, 47 tahun, kakak kandung Laks sendiri.
Walaupun Samudera terhitung orang dalam?dia menjabat Direktur Utama PT Abacus Distribution System (anak perusahan Garuda)?pencalonan dirinya oleh PPP mengundang kecurigaan. Agum Gumelar, Menteri Perhubungan, bahkan bereaksi keras. Katanya, ?Partai politik tak perlu terlibat atau titip orang agar jadi Dirut Garuda.?
Agum lalu meminta agar Laksamana tidak mengambil keputusan sepihak dalam pemilihan Dirut Garuda. Ditegaskannya, ?Tak ada penggantian Dirut Garuda tanpa koordinasi dengan saya.? Samudera Sukardi sendiri membantah pencalonannya itu berbau KKN. ?Saya sudah berkarir di Garuda 26 tahun,? katanya, ?Tiba-tiba adik saya jadi menteri, clek. Urusannya BUMN, lagi. Ini kan kebetulan.?
Dalih ?kebetulan? itu dibantah oleh Dradjad H. Wibowo, ekonom dari INDEF. Walau secara profesional Samudera dinilai mampu, karena Menteri Negara BUMN adiknya sendiri, benturan kepentingannya akan tinggi. ?Jika benar Samudera menjadi Dirut Garuda, ini sama dengan Soeharto, yang mengangkat Tutut menjadi Menteri Sosial,? Dradjad berkomentar. Laksamana sendiri khawatir akan dituduh ber-KKN. Tetapi ia pun tak bisa melarang Samudera mencalonkan diri. Bukankah setiap warga negara berhak meniti karir sesuai dengan aturan? ?Saya janji tak akan ikut campur proses fit and proper test,? ujar Laks.
Sedangkan untuk pencalonan di Merpati, tak ada sanak famili Laks ataupun politisi dari PDIP yang terlibat di situ. Tetapi, jika dicermati, hubungan baik antara Hotasi dan Laks sudah dimulai sejak Orde Baru. Saat itu Laks bergabung ke PDIP, sedangkan Hotasi dan Bernie memperkuat SPuR (Solidaritas Profesional untuk Reformasi). Menurut sumber TEMPO yang dekat dengan Laks, untuk membenahi BUMN saat ini Laks butuh orang muda yang profesional dan memiliki idealisme. Maka, Januari lalu, Laks meminta Hotasi agar bersedia masuk ke Merpati.
Ketika cerita di atas dikonfirmasikan kepada Hotasi, ia menyangkal kalau pencalonannya di Merpati dianggap berbau kolusi. Kalau hanya karena uang dan jabatan, ia mengaku tak akan ke Merpati karena gaji dan fasilitas yang diterimanya di General Electric jauh lebih baik. ?Saya tidak akan mengorbankan nama baik saya. Beri saya kesempatan, dong. Masa sih citra BUMN jelek terus,? tuturnya.
Soal citra buruk BUMN, itu sulit dibantah. Pekan lalu, BPK menyebutkan bahwa sejak dua tahun terakhir kerugian negara paling besar terjadi akibat penyimpangan di BUMN. Kerugiannya total mencapai Rp 89,04 triliun. Dalam kaitan dengan itu, Dradjad H. Wibowo menilai, tantangan terberat bagi para direksi BUMN adalah bagaimana menghentikan praktek sapi perah di BUMN. Praktek itu sudah terjadi sejak awal Orde Baru. Lihat saja, BUMN gemuk seperti Pertamina dan Telkom selalu menjadi sapi perah Cendana. Setelah Soeharto lengser, kabarnya giliran partai politik dan pejabat negara yang memerah BUMN.
Baik Hotasi maupun Samudera membantah ada kesepakatan di balik layar dalam pen-calonan mereka. Di sisi lain, Dradjad yakin politisi dan birokrat tetap akan mengincar BUMN, terutama karena partai-partai sedang berlomba mengumpulkan duit untuk Pemilu 2004. Untuk itu, sasaran paling empuk adalah BUMN. Menurut Dradjad, menguras BUMN jauh lebih aman dibanding minta sumbangan kepada konglomerat. Karena itu, transparansi harus ditingkatkan, begitu pula sistem kontrol, baik dari luar maupun dalam.
Iwan Setiawan dan Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini