BERITA itu bernada genting: 14 bank dalam kondisi rawan. Saat ini mereka berada dalam pengawasan intensif, bahkan dalam incaran teropong khusus Bank Indonesia?.
Lebih gawat lagi, mereka ternyata bukan bank gurem, melainkan bank pemerintah yang besarnya segede gajah, juga di antaranya beberapa bank (bekas) swasta yang tak bisa dikatakan kecil. Pukul rata, mereka semua termasuk bank kelas atas. Menurut Deputi Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, Nelson Tampubolon, jika ditotal, aset ke-14 bank itu "sekitar 70 persen aset perbankan nasional." Nah! Anda tentu bisa mulai meraba bank mana saja.
Tentu saja mereka adalah bank hasil rekapitalisasi. Artinya: bank yang telah mendapatkan suntikan kapital pemerintah, selama empat tahun terakhir. Mereka merupakan bagian terbesar dari penerima dana obligasi rekapitalisasi yang jumlahnya mencapai Rp 430 triliun lebih (sekitar separuh dari output perekonomian kita). Lalu mengapa bank-bank yang sudah dicekokin duit ratusan triliun itu kembali terancam?
Sebelum terlalu jauh, agaknya istilah pengawasan intensif dan khusus ini perlu dijelaskan duduk soalnya. Menurut Deputi Gubernur Bank Sentral, Maman Soemantri, ada beberapa macam pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia (BI). Salah satu yang terpenting adalah pengawasan keuangan. Ini meliputi tingkat kecukupan modal, kesehatan aset, kualitas manajemen, kemampuan menghasilkan ke-untungan, dan posisi likuiditas. Selain itu, ada pengawasan kepatuhan, penilaian kelayakan dan kepantasan untuk manajemen, pengawasan sistem prosedur operasional, serta pengawasan internal bank.
Bagi orang-orang BI, ciri-ciri bank yang sedang diteropong bank sentral ternyata tak sulit dilihat. Bank yang masuk program pengawasan intensif harus memberikan laporan harian kepada bank sentral. Adapun bank yang masuk program pengawasan khusus bernasib lebih getir: mereka bakal ditongkrongi petugas dari BI setiap hari.
Para pengawas ini akan memelototi seluruh arus uang dan mencari tahu mengapa bank mengalami kesulitan keuangan. Sebagai contoh: mengapa tingkat kecukupan modalnya di bawah ketentuan minimum 8 persen? Atau mengapa kredit macetnya melampaui batas bahaya 5 persen?
Jika menganggap perlu, bank sentral bisa meminta bank-bank rawan ini mengajukan rencana perbaikan permodalan atau mengganti pengurus. Bahkan, jika bank dinilai sangat bandel, bank sentral bisa saja meminta Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menempatkan seorang direktur pengawasan.
Injeksi "Tuan Pengawas" ini kabarnya sudah dilakukan kepada sebuah bank (bekas) swasta yang pengelolanya kebanyakan berasal dari pemilik lama. "Manajemen bank itu dicurigai membengkokkan kredit kepada kelompok sendiri," kata seorang sumber di keuangan.
Singkat kata, menurut Maman Soemantri, bank-bank itu masuk pengawasan bank sentral karena terkait dengan "risiko sistemis". Maksudnya, bank-bank itu tidak harus tampak sakit saat ini. Mungkin mereka masih kelihatan segar-bugar, tapi sewaktu-waktu bisa kolaps. Dan karena mereka berukuran jumbo, kata Maman, "Dampaknya mengancam per-ekonomian."
Tak semua bank rawan ini kepentok persoalan modal. Memang ada bank yang tingkat kecukupan modalnya sudah jauh di bawah batas minimal 8 persen, yaitu Bank Universal. Namun, di antara ke-14 bank itu, banyak yang modalnya cukup tapi kredit macetnya sudah melampaui ambang bahaya 5 persen. Tingkat kemacetan kredit Bank Mandiri, BNI, BII, dan Bank Bali, misalnya, sudah "dua digit" alias belasan persen. Bank Lippo lebih gila lagi, telah melampaui 23 persen (lihat tabel).
Sudah tentu kemampuan bank-bank rawan ini untuk kembali sehat sangat beragam. BII, yang kini terbelit kredit macet hampir 18 persen, misalnya, diakui sangat sulit memper-baiki kualitas asetnya. "Terus terang masih berat," kata Rudy Hamdani, anggota tim pengelola BII, tentang peluang bank papan tengah itu menekan kredit macetnya. Satu-satunya jalan bagi BII, tampaknya, melakukan penghapusbukuan (write-off) atas aset busuk itu. Tapi itu berarti BII harus melakukan, sekali lagi, penambahan kapital.
Meskipun demikian, Rudy masih bisa berbangga dengan likuiditas bank "warisan" konglomerat Eka Tjipta Widjaja ini. Hingga September 1999, BII berhasil menjaring dana pihak ketiga hingga Rp 26 triliun. Pendapatan bunga BII pun, menurut pengakuan Rudy, sebagian besar berasal dari kredit di sektor retail dan konsumsi, bukan dari bunga obligasi rekapitalisasi.
Bank Mandiri, yang hingga akhir tahun lalu kesetrum kredit macet hampir 10 persen, bahkan lebih optimistis. Menurut juru bicara Bank Mandiri, Soeswidijono, bank terbesar Indonesia itu berhasil menekan angka kredit macet dari 20,1 persen pada tahun 2000 menjadi tinggal separuhnya. Padahal bank raksasa itu tampak jorjoran mengobral kredit belakangan ini.
Menurut catatan, nilai kredit Bank Mandiri saat ini mencapai 15,6 persen dari total pangsa pasar kredit perbankan. Nilainya? Diperkirakan hampir Rp 48 triliun. "Sampai saat ini," kata Soeswidijono, "kami tak pernah terlambat membayar bunga kepada nasabah."
Dengan dana pihak ketiga yang sudah melampaui Rp 177 triliun, Mandiri benar-benar bisa menjadi juragan uang. Dalam setahun terakhir, Mandiri ber-hasil menyulap posisinya dari peminjam men-jadi pemberi pinjaman di pasar uang. Tahun lalu, Mandiri memasok dana ke pasar uang hingga Rp 35 triliun lebih.
Tak aneh jika penghasilan bunga Bank Mandiri dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Pada 1999 masih negatif, tapi pada tahun 2000 pendapatan bunga sudah positif 2,44 persen dan tahun 2001 naik lagi menjadi 2,87 persen. Keuntungan itu menjadikan Mandiri tampil sebagai penyetor laba terbesar dalam perusahaan BUMN. "Tahun ini," kata Soeswidijono, "Mandiri bisa setor dividen Rp 1 triliun."
Namun, seorang pengamat berpendapat kondisi rawan ini bisa bertambah parah. Ini terkait dengan struktur pendapatan bank yang masih mengandalkan suku bunga obligasi pemerintah. Padahal, menurut simulasi yang pernah dilakukan Boston Consulting Group, kebanyakan bank rekap akan berada dalam kondisi bahaya jika suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berada antara 15 persen dan 17 persen.
Dan bila obligasi pemerintah ini jatuh tempo dan diuangkan, pendapatan bunga bank akan langsung menyusut. Soalnya, dengan risiko kredit yang masih demikian tinggi, dana hasil pencairan obligasi tak bisa langsung dimanfaatkan sebagai aset produktif. Sementara itu, kemampuan menjala dana pihak ketiga belum merata. Di sisi lain, praktek-praktek pengucuran kredit secara sembrono terlihat kambuh kembali, sehingga ancaman kredit macet semakin membayang.
Menurut Dradjad Wibowo, ekonom dari Indef, sektor perbankan akan sehat jika jumlah bank dikurangi. Kalau bank tinggal sedikit, mereka akan mampu mengakumulasi pendapatan untuk dijadikan tambahan modal. Tak ada cara untuk mengurangi jumlah bank selain dengan menutup atau menggabungkan bank yang masih ada.
Gagasan itu sebetulnya sudah dicoba ketika pemerintah menggabungkan Danamon dengan sembilan bank lain. Sayang, proses peng-gabungan bank lainnya begitu lambat. Apa mau menunggu mereka menjadi bangkai?
Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini