PENINGKATAN penyensoran terhadap penerbitan asing yang masuk
Indonesia belakangan ini ternyata membawa kesibukan baru pada
agen penerbitan yang bersangkuan.
Maklum penerbitan asing yang beredar di Indonesia cukup banyak
juga. Majalah Time misalnya, yang untuk edisi di Indonesia
dicetak di Hongkong, punya peredaran 17 ribu di sini
separuhnya untuk langganan. Reader's Digest 15 ribu. Sedang
Newsweek 10 ribu. Belum lagi puluhan suratkabar dan majalah lain
yang berkisar antara ratusan sampai ribuan eksemplar tiap
terbit.
Di segi lain perkembangan politik Indonesia telah meningkatkan
jumlah pemberitaan tentang negeri ini di pers internasional dan
tidak semua berita itu dinilai positif oleh Pemerintah. Masih
berita semacam itu benar-benar hitam. Disensor dengan cat hitam.
Untuk itu si agen penerbitan asing harus memperkerjakan para
karyawan khusus. Sebab hanya contoh bagian yang kena sensor
yang datang dari Kejaksaan Agung. Sensor ternyata membuka juga
lapangan kerja baru.
Kerugian
Apa saja yang dihitamkan? "Gambar yang bisa mengganggu
ketertiban umum, misalnya gambar telanjang. Juga tulisan yang
bernada menghasut, berita bohong tentang negara kita atau
ulasan-ulasan yang merugikan kepentingan negara," kata Kepala
Humas Kejaksaan Agung M.A. Tomasouw kepada Syarif Hidayat dari
TEMPO.
Penyensoran terhadap pers asing memang wewenang Kejaksaan Agung
yang diatur melalui Penpres no.4 tahun 1963. Penyensoran
sekarang ini dilakukan oleh suatu unit Kejaksaan Agung yang
diketuai oleh Halim Nain. Caranya, setiap agen yang mengimpor
barang cetakan itu harus mengirimkan beberapa eksemplar pada
Kejaksaan Agung untuk disensor. Jika ada gambar atau tulisan
yang dianggap perlu untuk dilarang, gambar atau tulisan itu
diperintahkan untuk dihitamkan, ditutup atau disobek.
Untuk menghindarkan kerugian, para agen majalah mingguan atau
bulanan biasanya menerima lebih dulu beberapa eksemplar majalah
untuk diserahkan pada Kejagung, karena khusus untuk majalah
diperlukan surat izin edar dari instansi ini. PT Gunung Agung
yang mengageni Time sejak 1958 misalnya, menyerahkan contoh
majalah itu pada Kejagung hari Jum'at atau selambat-lambatnya
Sabtu. Kalau isi majalah itu "bersih" dari tulisan atau gambar
yang dianggap negatif, izin edar bisa keluar hari Sabtu atau
paling lambat Senin.
Setelah ada lampu hijau dan Kejagung bahwa Time edisi minggu itu
boleh masuk, PT Gunung Agung segera mengirim teleks ke Hongkong,
tempat pencetakan Time, untuk segera mengirim majalah tersebut
walaupun resminya surat izin edar belum keluar. Cara ini
ditempuh mengingat bea masuk majalah ini cukup tinggi. Untuk
Time yang 17 ribu misalnya, bea masuknya setiap edisi 2 juta
rupiah.
Buta Inggeris
Begitu Time sampai ke lapangan terbang Halim Perdana Kusuma
kemasannya segera dipindah ke gudang PT Gunung Agung di Kwitang.
Untuk ini di perlukan juga izin pindah dari Kejagung. Kalau izin
edar disertai catatan bahwa ada tulisan atau gambar yang perlu
dihitamkan, terjadi kesibukan baru di gudang ini. Sekitar 40
pekerja yang butabahasa Inggeris dan yang sebelumnya sudah
diperiksa dan diteliti oleh petugas Kejagung harus mengecat
hitam dan menempelkan kertas pada bagian yan harus ditutup.
Selama bekerja dari pagi sampai jam 9 malam, mereka selalu
dikawal dan diawasi sang petugas. Sesudah selesai, dilakukan
penelitian sekali lagi. Baru sesudah itu majalah dapat
diedarkan. Langganan boleh menggerutu terhadap kelambatan ini.
Tapi buat Gunung Agung sendiri, itu tidak jadi soal, sebab biaya
penghitaman semua ditanggung Time.
Otak
Lain majalah, lain pula koran. Ada belasan suratkabar asing yang
tiap hari masuk Indonesia. Yang terbesar The Straits Times
terbitan Singapura. Suratkabar ini pula yang paling cepat sampai
di Halim, biasanya sebelum jam 10 pagi. Untuk koran tidak perlu
izin edar dari Kejagung, kata Sajuti Bahtiar, asisten direktur
Home Service A.H., distributor pers asing terbesar saat ini.
A.H. mempunyai tim peneliti sendiri yang terdiri dari 5 orang,
dan secara periodik timnya mengadakan konsultasi dengan
Kejagung. Menurut Sajuti, tim ini bekerja dengan "tidak membabi
buta." Tapi toh apa saja yang dinilai menjelekkan Pemerintah
dihitamkan karena A.H. tidak mau ambil risiko. "Karena
dipercayakan pada kami, kami malah lebih hati-hati. Hampir semua
yang tertulis, termasuk iklan kami baca," kata Sajuti pada
wartawan TEMPO Widi Yarmanto. Tulisan yang dianggap "berbau
Komunis," langsung saja disikat dengan cat hitam, walau sekarang
gambar Mao Tse-tung tidak lagi ditutup seperti beberapa tahun
yang lalu.
Karena datangnya koran-koran ini tidak berbarengan, para pekerja
yang berjumlah sekitar duapuluhan harus bekerja siang malam.
Koran yang sudah diteliti dikirim contohnya pada Kejagung. Kalau
semua beres, baru koran diedarkam Dan walau sensor dilakukan
oleh distributor sendiri, menurut Sajuti belum pemah terjadi
ketidak-cocokan dengan Kejagung.
Protes? Protes dari penerbit asing sendiri tidak pemah ada,
tetapi protes dari pembaca cukup banyak, kata Sajuti. "Kalau
yang diprotes penghitaman pada majalah, dijawab itu weweng
kejagung. Kalau koran, dicarikan alasan seperti isinya tidak
benar, menghasut dan sebagainya."
Hampir semua penerbitan asing yang disensor berbahasa Inggeris.
Tapi bukankah pembaca kita yang bisa berbahasa Inggeris
prosentasenya sangat kecil? "Memang. Tapi otaknya yang bisa
menghasut orang untuk menimbulkan kerusuhan justru orang yang
bisa bahasa Inggeris," kata M.A. Tomasouw.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini