BETULKAH Indonesia mengekspor hampir sejuta ekor beruk setahun?
Seorang ahli primata yang dihubungi TEMPO, meragukan sinyalemen
AFP itu. "Paling banter hanya 30 ribu ekor setahun," katanya.
Tak jelas apakah jumlah sebanyak itu mengganggu kelestarian sang
beruk yang juga dikenal sebagai monyet Jawa alias Macaca irus.
Tapi di samping itu, yang perlu dirisaukan adalah nasib orang
utan. Penebangan hutan, eksplorasi minyak dan gas alam serta
perluasan ladang penduduk di Kalimantan dan Sumatera, semuanya
bekerjasama menggusur orang utan dari habitat aslinya. Dan
mungkinkah mentransmigrasikan seluruh populasi orang utan itu ke
suaka margasatwa Tanjung Puting (Kal-Teng) dan Gunung Leuser
(Aceh)? Tampaknya mustahil, mengingat ruang gerak yang
diperlukannya harus cukup luas.
Peternakan Saja
Sesudah orang utan, jenis kera yang kini sedang terancarn
kelestariannya di Indonesia adalah uwa-uwa alias gibbon
flobatesi. Sesudah Muangthai melarang sama sekali ekspor gibbon
dari negeri itu tiga tahun lalu, AS yang merupakan importirnya
yang terbesar mulai mengincar lndonesia. Di sana, kera-kera
gibbon dibutuhkan untuk penyelidikan penyakit leukemia alias
kanker darah. Sebab dari semua jenis monyet dan kela yang sudah
dijadikan hewan percobaan di Amerika, hanya gibbon inilah yang
paling peka terhadap leukemia. Susunan sel-sel darahnya pun
paling mirip dengan manusia.
Perhatian AS itu mulai tampak, ketika di tahun 1976 ada
petugas-petugas US-NAMRU (Naval Medical Research Unit) minta
izin mengekspor 25 ekor uwa-uwa ke Amerika. Izin khusus Menteri
Pertanian memang diperlukan untuk hal-hal semacam itu, sebab
uwa-uwa termasuk 13 jenis monyet dan kera yang dilindungi di
Indonesia. Tentu saja, lantaran terancam kelestariannya. Namun
karena tentangan ahli-ahli primata di Lembaga Biologi Nasional
(LBN) Bogor, permintaan US-NAMRU itu sampai sekarang belum
dilayani.
Gagal memperoleh gibbon liar dari hutan Indonesia, pemerintah AS
mengadakan pendekatan lain. Departemen Kesehatan AS mengusulkan
supaya Indonesia mendirikan pusat peternakan uwa-uwa, di sini.
Lalu kera jinak hasil peternakan itulah yang diekspor ke
Amerika. Namun cara itu--meminjam pengalaman AS dalam peternakan
monyet rhesus di sana - bisa makan waktu sampai 2 tahun sebelum
dapat dipanen. Di samping itu, seperti kata seorang ahli primata
Indonesia kepada TEMPO: "Siapa yang dapat menjanin bahwa pusat
mbibitan gibbon itu tak dijadikan seubung bagi penyelundupan
gibbon\liar dari hutan?" Itu sebabnya, rencana yang disodorkan
Depkes AS kepada partnernya di sini, juga belum mendapat lampu
hijau LBN.
O Gagal dengan kartu di atas, ada usul lain lagi dari kalangan
medis di AS: bagaimana kalau darah gibbon yang dibekukan saja
yang diimpor dari Indonesia? Sebab dengan menggunakan darah
gibbon saja, tanpa mengimpor kera hidup seutuhnya, penelitian
kanker darah itu toh bisa jalan terus.
Namun angin baru yang mulai berhembus di kalangan ahli primata
di Indonesia, sudah mendapat gaungnya pula di kalangan
kedokteran di sini. Mengapa Indonesia hanya terus menjadi
eksportir bahan mentah, demi kemajuan penelitian medis dan
farmasi di Amerika" Jangan ekspor kera hidup. Jangan pula
mengekspor darah gibbon. Tapi desaklah para ahli Amerika untuk
melakukan sebagian penelitian itu di sini. Dengan demikian, ahli
Indonesia juga bisa ikut belajar." Begitu pendapat seorang ahli
primata di Bogor yang juga didukung oleh beberapa dokter yang
dihubungi TEMPO di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini