Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Uwa-uwa kita dan amerika

Pendapat pro & kontra ekspor beruk indonesia. nasib orang utan dengan adanya penebangan hutan dan tentang impor amerika akan binatang uwa-uwa indonesia untuk penelitian penyakit leukemia.(ilt)

4 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETULKAH Indonesia mengekspor hampir sejuta ekor beruk setahun? Seorang ahli primata yang dihubungi TEMPO, meragukan sinyalemen AFP itu. "Paling banter hanya 30 ribu ekor setahun," katanya. Tak jelas apakah jumlah sebanyak itu mengganggu kelestarian sang beruk yang juga dikenal sebagai monyet Jawa alias Macaca irus. Tapi di samping itu, yang perlu dirisaukan adalah nasib orang utan. Penebangan hutan, eksplorasi minyak dan gas alam serta perluasan ladang penduduk di Kalimantan dan Sumatera, semuanya bekerjasama menggusur orang utan dari habitat aslinya. Dan mungkinkah mentransmigrasikan seluruh populasi orang utan itu ke suaka margasatwa Tanjung Puting (Kal-Teng) dan Gunung Leuser (Aceh)? Tampaknya mustahil, mengingat ruang gerak yang diperlukannya harus cukup luas. Peternakan Saja Sesudah orang utan, jenis kera yang kini sedang terancarn kelestariannya di Indonesia adalah uwa-uwa alias gibbon flobatesi. Sesudah Muangthai melarang sama sekali ekspor gibbon dari negeri itu tiga tahun lalu, AS yang merupakan importirnya yang terbesar mulai mengincar lndonesia. Di sana, kera-kera gibbon dibutuhkan untuk penyelidikan penyakit leukemia alias kanker darah. Sebab dari semua jenis monyet dan kela yang sudah dijadikan hewan percobaan di Amerika, hanya gibbon inilah yang paling peka terhadap leukemia. Susunan sel-sel darahnya pun paling mirip dengan manusia. Perhatian AS itu mulai tampak, ketika di tahun 1976 ada petugas-petugas US-NAMRU (Naval Medical Research Unit) minta izin mengekspor 25 ekor uwa-uwa ke Amerika. Izin khusus Menteri Pertanian memang diperlukan untuk hal-hal semacam itu, sebab uwa-uwa termasuk 13 jenis monyet dan kera yang dilindungi di Indonesia. Tentu saja, lantaran terancam kelestariannya. Namun karena tentangan ahli-ahli primata di Lembaga Biologi Nasional (LBN) Bogor, permintaan US-NAMRU itu sampai sekarang belum dilayani. Gagal memperoleh gibbon liar dari hutan Indonesia, pemerintah AS mengadakan pendekatan lain. Departemen Kesehatan AS mengusulkan supaya Indonesia mendirikan pusat peternakan uwa-uwa, di sini. Lalu kera jinak hasil peternakan itulah yang diekspor ke Amerika. Namun cara itu--meminjam pengalaman AS dalam peternakan monyet rhesus di sana - bisa makan waktu sampai 2 tahun sebelum dapat dipanen. Di samping itu, seperti kata seorang ahli primata Indonesia kepada TEMPO: "Siapa yang dapat menjanin bahwa pusat mbibitan gibbon itu tak dijadikan seubung bagi penyelundupan gibbon\liar dari hutan?" Itu sebabnya, rencana yang disodorkan Depkes AS kepada partnernya di sini, juga belum mendapat lampu hijau LBN. O Gagal dengan kartu di atas, ada usul lain lagi dari kalangan medis di AS: bagaimana kalau darah gibbon yang dibekukan saja yang diimpor dari Indonesia? Sebab dengan menggunakan darah gibbon saja, tanpa mengimpor kera hidup seutuhnya, penelitian kanker darah itu toh bisa jalan terus. Namun angin baru yang mulai berhembus di kalangan ahli primata di Indonesia, sudah mendapat gaungnya pula di kalangan kedokteran di sini. Mengapa Indonesia hanya terus menjadi eksportir bahan mentah, demi kemajuan penelitian medis dan farmasi di Amerika" Jangan ekspor kera hidup. Jangan pula mengekspor darah gibbon. Tapi desaklah para ahli Amerika untuk melakukan sebagian penelitian itu di sini. Dengan demikian, ahli Indonesia juga bisa ikut belajar." Begitu pendapat seorang ahli primata di Bogor yang juga didukung oleh beberapa dokter yang dihubungi TEMPO di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus