Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

<font color=#CC0000>Bebas dari Rokok,</font> Terperangkap Rokok

Badan Pengawas Obat dan Makanan menyatakan rokok elektronik ilegal dan tidak aman. Substitusi rokok yang marak dipasarkan belakangan ini juga mengandung zat-zat berbahaya, termasuk zat penyebab kanker.

23 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak sia-sia Ully Krisnasari, 30 tahun, menyelipkan rokok elektronik di sela tumpukan suku cadang komputer pada etalase toko komputernya di salah satu jalan utama Yogyakarta. Dagangan tambahannya itu meski berharga ratusan ribu rupiah dan sama sekali bukan bagian dari perangkat komputer laris manis. Dalam sehari rata-rata bisa terjual 10-15 paket. ”Itu catatan penjualan tiga bulan pertama,” kata Ully.

Ully sudah lebih dari setengah tahun menjual rokok elektronik dengan banderol Rp 200-500 ribu. Selepas tiga bulan pertama, omzet penjualan memang turun separuhnya. Tapi penjualan pe rasa isi ulang naik. Paket awal ”bungkus” rokok elektronik memang terdiri atas peranti pemanas dan perasa isi ulang. Beragam rasa ditawarkan, seperti kopi, cokelat, buah-buahan, juga rasa yang mirip rokok biasa. Konsumen membeli isi ulang Rp 50 ribu rata-rata per tiga minggu sekali. ”Yang favorit adalah rasa tembakau kretek dan mentol,” katanya.

Ully mendapat pasokan rokok elektronik dari distributor di Jakarta. Lucunya, kini dia juga mengirim pesanan ke Jakarta, sebagai salah satu tujuan pengiriman ke kota-kota lain. Sejak melakukan promosi dalam jaringan (online), penjualan rokok elektroniknya berkembang menjangkau luar kota, seperti Jakarta, Bandung, dan kota-kota di Jawa Tengah.

Belakangan ada pernyataan rokok elektronik tidak lebih aman bagi kesehatan dibanding rokok biasa. Menurut Ully, hal itu dibaca berbeda oleh komunitas pengedar rokok elektronik. ”Mungkin ada pemain rokok yang terancam dan mengembuskan itu,” katanya. Yang jelas, Ully tidak menampik masih adanya bahaya rokok elektronik. ”Namanya juga zat kimia,” katanya. Informasi itu selalu disampaikan ke konsumennya. ”Tapi dijamin lebih aman dibanding rokok biasa.”

Keyakinan rokok elektronik ”lebih aman” melekat di benak konsumen. Agung Wijaya, 28 tahun, misalnya, tetap setia mengisap rokok elektronik rasa kopi selama tiga bulan terakhir, demi bisa berhenti merokok. Nah, kandungan nikotin rokok elektronik ini menggantikan nikotin yang biasa dipasok rokok berasap. Agung pun mengaku telah menemukan formula tepat, yakni menyedot rokok elektronik ditemani kopi kental. ”Seperti rokok biasa, hanya ada sedikit tambahan rasa logam,” katanya.

Penggemar rokok elektronik tampaknya memang cukup besar. Pada umumnya bila membaca testimoni konsumen yang dimuat dalam situs-situs penjualan rokok elektronik mereka adalah perokok yang ingin berhenti merokok. Jadi rokok elektronik adalah transisi. Inilah yang membuat penjualan rokok elektronik atau electronic nicotine delivery system di Indonesia marak dalam setahun terakhir. Pada salah satu layanan penjualan online rokok itu, di rokokeletric.com misalnya, selain penyebaran di Jawa, distribusinya sudah menjangkau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Rokok itu biasa dipasarkan dengan sebutan rokok elektrik, ecigarro, electro-smoke, green-cig, smartsmoker, rokok terapi, dan kadang ada embel-embel tulisan ”health” juga di kemasan.

Namun anggapan ”sehat” itu kemudian dipatahkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). ”Rokok elektronik sama berbahayanya (dengan rokok tembakau),” kata Kepala BPOM Kustantinah dalam keterangan resmi Jumat dua pekan lalu. Pada rokok elektronik juga terkandung bahan kimia berbahaya, seperti nikotin, yang dilarutkan dengan larutan seperti propilen glikol atau gliserin, dan dipanaskan untuk mendapatkan uapnya. ”Pemanasan ini membentuk senyawa nitrosamin yang bisa menyebabkan kan ker,” Kustantinah menjelaskan.

Sebatang rokok elektronik terdiri atas cartridge berisi nikotin yang dilarutkan dalam propilen glikol, gliserin, atau dietilen glikol. Lalu ada elemen pemanas kecil (atomizer) dan baterai lithium-ion yang bisa diisi ulang. Saat pipa rokok diisap, bagian ujung (vaporizer) akan menyala dan bekerja mengubah cairan di dalamnya menjadi uap, lalu masuk ke paru. Proses pemanasan itu untuk memberikan tekanan pada permukaan cairan sehingga lebih mudah diatomisasi. Dalam hal ini, pemanasan meniru suhu yang dihasilkan tembakau terbakar, 50-60 derajat Celsius.

Seperti pengakuan Ully, juga dalam brosur-brosur promosi, diakui rokok elektronik tetap mengandung nikotin. Hanya kadarnya jauh lebih rendah dibanding rokok biasa. Pada rokok biasa, nikotin yang terkandung 22 miligram per pak, sedangkan rokok elektronik maksimal mengandung 6 miligram ni kotin.

Selain itu, rokok elektronik diklaim bebas dari tar dan zat-zat karsinogen (penyebab kanker) atau bahan-bahan berbahaya lainnya. Karena tanpa proses pembakaran, rokok elektronik diklaim bebas dari sekitar 4.000 zat kimia, termasuk karbon monoksida yang dihasilkan pembakaran rokok biasa. Rokok elektronik juga tidak menghasilkan perokok pasif.

Semua klaim itu boleh-boleh saja. Namun, karena kemasan rokok elektro nik itu tidak menyebut jelas kandungan ”rokok” seperti pada kemasan rokok biasa, Kustantinah khawatir kandungan nikotinnya lebih besar dibanding rokok biasa. ”Sebab, tidak ada campuran,” katanya. Sejauh ini, klasifikasi yang jelas tentang rokok elektronik belum ada, apakah termasuk rokok, produk substitusi, obat, atau makanan. ”Kami belum bisa mengawasi peredarannya,” kata Kustantinah.

Kekhawatiran itu tidak berlebihan. Badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat (FDA) menemukan kandungan nikotin yang tidak konsisten antara label dan isi. Dalam wadah berlabel ”bebas nikotin” tetap ditemukan nikotin. FDA melakukan uji kandungan rokok elektronik Mei tahun lalu dengan contoh produk dari dua perusahaan. Hasilnya, ditemukan kandungan dietilen glikol dan nitrosamin, keduanya zat beracun.

Rujukan lain adalah studi Andreas Flouris dari FAME Laboratory Institute of Human Performance and Rehabilitation Center for Research and Technology, Yunani. Hasilnya, rokok elektronik mengandung berbagai zat racun: propilen glikol, hidrokarbon polisiklik, dan dietilen glikol serta N-nitrosamin, zat karsinogen kuat.

Menurut Agus Dwi Susanto, spesialis paru yang juga Wakil Ketua Tim Klinik Berhenti Merokok RSUP Persahabat an, Jakarta, karena rokok elektronik ini barang baru, penelitian yang ada memang baru sebatas kandungan, belum pada dampak. Tapi, dengan adanya nikotin, Agus memastikan rokok elektronik itu sama berbahayanya dengan yang konvensional. Apalagi nikotin merupakan komponen utama pemicu penyempitan pembuluh darah, dari otak, jantung, hingga menyebar ke seluruh tubuh. Nikotin memiliki daya karsi nogenik terbatas yang menghambat kemampuan tubuh melawan sel-sel kan ker. Nikotin juga memicu produksi hormon yang meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. ”Bicara bahayanya bisa ke mana-mana,” kata Agus.

Pada awalnya, rokok elektronik bisa diterima beberapa otoritas kesehatan karena dianggap sebagai salah satu sarana terapi untuk berhenti merokok. ”Semacam permen karet,” kata Agus. Syaratnya, penggunaan rokok itu harus di bawah supervisi tenaga medis dan diposisikan sebagai obat yang tidak dijual bebas. Lalu rokok elektronik ini ditolak sebagai terapi berhenti merokok. ”Efektivitasnya tidak jelas.”

Kartono Mohamad, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia, justru khawatir rokok elektronik menjadi pintu awal lahirnya perokok baru di kalangan remaja. ”Dikira rokok sehat, lama-lama mencoba rokok biasa,” kata penggiat antitembakau ini. Menurut dia, dengan status kandungan yang ada, tanpa harus menunggu uji klinis lagi seharusnya orang tidak ambil risiko dengan menganggap rokok itu aman. ”Jangan jadi kelinci percobaan.”

Harun Mahbub


Riwayat Rokok Elektronik

Rokok elektronik diproduksi sejak 2003 dengan merek e-Cigarette oleh SBT Co., Ltd., yang berbasis di Beijing, Cina. Setahun kemudian, Ruyan SBT Co., Ltd. mengambil alih proyek pengembangannya. Pada 2006, e-Cigarette dibawa ke Eropa, dan diluncurkan resmi pada Konferensi Promosi Luar Negeri di Austria. Setahun kemudian e-Cigarette menerima sertifikat ramah lingkungan (ROHS). Selanjutnya, pabrik rokok elektronik berkembang di India, Inggris, dan Belanda.

Pada September 2008, Badan Kesehatan Dunia (WHO) tidak merekomendasikan rokok elektronik sebagai salah satu sarana terapi berhenti merokok. Keputusan itu diperkuat pertemuan pada Mei 2010, yang memutuskan produk rokok elektronik belum melalui pengujian yang cukup untuk menentukan keamanan konsumsi.

Australia dan Singapura menyatakan penjualan rokok elektronik yang berisi nikotin ilegal. Brasil, Panama, dan Kanada melarang penjualan, impor, atau iklan. Denmark mengklasifikasikannya sebagai produk obat-obatan, demikian juga dengan Selandia Baru. Italia tidak melarang, tapi terikat pada aturan produk yang mengandung nikotin, yakni harus diberi label simbol berbahaya.

Bagan Rokok Elektronik

  • Catridge menahan uap nikotin dalam propylene glycol.
  • Pemanas yang menguapkan nikotin.
  • Sensor untuk mendeteksi ketika rokok diisap.
  • Lampu LED menyala ketika rokok diisap.
  • Microprocessor mengontrol panas dan cahaya.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus