Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdiri di pucuk bukit sampah di tempat pengelolaan sampah terpadu Bantar Gebang, sejauh mata memandang hanya tampak hamparan sampah. Tak ada tanaman. Te rik matahari menusuk-nusuk kulit dan bau busuk menyergap hidung.
Seperti ular naga, ribuan meter pipa hitam membelit pinggang bukit-bukit sampah itu. Ujung-ujung pipa ber diamater sekitar 10 sentimeter itu menghunjam ke perut bukit sampah lewat sumur bor. Di ujung lain, pipa-pipa itu tersambung ke pipa lain yang berdia meter besar-besar yang menjulur masuk ke bangunan seluas lapangan basket.
Bobby Roring, Manajer Teknik PT Navigat Organic Energy Indonesia, mengatakan saat ini ada 100 sumur bor di lokasi pembuang an sampah Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. ”Masih ada puluh an sumur lagi yang sedang dibor,” kata Bobby pekan lalu. Lewat pipa-pipa itulah, gas metana yang dihasilkan dari proses pembu sukan sampah disedot dan dialirkan ke mesin pembangkit listrik.
Jangan anggap remeh gas berbau busuk ini. Dari sumur-sumur gas Bantar Gebang sekarang bisa dihasilkan setrum 2 megawatt. Ini kapasitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan setrum lebih dari 1.700 rumah tangga. Navigat dan mitranya, PT Godang Tua Jaya, berencana terus mendongkrak kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar gas sampah ini hingga 26 megawatt pada 2013. Bagi Navigat, pembangkit listrik gas sampah di Bantar Gebang merupakan proyek kedua setelah pembangkit serupa di pembuangan sampah akhir di Suwung, Denpasar, Bali.
Dua pekan lalu, Direktur Utama PT PLN Dahlan Iskan menyatakan siap membeli setrum yang dihasilkan dari pembuangan sampah seluas 110,3 hektare itu. PLN akan membeli listrik dari Navigat dengan harga Rp 820 per kilowatt jam selama tujuh tahun. ”Setelah lewat tujuh tahun kami akan beli dengan harga lebih murah, yaitu Rp 750 per kilowatt jam,” ujarnya. Harga setrum dari gas sampah ini lebih murah dari listrik yang dihasilkan pembangkit berbahan bakar solar.
Di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, generator setrum berbahan bakar sampah sudah lama populer. Yang membedakan pembangkit setrum sampah di Eropa dan Amerika Serikat adalah teknologinya. Hampir semua pembangkit listrik sampah di negeri Abang Sam, yang rata-rata sudah berumur lebih dari sepuluh tahun, menggunakan bahan bakar gas metana hasil pembusukan sampah. Pembangkit setrum di Eropa, termasuk yang terbesar Vestforbraending, memilih teknologi insinerator, yakni memanfaatkan pembakaran sampah sebagai bahan bakar untuk memanaskan tungku. Hasil pemanasan tungku air inilah menggerakkan turbin pembangkit listrik.
Di seluruh Eropa, sekarang ada 400 pembangkit listrik berbahan bakar sampah. Adapun di seantero Amerika Serikat, ada 87 pembangkit listrik dari gas sampah. Negara kecil seperti Denmark saja memiliki 29 pembangkit listrik dari sampah. Pembangkit setrum terbesarnya, Vestforbraending, berkapasitas 120 megawatt. Bandingkan dengan kapasitas pembangkit listrik bertenaga air di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, yang besarnya 187 megawatt.
Di negeri dengan penduduk lebih dari 230 juta seperti Indonesia, terutama di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, atau Medan, mestinya berlimpah sampah. Sayangnya, bau sampah ini tak banyak dilirik sebagai sumber bahan bakar untuk pembangkit listrik. Padahal di Amerika Serikat kontribusi pembangkit setrum berbahan bakar gas sampah lebih besar dari generator angin, panas bumi, ataupun sel surya.
Manfaat listrik gas sampah, selain lebih murah, juga mengurangi emisi gas rumah kaca. Emisi gas metana dari penimbunan sampah merupakan salah satu penyumbang pemanasan global.
Inti dari penghasil setrum tenaga gas sampah ini bukanlah soal mesin pembangkitnya. ”Yang lebih penting ’merawat’ bukit sampah supaya terus menghasilkan gas metana,” kata Bobby. Setiap hari penduduk Jakarta mengirim lebih dari 5.000 ton sampah ke Bantar Gebang.
Rupa-rupa sampah organik dan an organik itu, tanpa dipilah-pilah lagi, ditimbun di bukit-bukit kecil Bantar Gebang. Setelah empat hingga lima bulan sampah mulai membusuk dan menghasilkan gas. ”Bukan cuma gas metana, tapi juga bercampur dengan karbon dioksida atau nitrogen oksida,” katanya. Gas-gas ini terperangkap dalam bukit-bukit sampah yang sekarang sudah menjulang lebih dari 20 meter. Satu ton sampah diperkirakan dapat menghasilkan gas untuk membangkitkan setrum 65 kilowatt jam.
Supaya gas metana ini tidak terlepas ke udara bebas, Navigat membungkus bukit sampah dengan karpet plastik. Selain untuk membekap gas metana, plastik itu berfungsi mencegah air masuk ke timbunan sampah. Sebab, supaya mikroba pembusuk bekerja optimal, timbunan sampah harus tetap hangat dan lembap. Sampah tidak boleh terendam air. Bukit-bukit sampah ini, jika dirawat dengan baik, akan terus menghasilkan gas metana hingga 25 tahun.
Untuk menyedot gas metana ini, Na vigat mengebor bukit sampah rata-rata sedalam 15 meter. Proses pengeboran harus dilakukan hati-hati. Tidak boleh menembus lapisan tanah, supaya oksigen tidak masuk sumur. Jika menembus sumur, gas oksigen akan bereaksi dengan metana. ”Musuh kami dua, air dan oksigen,” ujar Bobby.
Dengan menggunakan blower, gas hasil pembusukan sampah disedot ke pembangkit. Supaya pembangkit dari Gene ral Electric Jenbacher ini bisa bekerja optimal, kandungan metana dalam gas sampah tak boleh kurang dari 50 persen. ”Kalau sampai kadar metananya turun hingga 40 persen, berarti siaga satu. Harus segera mengebor sumur gas baru,” ujar Batara Erwin Sinaga, Manajer II PT Godang Tua Jaya.
Beberapa sumur di Bantar Gebang, me nurut Bobby, malah menghasilkan gas dengan kandungan metana hingga 70 persen. Mesin GE Jenbacher ini memang dirancang khusus untuk bahan ba kar dari gas sampah yang mengandung rupa-rupa gas. Sehingga tak perlu lagi proses pemisahan metana dari gas lain.
Navigat dan Godang Tua sedang me rancang tempat penimbunan sampah dengan metode baru, yakni structured landfill cell. Di tempat baru ini sampah yang cepat terurai akan dipisahkan dengan sampah anorganik seperti plastik, busa, dan logam. Setiap sel berukuran 50 x 20 meter dengan kedalaman delapan meter akan ditimbun dengan sampah yang gampang membusuk itu. Dengan cara ini, kandungan gas metana yang dihasilkan akan lebih tinggi.
Saluran transmisi listrik ke jaringan PLN kini sudah tersambung ke pembangkit di Bantar Gebang. Bobby mengatakan Navigat masih terus mencoba kestabilan produksi setrum dari pembangkitnya. Tinggal tunggu waktu saja, tak lama lagi setrum akan mengalir dari timbunan sampah di Bantar Gebang menerangi rumah-rumah warga.
Sapto Pradityo, Hamluddin (Bekasi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo