DI layar TVRI stasion Jakarta dewasa ini memang tak muncul lagi
film Rin Tin Tin. Begitu pula serial lain dengan bintangnya yang
bernama Lessie, yang menghikayatkan keakraban persahabatan
anjing dengan manusia.
Sebaliknya, di beberapa koran Ibukota tiap hari ada iklan
jual-beli anjing. Baik jenis herder (rumpunnya si Rin Tin Tin),
maupun collie atau rumpun si Lessie, serta beberapa jenis impor
lain, dari Australia, Jerman, Inggeris. Beberapa waktu lalu
dikabarkan pula santernya pencurian anjing di Jakarta, tanpa
perincian jenis mana saja yang suka digaet. Namun dari jenis
manapun, pencurian itu tetap merisaukan para penggemar hewan
piaraan tersebut. Sebab, siapa tahu kalau motif permalingan itu
sampai mengantar nasib anjing ke perut orang alias jadi
santapan.
Di samping adanya kemungkinan nasib sial itu, ternyata tidak
sedikit yang bernasib baik. Di Jakarta saat ini ditaksir
sedikitnya ada 10.000 herder, jenis piaraan yang terbilang
selangit harganya. Harga terendah bervariasi mulai Rp 300 ribu
hingga Rp 1 juta. Yaitu buat yang berusia dua bulan sampai
setahun. Sedangkan yang telah memiliki kecakapan atau keahlian
tertentu, ada yang berharga Rp 4 juta seekor. Sehingga boleh
diraba kalangan mana saja yang mampu memilikinya bila diingat
menu per-hari ada kalanya mencapai Rp 2.000 untuk seekor.
Suka Memeluk
Harga yang nampaknya serba berkelebihan itu, tentu banyak
bergantung pada apa kelebihan hewan itu. Kelebihan-kelebihan itu
seperti diungkapkan Yakob Budiman Limandarma banyak
sangkut-pautnya dengan mutu pendidikan. Limandarma, 57 tahun,
adalah seorang di antara hanya beberapa gelintir penduduk negeri
ini yang dikenal sebagai guru atau pelatih anjing. Sebenarnya,
menurut Liem, "Tiap orang bisa saja mendidik anjing". Asal tahu
caranya.
Ada 5 pegangan buat melakukan pendidikan: cinta, taat, percaya
diri sendiri, bijaksana, tekun. Rasa cinta bisa ditunjukkan
dengan membelai anjing itu. Atau menuruti kemauan hewan tersebut
-- kecuali bila bersifat merusak. Sehari-hari perlu perlakuan
baik dan tertib. Umpamanya: makan. Perlu jadwal teratur dan
jangan sampai membiarkan makanan sisa tetap ada di tempatnya.
Juga minuman. Jangan sampai dibiarkan basi. Sebab mudah
menimbulkan penyakit. Lalu dalam mengajarkan sesuatu, hindarkan
bentuk pelajaran ganda. Buat menyuruh supaya anjing itu duduk
misalnya. Perintah itu jangan dicabut selama belum dilaksanakan.
Perlu diketahui, anjing punya tabiat menguji kewibawaan tuannya.
Untuk pasal inilah penting sikap percaya pada diri sendiri.
Memang tidak ada yang luar biasa. Sehingga Liem menampik julukan
bahwa ia punya "ilmu" atau semacam jampi-jampi. Sayang binatang,
baginya ak dapat lain seperti halnya sayang kepada anak
manusia. "Malahan sering lebih dari itu", ulas seorang
kenalannya. "Saya pernah melihat Liem sibuk bukan main kalau ada
anjingnya sakit. Padahal, tutur sang kenalan, kalau toh anaknya
sendiri yang sakit, tidaklah Liem serepot itu. Tapi biar begitu,
toh ada batasnya juga. Liem mengaku lidak pernah mencium anjing,
"tapi memeluknya sih, saya suka". Dalam urusan cinta-kasih ini,
Liem tidak menolak perlunya bersikap keras. "Kalau anjing itu
salah, boleh saja dibentak", ujarnya. "Atau kalau perlu
dipukuli". Tapi ada syaratnya pula: ''hukuman mesti dilakukan
pada saat tertangkap basah". Maklum, anjing yang cerdas
sekalipun, toh tetap masuk bilangan makhluk tak berakal. Dan
satu hal boleh diingat, kalau pun terpaksa menghukum dengan
memukul, "jangan sampai pakai kayu, cukup dengan tangan saja
sekedarnya", tambahnya.
Di kediamannya kini, bilangan Cempaka Putih Timur Jakarta, ia
memiliki seekor anjing pribadi, herder, hadiah kenalannya dari
Negeri Belanda. Namanya Ivo, yang dalam usia dua bulan diboyong
ke sini. Pada umurnya yang sekarang, dua tahun, Ivo ganti nama
Dewa. Tapi tetap saja dilayani dalam bahasa ibunya, bahasa
Belanda. Nama itu terpaksa diganti, sebab Ivo bisa
disalahaharnkan dengan nama salah seorang biduanita kita. Tak
enak kan? Lain di Eropa, pemakaian nama orang pada anjing bukan
melupakan hal yang aib. Selain si Dewa, Liem masih menyimpan 11
ekor lagi dari pelbagai jenis. "Tapi itu koleksi anak-anak dan
satu Pekingese punya isteri saya", ujarnya.
Ayah dari 7 anak dan kakek dari cucu ini, juga menyebut
dirinya sebagai papi" buat hewan kesayangannya itu. Ada seekor
anjingnya yang kocak, yaitu dari jenis miniathre pinscher.
Namanya cippy. Perawakannya tak lebih besar dari kucing. "Papi
mau dengar Cippy nyayi. Ayo, nyanyi dong", kata Liem yang
disambut cippy dengan menengadahkan kepalanya sambil melenguh
panjang "kwuk, kwuk, kwuullk . . . ". Itulah nyanyian anjing.
Gila Turunan
Di manca negara sebenarnya terdapat lebih dari seribu jenis
anjing piaraan. Tapi di Indonesia belum lagi mencapai
sepersepuluh. Paling banter terdir dari herder, collie,
pekingese, boxer, chihuahua, bulldog, dan beberapa jenis lagi.
Tentu saja semua impor. "Tapi kalau kita mau, sebetulnya bisa
juga melalui pembiakan", kata Liem seraya menyesali selera impor
di Indonesia yang disebutnya kurang selektif. "Jepang boleh
ditiru. Mereka mendapatkan anjing bagus yang menang kontes
internasional. Lalu dibiakkan, buat diekspor lagi . Asal-asalan
anjing ini penting diketahui. Untuk urusan inilah perlu satu
daftar silsilah, agar kelak tak kecewa. Misalnya, jangan sampai
ada piaraan yang mendadak gila. "Gila itu penyakit turunan,
sama saja dengan manusia. ujar Liem lagi. Tapi anjing yang
bagus memerlukan majikan yang bagus pula sehingga janganlah
sampai pemilik anjing jenis mahal hanya sekedar sebagai
"gengsot" (istilah anak muda Jakarta kini, singkatan dari
"gengsi sok tinggi"
keadaan semacam itu sering ditemui Liem. Ini membuatnya lambat
laun berhati-hati menerima "murid". Sebab di samping mempelajari
watak anjing itu sendiri, sekaligus tak luput diamatinya watak
si pemilik. Singkatnya, ia mau menanamkan faham bahwa
menyekolahkan anjing bukan melulu karena latah. Satu di antara
pengalamannya, begini. Suatu ketika ada murid melamar. Liem
datang ke rumah si murid. Ia diterima oleh sang pemilik murid.
Itu anjingnya, taunya saja sama pelayan", kata sang pemilik.
Yang mengecewakannya bukan soal sambutan terhadap dirinya, tapi
sikap acuh-tak-acuh si pemilik terhadap piaraannya itulah.
Sering terjadi, jatah anjing menyeleweng ke kantong pelayan.
Bisa dimengerti, sebab nyaris kebiasaan orang gedongan, sampai
mengasuh anak sendiri pun adalah urusan pembantu. Tapi pelayan
mana sih yang tak tergoda bila ia cuma bergaji tak lebih Rp
3.000 sebulan ? Sedang buat makanan anjing saja bisa Rp 2.000
sehari. Inilah satu keadaan yang lebih mendekati penganiayaan
ketimbang menyayang binatang. Dan Liem biasanya berfikir 12 kali
buat menerima murid dari pemilik semacam ini.
Kalau toh diterima juga lamaran itu. Tak dapat lain ia sendiri
juga yang bakal kecewa. Sebab sekalipun anak-didiknya berhasil
digembleng, tapi setelah kembali ke tangan pemiliknya dan tak
banyak digubris, niscaya kemampuannya tak bakal berkembang.
Kalau tidak malah akan jadi lebih blo'om Akibatnya. Mana Liem
bakal tercela, meski pada giliran selanjutnya sudah bukan urusan
dia lagi. Ini bisa terbukti dengan salah satu muridnya yang
punya majikan bagus. Setelah lulus dari tangan Liem, dengan
bekal sejumlah kecakapan dan keahlian, anjing itu dipulangkan
pada tuannya. Selang beberapa waktu, bila ketemu Liem anjing itu
bersikap amat berumusuhan dengan si pemilik. Bagaimana bisa
begitu'? "Cuma Liem yang mampu mendidik semacam itu" komentar
seorang penggemar anjing.
Anunya
Liem biasa melatih muridnya di kediaman masing-masing. Enam
tahun silam memang pernah ia berkongsi membuka Dog Training
School di Pejaten, Pasar Minggu. Tapi ia lalu mengundurkan
diri. Dan sebelum hijrah ke Jakarta tahun 1967, ia bahkan sempat
buka peternakan kelinci, kambing dan anjing plus empang ikan di
Padalarang. Juga usaha kongsi, yang malangnya bangkrut.
Perhatiannya lebih tercurah pada anjing, menurut pengakuannya
sudah sejak masa kanak-kana. Ia amat tergugah ketika pada suatu
hari di tahun 1936. ada satu keluarga Belanda di Cirebon yang
bergaul mesra sekali dengan anjingnya. Setahun kemudian bermukim
di Bandung, ia mulai memiliki anjing.
Karirnya sebagai pelatih anjing bermula ketika ia berkenalan
dengan kakak dari kawan sekolahnya yang dikenal sebagai pelatih
anjing. Namanya Ow Tjoan Ho. Liem menyatakan minat ingin belajar
dan Ow mengundangnya ke rumah pada suatu sore. Dua jam sebelum
waktunya Liem sudah datang, tapi calon suhu belum pulang. Sambil
menunggu, Liem mengisi waktu bermain gundu dengan kawannya.
Tanpa disadari hari menjadi sore. Dan waktu perjanjian lewat.
Calon gurunya marah dan pasang janji besok harinya. Kembali
rencana ditangguhkan lantaran Ow ada halangan. Dari hari ke
hari sampai bilangan minggu ada saja halangannya. Namun Liem
toh selalu muncul sesuai dengan perjanjian. Sampai 8 bulan
kemudian, ia baru bisa membawa anjingnya untuk dilatih. Ternyata
halangan demi halangan tadi hanya buatan si guru belaka. "Dan
termasuk pelajaran pertama bagi saya untuk melangkah jadi
pelatih", tutur Liem, yang kemudian sempat juga menurunkan
kebolehannya pada sejumlah kader.
Untuk mendidik seekor anjing sampai patuh dan pemberani,
biasanya diperlukan waktu sekitar 7 bulan. Seminggu 3 kali dan
sekali latihan cukup setengah jam. Sebegitu jauh ia tidak pernah
menyodorkan tarif yang tetap. Menurut seorang pemilik anjing
anggota Perki (organisasi penggemar anjing di Jakarta), "Oom
Liem biasanya minta honor 55 dari harga pembelian anjing itu".
Toh tak selamanya enak. Sebab seperti diutarakannya tadi, Liem
mau selektif. "Kerja begini satu seni juga, lho", ujarnya. "Nah,
kalau saya senang, saya akan melatih anjing tanpa bicara honor".
Tapi dalam keasyikannya bergumul dengan kalangan peranjingan
ini, "jangan tanya lagi sudah berapa kali saya kena gigit"
tambahnya. Biasa, seperti peribahasa bilang "main air basah,
main api hangus".
Maka Liem juga tak luput dari bilangan puluhan cedera digigit
anjing. Cuma syukur tak mesti sampai terbaring di rumah sakit.
Luka dijahit pun nampak pantang. Bagaimana mungkin? Ini
resepnya. "Kalau digigit anjing, kapan dan pada bagian apa juga,
ambil kapas yang dibasahi alkohol. Tekankan pada luka kuat-kuat
dan terus-menerus. Perihnya bukan main, tapi lama-lama kulit
itu akan rapat kembali". Toh satu di antara lukanya ada yang
dijahit. Ini termasuk kecuali. Pada satu kali ada seekor anjing
milik dokter yang dilatih Liem. Murid itu galak sekali. Ada
seorang yang berminat membeli dan mendekati, mendadak anjing itu
menyerang. Liem dijadikan perisai. Tak urung dia kena.
Celakanya, tak jauh dari pangkal anunya. Sehingga dokter tadi
yang merasa bertanggung jawab, serta merta menjahit lukanya
sepanjang 15 Cm itu. Apa boleh buat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini