Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

"Papi" Buat Kawanan Anjing

Anjing yang terlatih berharga jutaan rupiah. Di Jakarta ada pelatih anjing bernama yacob budiman limandarma. melatih anjing tak sulit asal tahu caranya. (sd)

10 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI layar TVRI stasion Jakarta dewasa ini memang tak muncul lagi film Rin Tin Tin. Begitu pula serial lain dengan bintangnya yang bernama Lessie, yang menghikayatkan keakraban persahabatan anjing dengan manusia. Sebaliknya, di beberapa koran Ibukota tiap hari ada iklan jual-beli anjing. Baik jenis herder (rumpunnya si Rin Tin Tin), maupun collie atau rumpun si Lessie, serta beberapa jenis impor lain, dari Australia, Jerman, Inggeris. Beberapa waktu lalu dikabarkan pula santernya pencurian anjing di Jakarta, tanpa perincian jenis mana saja yang suka digaet. Namun dari jenis manapun, pencurian itu tetap merisaukan para penggemar hewan piaraan tersebut. Sebab, siapa tahu kalau motif permalingan itu sampai mengantar nasib anjing ke perut orang alias jadi santapan. Di samping adanya kemungkinan nasib sial itu, ternyata tidak sedikit yang bernasib baik. Di Jakarta saat ini ditaksir sedikitnya ada 10.000 herder, jenis piaraan yang terbilang selangit harganya. Harga terendah bervariasi mulai Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta. Yaitu buat yang berusia dua bulan sampai setahun. Sedangkan yang telah memiliki kecakapan atau keahlian tertentu, ada yang berharga Rp 4 juta seekor. Sehingga boleh diraba kalangan mana saja yang mampu memilikinya bila diingat menu per-hari ada kalanya mencapai Rp 2.000 untuk seekor. Suka Memeluk Harga yang nampaknya serba berkelebihan itu, tentu banyak bergantung pada apa kelebihan hewan itu. Kelebihan-kelebihan itu seperti diungkapkan Yakob Budiman Limandarma banyak sangkut-pautnya dengan mutu pendidikan. Limandarma, 57 tahun, adalah seorang di antara hanya beberapa gelintir penduduk negeri ini yang dikenal sebagai guru atau pelatih anjing. Sebenarnya, menurut Liem, "Tiap orang bisa saja mendidik anjing". Asal tahu caranya. Ada 5 pegangan buat melakukan pendidikan: cinta, taat, percaya diri sendiri, bijaksana, tekun. Rasa cinta bisa ditunjukkan dengan membelai anjing itu. Atau menuruti kemauan hewan tersebut -- kecuali bila bersifat merusak. Sehari-hari perlu perlakuan baik dan tertib. Umpamanya: makan. Perlu jadwal teratur dan jangan sampai membiarkan makanan sisa tetap ada di tempatnya. Juga minuman. Jangan sampai dibiarkan basi. Sebab mudah menimbulkan penyakit. Lalu dalam mengajarkan sesuatu, hindarkan bentuk pelajaran ganda. Buat menyuruh supaya anjing itu duduk misalnya. Perintah itu jangan dicabut selama belum dilaksanakan. Perlu diketahui, anjing punya tabiat menguji kewibawaan tuannya. Untuk pasal inilah penting sikap percaya pada diri sendiri. Memang tidak ada yang luar biasa. Sehingga Liem menampik julukan bahwa ia punya "ilmu" atau semacam jampi-jampi. Sayang binatang, baginya ak dapat lain seperti halnya sayang kepada anak manusia. "Malahan sering lebih dari itu", ulas seorang kenalannya. "Saya pernah melihat Liem sibuk bukan main kalau ada anjingnya sakit. Padahal, tutur sang kenalan, kalau toh anaknya sendiri yang sakit, tidaklah Liem serepot itu. Tapi biar begitu, toh ada batasnya juga. Liem mengaku lidak pernah mencium anjing, "tapi memeluknya sih, saya suka". Dalam urusan cinta-kasih ini, Liem tidak menolak perlunya bersikap keras. "Kalau anjing itu salah, boleh saja dibentak", ujarnya. "Atau kalau perlu dipukuli". Tapi ada syaratnya pula: ''hukuman mesti dilakukan pada saat tertangkap basah". Maklum, anjing yang cerdas sekalipun, toh tetap masuk bilangan makhluk tak berakal. Dan satu hal boleh diingat, kalau pun terpaksa menghukum dengan memukul, "jangan sampai pakai kayu, cukup dengan tangan saja sekedarnya", tambahnya. Di kediamannya kini, bilangan Cempaka Putih Timur Jakarta, ia memiliki seekor anjing pribadi, herder, hadiah kenalannya dari Negeri Belanda. Namanya Ivo, yang dalam usia dua bulan diboyong ke sini. Pada umurnya yang sekarang, dua tahun, Ivo ganti nama Dewa. Tapi tetap saja dilayani dalam bahasa ibunya, bahasa Belanda. Nama itu terpaksa diganti, sebab Ivo bisa disalahaharnkan dengan nama salah seorang biduanita kita. Tak enak kan? Lain di Eropa, pemakaian nama orang pada anjing bukan melupakan hal yang aib. Selain si Dewa, Liem masih menyimpan 11 ekor lagi dari pelbagai jenis. "Tapi itu koleksi anak-anak dan satu Pekingese punya isteri saya", ujarnya. Ayah dari 7 anak dan kakek dari cucu ini, juga menyebut dirinya sebagai papi" buat hewan kesayangannya itu. Ada seekor anjingnya yang kocak, yaitu dari jenis miniathre pinscher. Namanya cippy. Perawakannya tak lebih besar dari kucing. "Papi mau dengar Cippy nyayi. Ayo, nyanyi dong", kata Liem yang disambut cippy dengan menengadahkan kepalanya sambil melenguh panjang "kwuk, kwuk, kwuullk . . . ". Itulah nyanyian anjing. Gila Turunan Di manca negara sebenarnya terdapat lebih dari seribu jenis anjing piaraan. Tapi di Indonesia belum lagi mencapai sepersepuluh. Paling banter terdir dari herder, collie, pekingese, boxer, chihuahua, bulldog, dan beberapa jenis lagi. Tentu saja semua impor. "Tapi kalau kita mau, sebetulnya bisa juga melalui pembiakan", kata Liem seraya menyesali selera impor di Indonesia yang disebutnya kurang selektif. "Jepang boleh ditiru. Mereka mendapatkan anjing bagus yang menang kontes internasional. Lalu dibiakkan, buat diekspor lagi . Asal-asalan anjing ini penting diketahui. Untuk urusan inilah perlu satu daftar silsilah, agar kelak tak kecewa. Misalnya, jangan sampai ada piaraan yang mendadak gila. "Gila itu penyakit turunan, sama saja dengan manusia. ujar Liem lagi. Tapi anjing yang bagus memerlukan majikan yang bagus pula sehingga janganlah sampai pemilik anjing jenis mahal hanya sekedar sebagai "gengsot" (istilah anak muda Jakarta kini, singkatan dari "gengsi sok tinggi" keadaan semacam itu sering ditemui Liem. Ini membuatnya lambat laun berhati-hati menerima "murid". Sebab di samping mempelajari watak anjing itu sendiri, sekaligus tak luput diamatinya watak si pemilik. Singkatnya, ia mau menanamkan faham bahwa menyekolahkan anjing bukan melulu karena latah. Satu di antara pengalamannya, begini. Suatu ketika ada murid melamar. Liem datang ke rumah si murid. Ia diterima oleh sang pemilik murid. Itu anjingnya, taunya saja sama pelayan", kata sang pemilik. Yang mengecewakannya bukan soal sambutan terhadap dirinya, tapi sikap acuh-tak-acuh si pemilik terhadap piaraannya itulah. Sering terjadi, jatah anjing menyeleweng ke kantong pelayan. Bisa dimengerti, sebab nyaris kebiasaan orang gedongan, sampai mengasuh anak sendiri pun adalah urusan pembantu. Tapi pelayan mana sih yang tak tergoda bila ia cuma bergaji tak lebih Rp 3.000 sebulan ? Sedang buat makanan anjing saja bisa Rp 2.000 sehari. Inilah satu keadaan yang lebih mendekati penganiayaan ketimbang menyayang binatang. Dan Liem biasanya berfikir 12 kali buat menerima murid dari pemilik semacam ini. Kalau toh diterima juga lamaran itu. Tak dapat lain ia sendiri juga yang bakal kecewa. Sebab sekalipun anak-didiknya berhasil digembleng, tapi setelah kembali ke tangan pemiliknya dan tak banyak digubris, niscaya kemampuannya tak bakal berkembang. Kalau tidak malah akan jadi lebih blo'om Akibatnya. Mana Liem bakal tercela, meski pada giliran selanjutnya sudah bukan urusan dia lagi. Ini bisa terbukti dengan salah satu muridnya yang punya majikan bagus. Setelah lulus dari tangan Liem, dengan bekal sejumlah kecakapan dan keahlian, anjing itu dipulangkan pada tuannya. Selang beberapa waktu, bila ketemu Liem anjing itu bersikap amat berumusuhan dengan si pemilik. Bagaimana bisa begitu'? "Cuma Liem yang mampu mendidik semacam itu" komentar seorang penggemar anjing. Anunya Liem biasa melatih muridnya di kediaman masing-masing. Enam tahun silam memang pernah ia berkongsi membuka Dog Training School di Pejaten, Pasar Minggu. Tapi ia lalu mengundurkan diri. Dan sebelum hijrah ke Jakarta tahun 1967, ia bahkan sempat buka peternakan kelinci, kambing dan anjing plus empang ikan di Padalarang. Juga usaha kongsi, yang malangnya bangkrut. Perhatiannya lebih tercurah pada anjing, menurut pengakuannya sudah sejak masa kanak-kana. Ia amat tergugah ketika pada suatu hari di tahun 1936. ada satu keluarga Belanda di Cirebon yang bergaul mesra sekali dengan anjingnya. Setahun kemudian bermukim di Bandung, ia mulai memiliki anjing. Karirnya sebagai pelatih anjing bermula ketika ia berkenalan dengan kakak dari kawan sekolahnya yang dikenal sebagai pelatih anjing. Namanya Ow Tjoan Ho. Liem menyatakan minat ingin belajar dan Ow mengundangnya ke rumah pada suatu sore. Dua jam sebelum waktunya Liem sudah datang, tapi calon suhu belum pulang. Sambil menunggu, Liem mengisi waktu bermain gundu dengan kawannya. Tanpa disadari hari menjadi sore. Dan waktu perjanjian lewat. Calon gurunya marah dan pasang janji besok harinya. Kembali rencana ditangguhkan lantaran Ow ada halangan. Dari hari ke hari sampai bilangan minggu ada saja halangannya. Namun Liem toh selalu muncul sesuai dengan perjanjian. Sampai 8 bulan kemudian, ia baru bisa membawa anjingnya untuk dilatih. Ternyata halangan demi halangan tadi hanya buatan si guru belaka. "Dan termasuk pelajaran pertama bagi saya untuk melangkah jadi pelatih", tutur Liem, yang kemudian sempat juga menurunkan kebolehannya pada sejumlah kader. Untuk mendidik seekor anjing sampai patuh dan pemberani, biasanya diperlukan waktu sekitar 7 bulan. Seminggu 3 kali dan sekali latihan cukup setengah jam. Sebegitu jauh ia tidak pernah menyodorkan tarif yang tetap. Menurut seorang pemilik anjing anggota Perki (organisasi penggemar anjing di Jakarta), "Oom Liem biasanya minta honor 55 dari harga pembelian anjing itu". Toh tak selamanya enak. Sebab seperti diutarakannya tadi, Liem mau selektif. "Kerja begini satu seni juga, lho", ujarnya. "Nah, kalau saya senang, saya akan melatih anjing tanpa bicara honor". Tapi dalam keasyikannya bergumul dengan kalangan peranjingan ini, "jangan tanya lagi sudah berapa kali saya kena gigit" tambahnya. Biasa, seperti peribahasa bilang "main air basah, main api hangus". Maka Liem juga tak luput dari bilangan puluhan cedera digigit anjing. Cuma syukur tak mesti sampai terbaring di rumah sakit. Luka dijahit pun nampak pantang. Bagaimana mungkin? Ini resepnya. "Kalau digigit anjing, kapan dan pada bagian apa juga, ambil kapas yang dibasahi alkohol. Tekankan pada luka kuat-kuat dan terus-menerus. Perihnya bukan main, tapi lama-lama kulit itu akan rapat kembali". Toh satu di antara lukanya ada yang dijahit. Ini termasuk kecuali. Pada satu kali ada seekor anjing milik dokter yang dilatih Liem. Murid itu galak sekali. Ada seorang yang berminat membeli dan mendekati, mendadak anjing itu menyerang. Liem dijadikan perisai. Tak urung dia kena. Celakanya, tak jauh dari pangkal anunya. Sehingga dokter tadi yang merasa bertanggung jawab, serta merta menjahit lukanya sepanjang 15 Cm itu. Apa boleh buat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus