PARA eksportir boleh bersorak. Tapi tak demikian halnya dengan
mereka yang baru menerima gaji di awal April ini. Naiknya harga
minyak, yang diumumkan Menteri Pertambangan sehari setelah paket
1 April bagi para eksportir itu, kembali membuat banyak orang
jadi bersungut. Sekalipun sudah merupakan hal yang rutin terjadi
setiap tahun, akibatnya cukup membuat pusing golongan masyarakat
yang bergaji tetap. Begitu Pemerintah mengumumkan kenaikan harga
minyak secepat itu pula para pedagang memasang harga baru.
Meskipun yang mereka jual itu termasuk stok bulan lalu.
Benar juga. Dalam sejarah kenaikannya yang ke-7 kali sejak
lahirnya Kabinet Pembangunan, minyak rupanya telah menyaingi
kedudukan beras sebagai barometer harga. Sedikit saja dikutik
harganya, efeknya akan cepat terasa di pasaran. Bahwa Pemerintah
akan menaikkan harga bahan bakar dalam negeri memang sudah bisa
diduga dari RAPBN 76/77 ini. Tapi berbeda dengan "pos penerimaan
minyak lainnya" dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya, kali ini
Pemerintah mengharapkan penerimaan yang positif sebanyak Rp 18
milyar dari penjualan minyak dalam negeri. Di tahun 1974/1975
pos penerimaan minyak menunjukkan angka yang negatif Rp 16
milyar. Sedang di tahun anggaran 1975/1976 pos tersebut
menunjukkan angka minus Rp 31 milyar. Dengan kata lain, mulai
sekarang Pemerintah ingin menghapuskan subsidi minyak.
Pertamina
Penghapusan subsidi itu sendiri memang bisa dimengerti.
Pertamina yang masih ditindih hutang, tak bisa lagi diharapkan
seroyal dulu. Tapi yang menjadi pertanyaan: adakah kenaikan
harga bahan bakar sekarang akan menyulut laju inflasi lagi?
Pengalaman di tahun-tahun yang silam menunjukkan bahwa kenaikan
harga bahan bakar tak selalu menimbulkan kenaikan harga yang
hebat. Juga kenaikan sekarang -- yang kebetulan jatuh bersamaan
dengan musim panen. Bagaimana harga-harga baru itu akan
menjelma di pasaran, memang masih harus dilihat
perkembangannya. Turunnya harga beras sebanyak 2%, Maret kemarin
sedikit banyak diharapkan akan bisa mengerem kenaikan
barang-barang lainnya. Namun hangatnya harga bahan bakar yang
baru, dikuatirkan akan memperbesar kembali harga-harga kebutuhan
pokok. Pemerintah memang cukup awas untuk tidak menembakkan
kenaikan harga bahan bakar yang sekarang pada minyak tanah.
Jenis minyak yang ini resminya hanya naik dua perak
dibandingkan dengan tarif resmi di tahun sebelumnya. Tapi
kenaikan bensin premium yang paling banyak dipakai setelah
minyak tanah dan Solar, dengan Rp 13 seliter, (naik 22,8%) mudah
ditebak akan menyeret harga-harga barang, dengan naiknya tarif
angkutan: suatu hal yang lazim terjadi setiap kali timbul
kenaikan harga bahan bakar.
Tapi yang agaknya paling mendor ong pemerintah adalah suhu
inflasi yang belum mereda. Inflasi pada akhir APBN 75/76
Maret kemarin ternyata masih bertengger pada ketinggian
19,8%. Selama tingkat inflasi masih tinggi, bisa dipastikan
pemerintah akan tetap menyesuaikan harga minyaknya. Satu dan
lain hal adalah untuk menghindari pemberian subsidi yang hesar
itu. Kapan kiranya harga minyak tak akan dikutak-kutik lagi.
Entahlah. Seorang pejabat keuangan memberikan jawaban yang agak
kecut ketika ditanya soal ini. "Mungkin kalau inflasi sudah
bisa ditekan sampai 5%, harga minyak di dalam negeri baru akan
stabil", katanya. Pejabat itu sendiri tak mampu meramalkan kapan
kiranya itu terjadi. Yang pasti inflasi masih terasa su1it untuk
dijinakkan di tahun 1976 ini: tahun yang penuh kegoncangan dan
ketidakpastian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini