TIDAK seseru film A Few Dollar More Tapi dengan menggendong
akibat hutang Pertamina yang sekitar AS $ 9 milyar, pemerintah
tampak menggencarkan tembakannya untuk meraih setiap dollar yang
mungkin terjangkau. Salah satunya, terbukti awal April pekan
lalu, ialah di bidang ekspor.
Bisnis di sini cukup kecut. Tahun kemarin ekspor Indonesia
mundur, turun AS $ 326 juta dibanding 1974. Seluruh bahan utama
ekspor merosot. Karet malah mulur ke bawah sampai 25%.
Untunglah: tiga bulan terakhir ini harga karet dan timah -- dua
komoditi ekspor utama Indonesia -- sudah menunjukkan angka
baik. Ekspor Indonesia Januari kemarin sudah lebih tinggi
bulan yang sama setahun sebelumnya. Maka, tak ayal lagi,
pemerintah memutuskan satu tindakan di bidang ekspor yang tak
mungkin ditunggu lagi pajak ekspor secara drastis kini
dikurangi atau dihapuskan sama sekali.
Pratis 0%
Bahan utama seperti karet dan kopi kini pajak ekspornya hanya
5% (sebelumnya: 10%). Pajak ekspor bahan lainnya praktis 0%.
Kalau tadinya ada sejumlah 184 bahan yang dikenakan pajak ekspor
10% atau 70% dari seluruil jumlah bahan ekspor, maka kini yang
dikenakan pajak 10% praktis cuma beberapa jenis kayu jati dan
bahan logam. Inipun bukan karena pemerintah masih menginginkan
pajak ekspor dari komoditi ini tapi karena komoditi kian kurang
jumlahnya, tak cukup buat keperluan dan negeri sendiri.
Rupanya penurunan pajak ekspor ini sudah diperhitungkan pada
waktu penyusunan RAPBN 76/77. Sebab disitu ternyata bahwa
penerimaan pajak ekspor diperkirakan hanya akan mencapai Rp 36
milayar, separuh dari jumlah yang dikumpulkan pada tahun
anggaran sebelumnya. Dan berkaitan dengan diturunkannya pajak
ekspor ini, bea masuk barang impor yang digunakan untuk
memprodusir barang ekspor juga dihapuskan. Jadi, komponen utama
dalam struktur harga bahan ekspor sudah dikurangi. Ini
diharapkan akan memperbaiki posisi sangat bahan ekspor ini di
pasaran Internasional.
Berbagai pungutan yang selama ini menjengkelkan eksportir juga
dihapus. Pungutan Cess ditiadakan lagi. Tapi bantuan Menteri
Dalam Negeri rupanya masih diperlukan, untuk membuat instruksi
khusus kepada bawahan-bawahannya di daerah untuk tak melakukan
pungutan dalam bentuk apapun kepada eksportir. Tapi orang masih
saja skeptis apakah pungutan siluman bisa dihapus sama sekali.
Untungnya pungutan selama ini memang terjadi karena adanya
kesediaan dua pihak, baik eksportir maupun si pemungut sendiri.
Sikap skeptis ini tak akan hilang, sekalipun Menteri Perdagangan
Radius Praeiro di depsn pers tempo hari sudah menjanjikan
"tindakan tak pandang bulu" terhadap pejabat yang melangggar.
Tapi pemerintah tak berhenti cuma di situ. Bunga kredit untuk
ekspor yang tadinya 15% kini diturunkan dengan 12%. Artinya
sama dengan bunga yang dipungut untuk kredit Bimas. "Karenanya
kredit ekspor ini merupakan kredit prioritas", kata Radius.
Hanya yang jadi soal: apakah dana perkreditan yang diperlukan
akan cukup tersedia, mengingat bahwa 1976 ini akan terjadi
perebutan dana kredit dari perbankan antara sektor pemerintah
dan sektor swasta? Kurangnya dana investasi pemerintah dalam
tahun anggaran ini, meyebabkan pesero-pesero negara akan
meningkatkan permintaan kredit dari perbankan. Dan karena tak
adanya pertambahan yang cepat pada dana kredit, maka dana yang
tersedia untuk sektor swasta akan terbatas.
Kartel
Di samping itu tarip pengapalan selama ini merupakan unsur yang
melemahkan daya saing barang ekspor Indonesia. Kebijaksanaan
yang ditempuh pemerintah dalam bidang angkutan laut selama ini
rupanya terlalu jauh mengkaitkan diri dengan kartel perusahaan
kapal (Conference Liner), hingga nasib eksortir terlalu banyak
berada di tangan perusahaan kartel ini. Demikian pula adanya
pungutan di pelabuhan seperti OPP, OPT, dan ongkos administrasi
pelabuhan (yang seharusnya tak menjadi beban pemakai jasa
kapal). Selama itu cukup menambah beban eksportir. Celakanya,
ketika pungutan pelabuhan di luar negeri turun, berhubung adanya
kelebihan kapasitas kapal, justru pungutan di sini malah naik.
Dengan sendirinya sulit bagi eksportir di sini untuk bersaing
dengan eksportir negara lain. Apalagi sistim tarip muatan
Conference Liner yang memang kurang menghltungkan eksportir
Indonesia. Sebagai contoh, tarip angkutan kopi per ton ke Eropa
Barat dari Indonesia US$ 101 per ton, tapi dari Malaysia hanya
US$ 89 dan dari Singapura US$ 76 per ton. Tarip muatan kayu
gergajian dari sini US$ 6 per m3, tapi dari Pilipina hanya US$
40 per m3. Maka dalam angkutan laut ini sudah logis kalau
pemerintah menurunkan bukan saja tarip angkutan laut dengan 10%
di bawah tarip yang wajar, tapi juga menurunkan tarip sewa
gudang, OPP/OPT, serta penurunan biaa inslag-litslag.
Eksportir sudah boleh bersorak memang, tapi belum keras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini