Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hip, Hip Hore ? Hip, Hip, Hore ?

Volume ekspor Indonesia merosot. Sementara pemerintah butuh dolar buat bayar hutang pertamina yang mencapai milyaran dolar. Karena itu pemerintah memutuskan menurunkan pajak ekspor sampai 0%. (eb)

10 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK seseru film A Few Dollar More Tapi dengan menggendong akibat hutang Pertamina yang sekitar AS $ 9 milyar, pemerintah tampak menggencarkan tembakannya untuk meraih setiap dollar yang mungkin terjangkau. Salah satunya, terbukti awal April pekan lalu, ialah di bidang ekspor. Bisnis di sini cukup kecut. Tahun kemarin ekspor Indonesia mundur, turun AS $ 326 juta dibanding 1974. Seluruh bahan utama ekspor merosot. Karet malah mulur ke bawah sampai 25%. Untunglah: tiga bulan terakhir ini harga karet dan timah -- dua komoditi ekspor utama Indonesia -- sudah menunjukkan angka baik. Ekspor Indonesia Januari kemarin sudah lebih tinggi bulan yang sama setahun sebelumnya. Maka, tak ayal lagi, pemerintah memutuskan satu tindakan di bidang ekspor yang tak mungkin ditunggu lagi pajak ekspor secara drastis kini dikurangi atau dihapuskan sama sekali. Pratis 0% Bahan utama seperti karet dan kopi kini pajak ekspornya hanya 5% (sebelumnya: 10%). Pajak ekspor bahan lainnya praktis 0%. Kalau tadinya ada sejumlah 184 bahan yang dikenakan pajak ekspor 10% atau 70% dari seluruil jumlah bahan ekspor, maka kini yang dikenakan pajak 10% praktis cuma beberapa jenis kayu jati dan bahan logam. Inipun bukan karena pemerintah masih menginginkan pajak ekspor dari komoditi ini tapi karena komoditi kian kurang jumlahnya, tak cukup buat keperluan dan negeri sendiri. Rupanya penurunan pajak ekspor ini sudah diperhitungkan pada waktu penyusunan RAPBN 76/77. Sebab disitu ternyata bahwa penerimaan pajak ekspor diperkirakan hanya akan mencapai Rp 36 milayar, separuh dari jumlah yang dikumpulkan pada tahun anggaran sebelumnya. Dan berkaitan dengan diturunkannya pajak ekspor ini, bea masuk barang impor yang digunakan untuk memprodusir barang ekspor juga dihapuskan. Jadi, komponen utama dalam struktur harga bahan ekspor sudah dikurangi. Ini diharapkan akan memperbaiki posisi sangat bahan ekspor ini di pasaran Internasional. Berbagai pungutan yang selama ini menjengkelkan eksportir juga dihapus. Pungutan Cess ditiadakan lagi. Tapi bantuan Menteri Dalam Negeri rupanya masih diperlukan, untuk membuat instruksi khusus kepada bawahan-bawahannya di daerah untuk tak melakukan pungutan dalam bentuk apapun kepada eksportir. Tapi orang masih saja skeptis apakah pungutan siluman bisa dihapus sama sekali. Untungnya pungutan selama ini memang terjadi karena adanya kesediaan dua pihak, baik eksportir maupun si pemungut sendiri. Sikap skeptis ini tak akan hilang, sekalipun Menteri Perdagangan Radius Praeiro di depsn pers tempo hari sudah menjanjikan "tindakan tak pandang bulu" terhadap pejabat yang melangggar. Tapi pemerintah tak berhenti cuma di situ. Bunga kredit untuk ekspor yang tadinya 15% kini diturunkan dengan 12%. Artinya sama dengan bunga yang dipungut untuk kredit Bimas. "Karenanya kredit ekspor ini merupakan kredit prioritas", kata Radius. Hanya yang jadi soal: apakah dana perkreditan yang diperlukan akan cukup tersedia, mengingat bahwa 1976 ini akan terjadi perebutan dana kredit dari perbankan antara sektor pemerintah dan sektor swasta? Kurangnya dana investasi pemerintah dalam tahun anggaran ini, meyebabkan pesero-pesero negara akan meningkatkan permintaan kredit dari perbankan. Dan karena tak adanya pertambahan yang cepat pada dana kredit, maka dana yang tersedia untuk sektor swasta akan terbatas. Kartel Di samping itu tarip pengapalan selama ini merupakan unsur yang melemahkan daya saing barang ekspor Indonesia. Kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah dalam bidang angkutan laut selama ini rupanya terlalu jauh mengkaitkan diri dengan kartel perusahaan kapal (Conference Liner), hingga nasib eksortir terlalu banyak berada di tangan perusahaan kartel ini. Demikian pula adanya pungutan di pelabuhan seperti OPP, OPT, dan ongkos administrasi pelabuhan (yang seharusnya tak menjadi beban pemakai jasa kapal). Selama itu cukup menambah beban eksportir. Celakanya, ketika pungutan pelabuhan di luar negeri turun, berhubung adanya kelebihan kapasitas kapal, justru pungutan di sini malah naik. Dengan sendirinya sulit bagi eksportir di sini untuk bersaing dengan eksportir negara lain. Apalagi sistim tarip muatan Conference Liner yang memang kurang menghltungkan eksportir Indonesia. Sebagai contoh, tarip angkutan kopi per ton ke Eropa Barat dari Indonesia US$ 101 per ton, tapi dari Malaysia hanya US$ 89 dan dari Singapura US$ 76 per ton. Tarip muatan kayu gergajian dari sini US$ 6 per m3, tapi dari Pilipina hanya US$ 40 per m3. Maka dalam angkutan laut ini sudah logis kalau pemerintah menurunkan bukan saja tarip angkutan laut dengan 10% di bawah tarip yang wajar, tapi juga menurunkan tarip sewa gudang, OPP/OPT, serta penurunan biaa inslag-litslag. Eksportir sudah boleh bersorak memang, tapi belum keras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus