Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

"Saya yang Pertama Masuk Tim-Tim"

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMAH di Jalan Bondowoso 10 itu, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, rimbun oleh pepohonan. Kecuali ada dua antena parabola yang mendongak ke langit di atapnya, rumah itu berkesan bersahaja, bahkan?kalau malam?sangat temaram.

Ruang tamunya berisi satu set meja kursi berukir dan penyekat ruangan bergambar sembilan naga dari giok. Aroma kucing dan anjing yang khas langsung menyergap hidung begitu kita masuk ke ruang tamu. "Istri saya senang kucing. Koleksinya ada 40 ekor," kata si empunya rumah, Aloysius Sugianto. Ia sendiri mengaku lebih suka anjing.

Sugianto adalah bekas anggota Opsus (operasi khusus), sebuah badan intelijen yang dibentuk Ali Moertopo di pertengahan 1960-an. Pada masa jayanya, sepak terjang Sugianto sebagai perwira intelijen termasuk mencengangkan?meski kontroversial. Bayangkan saja, ia pernah terlibat dalam proses pembentukan Golkar, operasi pembebasan Irian Barat, pendirian perserikatan negara Asia Tenggara (ASEAN), dan?mungkin yang paling sensasional?persiapan "integrasi" Timor Timur ke Indonesia.

Sebagai prajurit, pengalaman bertempurnya lengkap. Dia, misalnya, sudah turun ke medan tempur sejak zaman revolusi kemerdekaan, lantas ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, serta penumpasan pemberontak Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku dan juga Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat. Ia bahkan pernah menjadi ajudan Jenderal Slamet Riyadi dan Jenderal Soedirman.

Lahir di Yogyakarta, 25 Juni 1928, Sugianto besar di Solo. Ia menikah dengan seorang putri Solo. Sarwitri Sakuntala namanya. Mereka dikaruniai putra tunggal, Danang Priyanto. Di masa pensiun sekarang ini, ia terlihat sangat menikmati hidup. Badannya masih tegap dan sehat untuk orang seusianya, hasil main tenis seminggu dua kali dan golf.

Dalam usia yang terhitung lanjut, Sugianto tetap sibuk. Waktunya habis untuk mengurus pelbagai kegiatan. Maklum, ia menjabat Ketua Perhimpunan Kinologi Indonesia (Perkin), sebuah masyarakat pencinta anjing ras; Direktur Utama PT Pramukti Semesta, yang mengelola Rumah Sakit Hewan Jakarta; sekaligus Ketua Himpunan Kerabat Mangkunegaran Suryo Sumirat, sejak tahun lalu; serta Ketua Yayasan Bakti Yudha. Ia juga punya bisnis plywood di Kalimantan.

Sugianto juga pernah "tersandung". Majalah hiburan Pop yang dipimpinnya, pada pertengahan 1970-an, menurunkan tulisan soal silsilah mantan presiden Soeharto. Soeharto marah besar karenanya. Pop dibredel dan pemimpin redaksinya, Rey Hanintyo, masuk bui. Sugianto sendiri bebas. Tapi, "Karir militer saya habis," kata penyandang pangkat kolonel ini.

Sesekali ia merawat koleksi benda pusakanya. Salah satu koleksinya adalah pusaka milik punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, hadiah dari Saptoto, pematung Yogyakarta. Sugianto sendiri memang seorang pengagum Semar, yang punya falsafah hidup mengabdi. "Saya pemilik patung Semar terbesar di Indonesia," katanya. Patung karya Saptoto itu berada di Tawangmangu, kawasan wisata di Jawa Tengah.

Untuk mengetahui lebih lanjut soal Opsus, Timor Timur, dan silsilah Soeharto, Iwan Setiawan, Wicaksono, dan fotografer Robin Ong menemui Sugianto di rumahnya. Berikut ini petikannya.


Apa sih sebenarnya Opsus itu?

Bagaimana, ya. Sulit untuk menggambarkan Opsus secara persis. Yang jelas, Opsus itu tugasnya memang menangani persoalan-persoalan khusus. Tugasnya banyak berhubungan dengan intelijen. Dalam bidang intelijen, biasanya ada dua bagian. Ada bagian yang bertugas menyusun konsep, mencari semua informasi, membuat suatu keputusan, dan menyusun operasi. Dan bagian lainnya adalah yang melaksanakan operasi tersebut. Saya sendiri ada di bagian pelaksana.

Apa saja tugas Opsus dan sejauh mana wewenangnya?

Pokoknya all-round. Semua masalah yang dianggap penting saat itu ditangani Opsus, terutama yang berhubungan dengan intelijen.

Dilihat dari luasnya ruang gerak Opsus, dari mana dana operasional Opsus diperoleh?

Kami bisa menghimpun dana dengan cara kami, begitulah. Tapi, untuk operasi resmi, seperti pembebasan Irian Barat, itu kan dananya ditanggung pemerintah.

Apa yang Anda maksud dengan "cara kami" itu? Apa misalnya?

Sulit dong jika saya harus mengatakan bagaimana cara kami memperoleh dana. Tapi salah satu pendanaan Opsus itu diperoleh dari keagenan pengapalan yang ditangani oleh Sumendap, misalnya.

Apakah Pak Harto juga ikut mendanai Opsus?

Enggak, enggak ada.

Benarkah saat itu CIA memberi dana kepada Opsus?

Enggak, enggak benar.

Siapa yang menggagas ide Opsus? Soeharto atau Ali Moertopo?

Persisnya saya enggak tahu. Yang pasti, enggak mungkin Ali Moertopo membentuk Opsus tanpa seizin Pak Harto. Saat itu Ali Moertopo kan asisten pribadi Pak Harto. Tentunya segala sesuatu yang dilakukannya pasti sepengetahuan Presiden. Kemungkinan besar ide pembentukan Opsus berasal dari Pak Harto.

Jenderal Soemitro pernah bilang bahwa keberadaan Opsus justru "mengacau" komando dalam ABRI karena tugas Opsus sering tumpang tindih dengan ABRI.

Setelah saya membaca buku Pak Soemitro tentang peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari), banyak isinya yang enggak benar. Sebenarnya kami ingin meluruskan hal tersebut. Tapi, karena Pak Mitro sudah meninggal, kurang adil rasanya jika kami membantah pendapatnya saat ia sudah tiada. Sebenarnya enggak tumpang tindih, malahan apa yang dilakukan Opsus itu membantu tugas-tugas ABRI jadi sinergis sifatnya. Harus dipahami, dong, kondisi Indonesia pada 1960-an kan masih serba darurat. Saat itu belum ada lembaga intelijen resmi. Baru setelah peristiwa Malari, dibentuk Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Anggota Bakin itu pun pertama kalinya direkrut dari bekas anggota Opsus.

Benarkah Opsus "ada di belakang" peristiwa Malari, termasuk membina para demonstran seperti Hariman Siregar?

Jika benar Opsus yang mendesain Malari dan juga mengkader para demonstran, mengapa rumah Ali Moertopo dilempari batu dan dirusak demonstran? Setelah itu, para mahasiswa juga mendemo Center for Strategic and International Studies (CSIS). Masa, Opsus dibilang dalang peristiwa Malari. Memang kami sering berdiskusi dengan mahasiswa untuk membahas masalah-masalah yang ada saat itu.

Siapa saja tokoh mahasiswa yang suka berdiskusi waktu itu?

Misalnya Cosmas Batubara, Abdul Gafur, dan David Napitupulu. Saat itu, para aktivis '66 itu suka berkumpul di Raden Saleh 52. Dan di situlah markas Opsus yang pertama kali. Terkadang mereka juga berkonsultasi dengan kami mengenai aktivitas yang mereka lakukan. Karena saat itu Opsus punya banyak informasi, wajar jika mereka ke sana.

Kabarnya, Opsus juga ikut menggodok lahirnya Golkar?

Iya, benar. Memang para penggagas Golkar itu kan awalnya juga aktivis yang suka berkumpul di Jalan Raden Saleh, sehingga akhirnya Golkar lahir. Pokoknya, inti dari Golkar itu memang kami yang mempersiapkan.

Apa hubungan Opsus dengan CSIS? Benarkah lembaga itu bikinan Opsus?

Enggak, enggak begitu. Opsus kan sudah ada jauh sebelum CSIS berdiri. Memang ada bekas anggota Opsus yang lantas pindah ke CSIS ketika lembaga itu berdiri. Dia dulu berdinas di militer. Tapi saya lupa namanya. Dan pendiri CSIS kan Pak Ali dengan Pak Soedjono Hoemardani. Idenya, CSIS ini adalah wadah untuk menghimpun pemikiran-pemikiran mengenai masalah yang dihadapi Indonesia, termasuk juga strateginya.

Banyak yang saat ini menilai Opsus secara negatif. Bagaimana penilaian Anda sendiri?

Saat itu memang kehadiran sebuah lembaga semacam Opsus itu dibutuhkan. Dan setelah Bakin didirikan, saya setuju bahwa akhirnya Opsus dibubarkan.

Apa bedanya Opsus dengan Bakin?

Opsus lebih leluasa dibandingkan dengan Bakin. Jika ada masalah, kami saat itu bisa langsung jalan. Sedangkan jika lewat lembaga resmi, kami harus menunggu surat perintah, menunggu uang jalan, dan lain sebagainya.

Jika melakukan fungsi intelijen, dalam operasi militer mana saja Opsus terlibat?

Seingat saya, selain dalam operasi pembebasan Irian Barat, juga ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Selain itu, Opsus juga banyak terlibat dalam operasi di Tim-Tim, yaitu Operasi Komodo. Tapi, ketika operasi itu berubah menjadi operasi militer, menjadi Operasi Seroja, kami mundur. Sebab, tanggung jawab operasi diambil alih oleh Hankam.

Bagaimana ceritanya bisa terlibat di Tim-Tim?

Saat itu, ada orang Tim-Tim, Arnaldo dos Reis Araujo (bekas Ketua Apodeti dan Gubernur Tim-Tim pertama setelah integrasi?Red.), datang menemui Ali Moertopo. Ia minta saran bagaimana cara membentuk partai politik dan lain sebagainya. Karena kita saat itu sudah punya pengalaman dengan Golkar, kita membantu mereka bagaimana cara menyusun organisasi, menggalang massa, dan lain sebagainya. Dan setelah itu, saya datang ke Tim-Tim karena diundang Arnaldo. Karena Apodeti itu anggotanya banyak yang berasal dari rakyat biasa, mereka enggak punya fasilitas apa pun. Bahkan saya juga membantu mereka dalam sarana transportasi. Saya beri mereka sebuah sepeda motor dan sebuah mesin ketik. Saya adalah orang Indonesia pertama yang ditugasi masuk ke Tim-Tim. Saya masuk Tim-Tim sebagai pedagang.

Selain membantu Apodeti, apa lagi yang Anda lakukan di Tim-Tim?

Saya juga mendekati UDT dan Fretilin. Lantas saya juga mengundang UDT dan Fretilin ke Jakarta untuk berkunjung, dan mereka datang. Saya yang membawa Ramos Horta ke Jakarta. Saya juga mengajak dia ke IPTN untuk melihat Indonesia itu kayak apa. Saat itu, hubungan kami dengan berbagai kekuatan politik di Tim-Tim baik. Pokoknya, tujuan saya ke Tim-Tim adalah untuk meyakinkan dan menggalang masyarakat setempat agar mereka tidak menganggap Indonesia itu musuh Tim-Tim. Dan konsep integrasi ini pun yang menyusunnya adalah Jose Martin. Ia orang Tim-Tim yang lama hidup di Portugal.

Artinya benar bahwa pada saat itu Indonesia sudah mempengaruhi masyarakat Tim-Tim agar setuju dengan integrasi?

Terserah jika Anda menyebutnya begitu. Yang jelas, saya setuju dengan integrasi Tim-Tim, tapi saya tidak setuju jika integrasi itu dilakukan dengan kekuatan senjata.

Kabarnya, bantuan yang diberikan Indonesia juga termasuk memasok senjata?

Enggak, enggak benar itu.

Bagaimana ceritanya Operasi Komodo berubah menjadi operasi militer dengan sandi Operasi Seroja?

Pada saat itu, hubungan kami dengan kekuatan-kekuatan politik di Tim-Tim cukup baik. Tapi, ketika kami berada di PBB, New York, ternyata perkembangan di dalam Tim-Tim memanas setelah UDT yang dipimpin Joao Carrascalao (adik mantan gubernur Mario V. Carrascalao) merebut Dili dari Fretilin pada Agustus 1975. Beberapa hari kemudian, suasana berbalik. Fretilin yang didukung Tropas membalas dan merebut Dili dari UDT. Setelah itu, ribuan masyarakat Tim-Tim yang tidak sepaham dengan Fretilin mengungsi karena diteror.
November 1975, Fretilin secara sepihak mengumumkan kemerdekaannya. Mereka mengangkat Xavier do Amaral sebagai presiden. Hal ini membuat pemerintah Indonesia makin khawatir. Dan mereka memutuskan bahwa Operasi Komodo akan diganti dengan operasi militer, yaitu Operasi Seroja. Sejak saat itu, saya mundur, dan Hankam yang bertanggung jawab atas Operasi Seroja ini.

Apakah Bapak kecewa dengan Operasi Seroja itu?

Saat Pak Ali (Moertopo) bilang bahwa Operasi Komodo menjadi Operasi Seroja, saya memutuskan mundur karena "operasi politik" sangat berbeda dengan operasi militer. Saya sudah capek-capek melakukan pendekatan dan membina orang-orang Tim-Tim, eh malah diganti dengan operasi militer. Menurut saya, tak pernah selesainya persoalan Tim-Tim adalah karena dilakukannya pendekatan militer yang berlebihan untuk penyelesaian masalah di sana.

Lalu bagaimana Anda bisa tersandung masalah silsilah Pak Harto?

Saat itu, saya sedang sibuk-sibuknya mengurusi masalah Tim-Tim. Lantas, dari seorang wartawan wanita dari Yogya, redaktur Pop waktu itu, Rey Hanintyo, menerima informasi mengenai silsilah Pak Harto itu. Karena saat itu saya akan berangkat ke Tim-Tim, saya bilang kepada Rey Hanintyo agar mengonsultasikan dulu informasi tersebut dengan Bakin. Dan kalaupun artikel itu akan diterbitkan, saya memintanya agar menunggu saya pulang dulu ke Indonesia.
Tapi rupanya artikel tentang silsilah Pak Harto itu terbit ketika saya masih ada di luar negeri. Dan menurut Rey, isi artikel itu telah ia konfirmasikan kepada pihak Keraton Yogya. Jadi, enggak benar jika dibilang artikel itu tidak dikonfirmasikan kepada Keraton Yogya. Yang jelas, dalam artikel itu kan disebutkan bahwa ada dua keluarga yang punya seorang anak yang namanya sama. Ini kan aneh.

Apakah pihak Keraton Yogya mengakui kebenaran artikel yang ditulis Pop itu?

Lebih baik tanya sendiri saja ke pihak Keraton Yogya.

Kabarnya, Pak Harto marah sekali saat itu?

Ya, padahal saat itu majalah Pop sudah mengirimkan permintaan maaf melalui surat yang dibuatkan oleh Sekretaris Bina Graha, waktu itu, Pak Bardosono (mantan Ketua Umum PSSI). Yang bertanda tangan di surat itu saya dan pemimpin redaksi, yaitu Rey Hanintyo. Tapi, kabarnya, surat tersebut dicorat-coret oleh Pak Harto, entah ia menolak memberikan maaf atau bagaimana. Setelah itu, Probosutedjo juga ribut dan marah. Ali Moertopo kemudian memanggil saya dan Probosutedjo. Direncanakan akan diadakan konferensi pers untuk meluruskan masalah ini. Dan saya juga berencana menerbitkan koreksi atas artikel silsilah Pak Harto itu.
Ternyata, sebelum konferensi pers keesokan harinya, ada beberapa wartawan dari Sekretariat Negara mendatangi rumah Pak Probo dan mewawancarainya. Hasil wawancara itu makin membuat suasana panas. Konferensi pers saya dengan Probo batal. Akhirnya, kasus ini dibawa ke pengadilan. Dan Pemimpin Redaksi Pop dinyatakan bersalah dan dihukum dua tahun penjara. Sedangkan saya diperiksa sebagai saksi. Majalah Pop dibredel oleh Menteri Penerangan. Dan buntut peristiwa itu, pangkat saya enggak bisa naik lagi. Saya pensiun dengan pangkat kolonel.

Bukankah pihak Keraton Yogya di pengadilan bilang bahwa mereka tidak dihubungi?

Ah, saat itu kan enggak mungkin seorang saksi maju ke pengadilan begitu saja. Sebelumnya, mereka kan telah diberi indoktrinasi. Misalnya, jika ditanya begini, jawabnya harus begitu, dan lain sebagainya. Memang begitulah kondisinya saat Orde Baru berkuasa.

Kabarnya, kasus majalah Pop itu pula yang membuat hubungan Ali Moertopo dengan Soeharto retak?

Ah, enggak benar itu.

Menurut Anda, apakah silsilah itu autentik?

... (dia tersenyum). Itu masih menarik untuk diinvestigasi lagi....

Bagaimana Anda sendiri bisa lolos dari hukuman pengadilan?

Lo, kan majalah Pop sudah dibredel dan yang paling menderita kan pemimpin redaksinya, yaitu Rey Hanintyo. Saya lolos dari hukuman karena barangkali Pak Harto menganggap saat itu tenaga saya masih dibutuhkan untuk mengurusi masalah Tim-Tim. Tapi, yang jelas, karir militer saya habis sampai di situ. Saya enggak bisa naik pangkat lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus