Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Konselor pernikahan Johana Rosalina mengatakan pernikahan juga perlu dilihat dari sisi psikologis karena tidak ada pasangan yang mengarungi rumah tangga tanpa konflik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Setiap pasangan pasti mengalami konflik dalam hubungan dan itu bukan hal yang buruk. Semua pasangan bertengkar tentang hal yang sama," kata Rosa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia memaparkan tujuh sumber konflik dalam pernikahan meliputi tingkah laku yang bermasalah, ketidaksetiaan, komunikasi, keuangan, keintiman, anak, mertua, dan ipar. Menurutnya, pasangan tidak bisa menghindari sumber konflik tersebut dan harus bisa saling berkomunikasi dan membuat penyelesaian bersama.
"Strategi mengelola konflik dengan menyelesaikan konflik bersama pasangan sebagai tim. Keduanya harus mau mencari penyelesaian. Jika tidak ada kesepakatan, cari titik temu dan konsensus yang bisa diterima masing-masing," tuturnya.
Selain itu, perlu untuk meluangkan waktu mendiskusikan hal penting seperti keuangan, keintiman, hubungan antarmertua, kebiasaan pasangan, pola asuh, dan membiasakan saling mendengar dengan baik.
Pendidikan seksual pada anak
Pengenalan seksual pada anak bukan sekadar hubungan laki-laki dan perempuan tetapi juga mengenalkan organ reproduksi. Karena itulah Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan pendidikan seksual pada anak bukan hal tabu.
"Kita semua harus tahu ada 12 hak kesehatan seksual dan reproduksi yang dilindungi oleh peraturan internasional. Banyak orang yang berencana hamil tetapi tidak tahu seperti apa proses kehamilan terjadi. Bagaimana ia bisa melindungi hak-haknya? Hak untuk hidup mestinya dimiliki, bahkan sejak embrio," kata Hasto dalam keterangan tertulis, Minggu, 21 Januari 2024.
Hasto menyampaikan hal itu saat menjadi narasumber dalam Kelas Pranikah Seri Tiga yang dilaksanakan secara daring pada Jumat, 19 Januari 2024, yang menyasar pasangan calon pengantin dan keluarga muda yang belum hamil. Menurutnya, masyarakat sering keliru pengertian pendidikan reproduksi dan seksual bagi calon pengantin hanya tentang cara berhubungan seks.
"Penting dipahami bersama bahwa pendidikan seksualitas bukan cara berhubungan seks semata melainkan dalam arti positif, yaitu membekali pengetahuan kesehatan reproduksi untuk mencegah masalah seksualitas tidak terjadi," ucapnya.
Berdasarkan data Komnas Perempuan pada 2019, tercatat dari 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, 770 kasus merupakan hubungan inses (sedarah), 571 kekerasan seksual, 536 kekerasan fisik, 319 kekerasan psikis, dan 145 kekerasan ekonomi. Untuk itu, Hasto berpesan pada calon pengantin jangan kawin terlalu muda karena cukup banyak risiko pada kehamilan ibu berusia muda.
"Sering terjadi masalah, di antaranya bisa robek jalan lahirnya, pendarahan, bahkan jangka panjang bisa berakibat kanker mulut rahim dan tulang mudah keropos ketika menopause. Idealnya hamil di usia 20 tahun ke atas," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Bina Ketahanan Remaja BKKBN, Edi Setiawan, menyampaikan calon pengantin perlu memeriksa kesehatan pranikah demi memutus siklus stunting dari hulu. BKKBN memiliki aplikasi elektronik siap nikah dan siap hamil (Elsimil), yakni aplikasi skrining dan pendampingan bagi calon pengantin.
"Kami menyarankan pemeriksaan kesehatan tiga bulan sebelum menikah. Apabila ditemukan status tidak sehat atau tidak ideal pada calon pengantin, terutama wanita, dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk memperbaiki kondisi tersebut," ujar Edi.