Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

90% priyayi jawa lho

Pemelihara/penggemar burung perkutut, cucakrawa sebagian besar adalah priyayi jawa, sisanya adalah mereka yang pernah tinggal di jawa. (sd)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG tidak hanya suka melihat burung. Tetapi juga ingin memilikinya. Ini yang mendorong Pasar Burung di pinggir Jalan Pramuka (Jakarta) membengkak dengan pesat. Daerah Kebon Kosong yang pada awal tahun 70-an masih santai itu, kini sibuk, terutama pada hari Minggu Penduduk di sekitar pasar itu juga mulai menancapkan tiang di depan rumahnya, lalu menggantungkan sangkar satu-dua ekor burung. Dominasi burung perkutut mungkin masih tetap berlaku di kalangan pemelihara burung. Tetapi sementara itu bermacam-macam jenis yang lain mulai mengorbit dalam perdagangan dicari dengan harga tinggi. Jenis yang di narnakan "cucak rawa" misalnya memiliki variasi harga yang bisa bikin orang melotot. Bayangkan seekor cucak rawa dapat mencapai harga jutaan rupiah, lebih-lebih kalau berhasil menang dalam sebuah kontes. (lihat box) Jodo jodoan "Tapi meskipun harganya mencapai jutaan, kadang-kadang pemilik burung tak mau menjualnya lantaran itu hobbynya. Jadi kegemaran memelihara burung itulah yang tak ternilai harganya," ujar Effendi, yang sudah berpengalaman 17 tahun memelihara burung. Ia menjelaskan lebih lanjut, jenis cucak rawa yang paling mahal saat ini berasal dari Lampung. Harganya ada 3 macam. Ada cucak rawa yang ditangkap dengan sejenis perekat sehingga bulunya sedikit lecet. Ini dinamakan jenis "bakalan". Harganya sekitar Rp 7 ribu. Jenis kedua disebut "munculan" atau burung anakan. Harganya mencapai Rp 25 ribu. Yang paling mahal disebut "muda hutan". Burung itu memiliki ciri yang khas karena kepalanya berwarna putih. Harganya Rp 30 ribu sampai Rp 35 ribu. Para pemelihara burung rupanya cenderung untuk memelihara beberapa jenis burung di rumahnya. Effendi (37 tahun) yang memimpin sebuah perusahaan angkutan di Surabaya tak puas hanya memelihara cucak rawa. Ia juga punya jenis Murai Batu, Punglor dan Pecu. Yang terakhir sejenis burung kecil. Dengan burung-burung itu ia telah menjelajahi Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk mengikuti kontes-kontes tingkat lokal. Kegemaran Effendi terhadap burung dimulai secara iseng-iseng. "Mula-mula saya memelihara burung hantu, buat mengisi kekosongan di rumah," ujarnya kepada Aris Amiris dari TEMPO. Jenis burung yang disebut Effendi memang tidak laim dipelihara. Tetapi dari burung itu kemudian menetas kecintaannya pada margasatwa bersayap. Dari keinginan membunuh waktu kemudian muncul kebutuhan untuk mendengarkan suara-suara merdu. Sehingga kalau burung sakit atau mati diterkam kucing, ia rasakan itu sebagai beban fikiran. "Saya pernah menangis lantaran burung perkutut yang saya pelihara jatuh dari kerekan," kata Effendi, "Kepalanya pecah dan matanya keluar, sedih sekali rasanya. Burung itu saya kuburkan di depan rumah." Sebaliknya menurut Effendi, kalau burung yang dipeliharanya lantas berkicau dengan irama yang khas, ia akan merasa seperti dilambungkan. "Kalau sudah mendengarkan suara burung, terkadang bisa melupakan keruwetan kantor maupun rumah tangga barang sejenak," Effendi bertutur. Seekor dari burung murai Effendi bernama "Bintang" pernah jadi juara pertama dalam kontes lokal di Pasuruan. Artinya suaranya memang dapat diandalkan. Tetapi tidak semua burung dengan sendirinya bila dipelihara dan dikasih makan enak bisa berkicau dengan baik. Untuk ini diperlukan cara tersendiri. "Memelihara cucak rawa yang mahal itu misalnya," kata Effendi, "sifatnya jodo-jodoan. Kalau kebetulan ada jodo, baru beberapa bulan saja, ia sudah berbunyi. Tapi kalau lagi sial, samlai 2 tahun kita pelihara tidak mau bersuara. " Mungkin lantaran banyak orang tidak berhasil menemukan jodo seperti yang diungkapkan Effendi, sekarang banyak muncul kaset suara burung. Kaset-kaset itu bisa dipergunakan untuk melatih atau memancing burung yang belum mau membuka paruhnya. Ada suara perkutut, cucak rawa, hwa bie, polisay yang rata-rata berharga Rp 850. Kaset suara burung yang sempat memenangkan juara dalam sebuah kontes lebih mahal sedikit. Sampai Rp 1000. Dari sebuah toko kaset di Proyek Senen (Jakarta) laju penjualan kaset burung ini sekitar 10 buah setiap bulan. "Tapi sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana agar burung itu mudah berbunyi," kata Effendi. "Sebab mustinya setiap burung peliharaan itu berbunyi." Ia juga menemukan kesulitan untuk mengembangbiakkan burung yaitu menternakkannya. "Ternyata sangat sulit, sampai sekarang saya belum menemukan jalannya," ujarnya terus terang. Cuaca Arsyad Senjaya (35 tahun) asal Bogor, sudah 22 tahun bergaul dengan burung. Sekarang ia menetap di Jakarta. Berbeda dengan Effendi, pergaulannya dengan burung tidak dimulai secara iseng-iseng. Sejak kecil ayah dari 6 anak ini sudah berada di lingkungan hewan. Keluarganya memelihara kambin, ayam dan kerbau. Arsyad tidak hanya senang mendengar burung, tapi juga cukup memahami kehidupan hewan terbang ini. Mungkin ini sebagian manfaat bagi mereka yang sudah menghabiskan duit untuk menyangkarkan burung di rumahnya. "Saat yang paling tidak menguntungkan bagi burung piaraan adalah pergantian musim. Dari musim kemarau ke.musim hujan, dan sebaliknya," kata Arsyad menjelaskan pengalamannya. "Perubahan hawa itu bisa mengakibatkan semacam stress pada burung. Kalau tidak tahan terhadap perubahan cuaca, ia akan jatuh sakit dan mati." Selain pergantian musim, Arsyad melihat saat pergantian bulu juga merupakan periode yang mendebarkan buat pelilik burung. Masa ini biasanya dimulai pada Agustus untuk waktu cukup lama, sampai bulan-bulan selanjutnya. Selama itu tentu saja pemilik jangan mengharap akan mendengar celoteh burungnya," kata Arsyad Untuk menghadapi berbagai kemungkinan itu, Arsyad selalu menyediakan obat-obatan dan makanan yang lebih baik untuk menolong ketahanan mahluk itu. "Selain itu, memelihara burung harus tekun," ujarnya. Makanan burung umumnya pisang kepok putih, ketan hitam, kroto dan sekali-sekali jangkrik. Ini semua mudah dibeli di pasar burung. Tetapi cucak rawa lebih suka kalau disuguh buah-buahan. Sementara murai batu senang serangga ditambah kacang-kacangan. Tentu saja ada beberapa orang pemelihara burung yang punya resep tersendiri untuk merangsang burung bersuara serta untuk melenturkan suaranya. Ini tentunya merupakan menu-menu istimewa. Arsyad memelihara 10 jenis burung. Karena dianggap punya pengalaman cukup lama, ia malahan giat mengikuti kontes burung di Jakarta, Semarang, Tasikmalaya atau Cirebon. Bukan sebagai peserta, tapi juri. Ini memberikan penghasilan sedikitnya Rp 25 ribu untuk 2 hari kerja. Keuntungan lain yang diperoleh Arsyad dari memelihara burung adalah keahlian menirukan bunyi burung. Ia bisa meniru bunyi cucak rawa, murai batu, hwabie, anis, kacer dan kutilang. Tak dijelaskannya apakah ia tidak berusaha untuk mengkasetkan siulannya sendiri. Ada yang percaya bahwasanya seorang yang memelihara burung perkutut gengsinya bisa naik atau bakalan jadi kaya. Tak sedikit yang yakin akan hal itu. Sementara di Bali bagian selatan rnisalnya ada golongan masyarakat dari kasta kesatria yang tidak berani memelihara perkutut, karena nenek moyangnya pernah diselamatkan oleh burung itu. Jadi mereka berusaha menghormatinya, karena menyangkarkan burung itu dianggap sebagai penyiksaan. "Menurut saya, orang bisa kaya karena memelihara perkutut, itu salah," kata Soehardjo (57 tahun) asal Muntilan. Ia menyatakan itu mengingat bila perkutut benar-benar sudah jadl dapat mencapai harga sekitar Rp 4 juta sampai Rp 5 juta. "Jadi tentunya hanya orang-orang kaya yanR mampu membeli dan memelihara burung perliutut bagus," ujarnya. Ia menyatakan juga bahwa sampai sekarang memang jenis perkutut yang sudah pintar manggung masih menduduki rangking tertinggi dalam soal harga. Soehardjo termasuk ahli dalam soal burung. Ia sudah bergaul dengan burung sejak tahun 1939. "Tetapi sungguh mati sebenarnya saya tidak senang apalagl menggemari burung," ujarnya. Lho kenapa? Sebab dia memang bukan penyayang burung. Ia hanya seorang penjual burung. Ini tidak banyak bedanya dengan seorang pencita burung biasa karena sama-sama harus merawatnya. Bedanya mungkin karena kegemaran orang memelihara burung baginya berarti sangat positif. Ia sanggup menghidupi keluarganya. Jual beli burung itulah yang menyebabkan ia sanggup memilik I sebuah rumah di Kebayoran Baru Jakarta, termasuk empat kali berkunjung ke Singapura dan Malaysia -- urusan burung. Soehardjo memiliki 20 jenis burung dalam jumlah ribuan di Pasar Burung Jalan Pramuka Jakarta. Harganya sekitar Rp 25 ribu sampai ratusan ribu rupiah. Ia merupakan pensuplai buat para penjaja burung di seluruh Jakarta. Ia juga melayani eksportir burung ke Amerika, Jepang, Belgia dan Italia. Tak kurang dari 12 jam ia piket untuk mengurusi penjualan burung-burungnya. Ia dibantu oleh 7 asisten yang bergaji Rp 1500 per hari. Bayangkan berapa penghasilannya. "Kalau saya hanya dapat Rp 20 ribu shari berarti rugi," ujar pedagang burung itu. Ia tak bersedia menerangkan berapa minimal harus didapatnya. Ia hanya mengungkapkan dari 4 ribu burung yang dimilikinya, ia harus menyediakan sekian puluh ribu untuk gaji pegawai dan makanan burung. Tetapi ia tidak cemas dalam perdagangannya. "Penggemar burung itu umumnya orang-orang yang mampu," kata Soehardjo. Ini rupanya memang jaminan baginya. Sebagai pedagang burung, Soehardjo tidak selamanya dapat yang enak-enak. "Risikonya besar juga. Kalau musim dingin begini, biasanya banyak burung mati," ujarnya. "Kalau ada seekor burung sakit, satu sangkar dibiarkan begitu saja. Artinya sambil diobati, penghuninya tidak boleh ditambah atau dikurangi." Sebagai keuntungannya selain duit, Soehardjo jadi banyak sobat-kenalan dari ujung timur sampai ujung barat Pulau Jawa. Bahkan sampai ke Sumatera. Soehardjo juga sering ikut rapat Persatuan Burung Indonesia (PBI) yang diketuai lenderal Ashari. Dan sekali-sekali ia ke Cendana. Kenapa? "Pak Harto punya 12 ekor burung cucak rawa," ujarnya. "Dan 90 prosen lebih penggemar burung adalah priyayi Jawa, sisanya adalah mereka yang pernah tinggal di Jawa," ujar Soehardjo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus