ORANG tidak hanya suka melihat burung. Tetapi juga ingin
memilikinya. Ini yang mendorong Pasar Burung di pinggir Jalan
Pramuka (Jakarta) membengkak dengan pesat. Daerah Kebon Kosong
yang pada awal tahun 70-an masih santai itu, kini sibuk,
terutama pada hari Minggu Penduduk di sekitar pasar itu juga
mulai menancapkan tiang di depan rumahnya, lalu menggantungkan
sangkar satu-dua ekor burung.
Dominasi burung perkutut mungkin masih tetap berlaku di kalangan
pemelihara burung. Tetapi sementara itu bermacam-macam jenis
yang lain mulai mengorbit dalam perdagangan dicari dengan harga
tinggi. Jenis yang di narnakan "cucak rawa" misalnya memiliki
variasi harga yang bisa bikin orang melotot. Bayangkan seekor
cucak rawa dapat mencapai harga jutaan rupiah, lebih-lebih kalau
berhasil menang dalam sebuah kontes. (lihat box)
Jodo jodoan
"Tapi meskipun harganya mencapai jutaan, kadang-kadang pemilik
burung tak mau menjualnya lantaran itu hobbynya. Jadi kegemaran
memelihara burung itulah yang tak ternilai harganya," ujar
Effendi, yang sudah berpengalaman 17 tahun memelihara burung. Ia
menjelaskan lebih lanjut, jenis cucak rawa yang paling mahal
saat ini berasal dari Lampung. Harganya ada 3 macam.
Ada cucak rawa yang ditangkap dengan sejenis perekat sehingga
bulunya sedikit lecet. Ini dinamakan jenis "bakalan". Harganya
sekitar Rp 7 ribu. Jenis kedua disebut "munculan" atau burung
anakan. Harganya mencapai Rp 25 ribu. Yang paling mahal disebut
"muda hutan". Burung itu memiliki ciri yang khas karena
kepalanya berwarna putih. Harganya Rp 30 ribu sampai Rp 35 ribu.
Para pemelihara burung rupanya cenderung untuk memelihara
beberapa jenis burung di rumahnya. Effendi (37 tahun) yang
memimpin sebuah perusahaan angkutan di Surabaya tak puas hanya
memelihara cucak rawa. Ia juga punya jenis Murai Batu, Punglor
dan Pecu. Yang terakhir sejenis burung kecil. Dengan
burung-burung itu ia telah menjelajahi Jawa Tengah dan Jawa
Timur, untuk mengikuti kontes-kontes tingkat lokal.
Kegemaran Effendi terhadap burung dimulai secara iseng-iseng.
"Mula-mula saya memelihara burung hantu, buat mengisi kekosongan
di rumah," ujarnya kepada Aris Amiris dari TEMPO. Jenis burung
yang disebut Effendi memang tidak laim dipelihara. Tetapi dari
burung itu kemudian menetas kecintaannya pada margasatwa
bersayap.
Dari keinginan membunuh waktu kemudian muncul kebutuhan untuk
mendengarkan suara-suara merdu. Sehingga kalau burung sakit atau
mati diterkam kucing, ia rasakan itu sebagai beban fikiran.
"Saya pernah menangis lantaran burung perkutut yang saya
pelihara jatuh dari kerekan," kata Effendi, "Kepalanya pecah dan
matanya keluar, sedih sekali rasanya. Burung itu saya kuburkan
di depan rumah." Sebaliknya menurut Effendi, kalau burung yang
dipeliharanya lantas berkicau dengan irama yang khas, ia akan
merasa seperti dilambungkan. "Kalau sudah mendengarkan suara
burung, terkadang bisa melupakan keruwetan kantor maupun rumah
tangga barang sejenak," Effendi bertutur.
Seekor dari burung murai Effendi bernama "Bintang" pernah jadi
juara pertama dalam kontes lokal di Pasuruan. Artinya suaranya
memang dapat diandalkan. Tetapi tidak semua burung dengan
sendirinya bila dipelihara dan dikasih makan enak bisa berkicau
dengan baik. Untuk ini diperlukan cara tersendiri. "Memelihara
cucak rawa yang mahal itu misalnya," kata Effendi, "sifatnya
jodo-jodoan. Kalau kebetulan ada jodo, baru beberapa bulan saja,
ia sudah berbunyi. Tapi kalau lagi sial, samlai 2 tahun kita
pelihara tidak mau bersuara. "
Mungkin lantaran banyak orang tidak berhasil menemukan jodo
seperti yang diungkapkan Effendi, sekarang banyak muncul kaset
suara burung. Kaset-kaset itu bisa dipergunakan untuk melatih
atau memancing burung yang belum mau membuka paruhnya. Ada suara
perkutut, cucak rawa, hwa bie, polisay yang rata-rata berharga
Rp 850. Kaset suara burung yang sempat memenangkan juara dalam
sebuah kontes lebih mahal sedikit. Sampai Rp 1000. Dari sebuah
toko kaset di Proyek Senen (Jakarta) laju penjualan kaset burung
ini sekitar 10 buah setiap bulan.
"Tapi sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana agar burung itu
mudah berbunyi," kata Effendi. "Sebab mustinya setiap burung
peliharaan itu berbunyi." Ia juga menemukan kesulitan untuk
mengembangbiakkan burung yaitu menternakkannya. "Ternyata sangat
sulit, sampai sekarang saya belum menemukan jalannya," ujarnya
terus terang.
Cuaca
Arsyad Senjaya (35 tahun) asal Bogor, sudah 22 tahun bergaul
dengan burung. Sekarang ia menetap di Jakarta. Berbeda dengan
Effendi, pergaulannya dengan burung tidak dimulai secara
iseng-iseng. Sejak kecil ayah dari 6 anak ini sudah berada di
lingkungan hewan. Keluarganya memelihara kambin, ayam dan
kerbau.
Arsyad tidak hanya senang mendengar burung, tapi juga cukup
memahami kehidupan hewan terbang ini. Mungkin ini sebagian
manfaat bagi mereka yang sudah menghabiskan duit untuk
menyangkarkan burung di rumahnya. "Saat yang paling tidak
menguntungkan bagi burung piaraan adalah pergantian musim. Dari
musim kemarau ke.musim hujan, dan sebaliknya," kata Arsyad
menjelaskan pengalamannya. "Perubahan hawa itu bisa
mengakibatkan semacam stress pada burung. Kalau tidak tahan
terhadap perubahan cuaca, ia akan jatuh sakit dan mati."
Selain pergantian musim, Arsyad melihat saat pergantian bulu
juga merupakan periode yang mendebarkan buat pelilik burung.
Masa ini biasanya dimulai pada Agustus untuk waktu cukup lama,
sampai bulan-bulan selanjutnya. Selama itu tentu saja pemilik
jangan mengharap akan mendengar celoteh burungnya," kata Arsyad
Untuk menghadapi berbagai kemungkinan itu, Arsyad selalu
menyediakan obat-obatan dan makanan yang lebih baik untuk
menolong ketahanan mahluk itu. "Selain itu, memelihara burung
harus tekun," ujarnya.
Makanan burung umumnya pisang kepok putih, ketan hitam, kroto
dan sekali-sekali jangkrik. Ini semua mudah dibeli di pasar
burung. Tetapi cucak rawa lebih suka kalau disuguh buah-buahan.
Sementara murai batu senang serangga ditambah kacang-kacangan.
Tentu saja ada beberapa orang pemelihara burung yang punya
resep tersendiri untuk merangsang burung bersuara serta untuk
melenturkan suaranya. Ini tentunya merupakan menu-menu istimewa.
Arsyad memelihara 10 jenis burung. Karena dianggap punya
pengalaman cukup lama, ia malahan giat mengikuti kontes burung
di Jakarta, Semarang, Tasikmalaya atau Cirebon. Bukan sebagai
peserta, tapi juri. Ini memberikan penghasilan sedikitnya Rp 25
ribu untuk 2 hari kerja.
Keuntungan lain yang diperoleh Arsyad dari memelihara burung
adalah keahlian menirukan bunyi burung. Ia bisa meniru bunyi
cucak rawa, murai batu, hwabie, anis, kacer dan kutilang. Tak
dijelaskannya apakah ia tidak berusaha untuk mengkasetkan
siulannya sendiri.
Ada yang percaya bahwasanya seorang yang memelihara burung
perkutut gengsinya bisa naik atau bakalan jadi kaya. Tak sedikit
yang yakin akan hal itu. Sementara di Bali bagian selatan
rnisalnya ada golongan masyarakat dari kasta kesatria yang tidak
berani memelihara perkutut, karena nenek moyangnya pernah
diselamatkan oleh burung itu. Jadi mereka berusaha
menghormatinya, karena menyangkarkan burung itu dianggap sebagai
penyiksaan.
"Menurut saya, orang bisa kaya karena memelihara perkutut, itu
salah," kata Soehardjo (57 tahun) asal Muntilan. Ia menyatakan
itu mengingat bila perkutut benar-benar sudah jadl dapat
mencapai harga sekitar Rp 4 juta sampai Rp 5 juta. "Jadi
tentunya hanya orang-orang kaya yanR mampu membeli dan
memelihara burung perliutut bagus," ujarnya. Ia menyatakan juga
bahwa sampai sekarang memang jenis perkutut yang sudah pintar
manggung masih menduduki rangking tertinggi dalam soal harga.
Soehardjo termasuk ahli dalam soal burung. Ia sudah bergaul
dengan burung sejak tahun 1939. "Tetapi sungguh mati sebenarnya
saya tidak senang apalagl menggemari burung," ujarnya. Lho
kenapa? Sebab dia memang bukan penyayang burung. Ia hanya
seorang penjual burung. Ini tidak banyak bedanya dengan seorang
pencita burung biasa karena sama-sama harus merawatnya. Bedanya
mungkin karena kegemaran orang memelihara burung baginya berarti
sangat positif. Ia sanggup menghidupi keluarganya. Jual beli
burung itulah yang menyebabkan ia sanggup memilik I sebuah rumah
di Kebayoran Baru Jakarta, termasuk empat kali berkunjung ke
Singapura dan Malaysia -- urusan burung.
Soehardjo memiliki 20 jenis burung dalam jumlah ribuan di Pasar
Burung Jalan Pramuka Jakarta. Harganya sekitar Rp 25 ribu sampai
ratusan ribu rupiah. Ia merupakan pensuplai buat para penjaja
burung di seluruh Jakarta. Ia juga melayani eksportir burung ke
Amerika, Jepang, Belgia dan Italia. Tak kurang dari 12 jam ia
piket untuk mengurusi penjualan burung-burungnya. Ia dibantu
oleh 7 asisten yang bergaji Rp 1500 per hari. Bayangkan berapa
penghasilannya.
"Kalau saya hanya dapat Rp 20 ribu shari berarti rugi," ujar
pedagang burung itu. Ia tak bersedia menerangkan berapa minimal
harus didapatnya. Ia hanya mengungkapkan dari 4 ribu burung yang
dimilikinya, ia harus menyediakan sekian puluh ribu untuk gaji
pegawai dan makanan burung. Tetapi ia tidak cemas dalam
perdagangannya. "Penggemar burung itu umumnya orang-orang yang
mampu," kata Soehardjo. Ini rupanya memang jaminan baginya.
Sebagai pedagang burung, Soehardjo tidak selamanya dapat yang
enak-enak. "Risikonya besar juga. Kalau musim dingin begini,
biasanya banyak burung mati," ujarnya. "Kalau ada seekor burung
sakit, satu sangkar dibiarkan begitu saja. Artinya sambil
diobati, penghuninya tidak boleh ditambah atau dikurangi."
Sebagai keuntungannya selain duit, Soehardjo jadi banyak
sobat-kenalan dari ujung timur sampai ujung barat Pulau Jawa.
Bahkan sampai ke Sumatera. Soehardjo juga sering ikut rapat
Persatuan Burung Indonesia (PBI) yang diketuai lenderal Ashari.
Dan sekali-sekali ia ke Cendana. Kenapa? "Pak Harto punya 12
ekor burung cucak rawa," ujarnya. "Dan 90 prosen lebih penggemar
burung adalah priyayi Jawa, sisanya adalah mereka yang pernah
tinggal di Jawa," ujar Soehardjo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini